Siang ini Ica akan berangkat ke Indonesia. Rasanya berat sekali dia mau pulang ke negara asalanya. Apalagi tidak bersama dengan Devan. Dia pulang sendiri bersama orang tuanya, juga dengan Satria dan Bu Leli.
“Padahal aku ke sini dengan Dev, aku berjuang melupakan Arkan juga dengan Dev, kenapa dia malah memilih menetep di sini, Ma?” Tanya Ica saat dirinya sedang mengemasi barang-barangnya di kamar bersama mamanya.
“Kan Dev di sini ada pekerjaan, Sayang. Lagian dia malah nyaman kerja ikut Aiko dibandingkan di kantor papanya?” jawab Anjani.
“Iya sih, tapi kan rasanya kurang saja, Ma? Masa kita ke sini barengan pulang sendiri-sendiri?” ucap Ica.
“Ya, Dev yang memilih seperti itu sih? Mau bagaimana lagi, Ca?” jawab Anjani.
Ica masih malas-malasan untuk menata bajunya. Dia juga harus terima konsekuensinya kalau kembali ke Indonesia.Paling tidak, dia akan kembali bertemu dengan Arkan dan keluarga besarnya di Indonesia. Apalagi Satria juga sangat erat hubungannya dengan keluarga Arkan, khususnya dengan Zahrana dan Leo.
Ica juga masih ragu, apa Satria adalah pilihan yang tepat untuk dirinya. Ica masih terus bertanya-tanya dalam hatinya, apa Satria tidak memiliki masa lalu dengan perempuan lain? Karena yang Ica tahu, masa lalu Satria ya dengan Zahrana. Dia mencintai Zahrana, tapi tidak Zahrana tanggepi perasaannya.
“Ma, mama pernah tanya-tanya soal Kak Satria sama Tante Leli?” tanya Ica.
“Tanya soal apa, Ca?”
“Ya soal dulu pernah enggak punya pacar? Selain Kak Rana lho, kan kalau Kak Rana Cuma cinta bertepuk sebelah tangan? Ya kali Kak Rana suka, Kak Leo aja tampannya gitu? Dari keluarga Arkan yang paling tampan menurut Ica itu Kak Leo, Ma. Om Arsyad saja kalah,” puji Ica.
“Ya memang sih, Leo itu tampan sekali. Mama enggak pernah tanya soal itu, Ca. Mungkin pernah, atau mungkin enggak. Ya, kamu sekarang kan udah jadi calon istri Satria. Mumpung nanti dekat, kamu tanya-tanya kan bisa sama Satria. Sambil pendekatan lagi, biar lebih tahu bagaimana Satria,” saran Anjani.
“Kalau ternyata seperti Arkan? Dia punya masa lalu yang masih sangat diagungkannya?”
“Jangan berpikiran kesitu kalau belum tahu, Nak? Sudah buruan kemasi barang kamu lagi. Punya mama sama papa saja sudah siap semua? Enggak usah bawa semuannya, toh ini rumah kita sendiri, biar di sini saja yang enggak kamu perlukan,” tutur Anjani.
“Siap, Ma!” ucap Ica dengan setengah semangat, setengah malah mau pulang ke tanah kelahirannya.
“Papa masih ada kerja sama dengan perusahaan Om Leon, ya?” tanya Ica.
“Iya,” jawab Anjani.
“Malas banget pulang kalau akhirnya ketemu orang yang seperti itu lagi.”
“Ca, sudah ya? Semua sudah berlalu,” ucap Anjani.
“Apa mama masih kecewa dengan mereka?” tanya Ica.
“Ya sedikit, tapi biarlah, mama tidak urusi masalah itu. Yang penting saat ini bagi mama Ica bahagia. Ica harus bahagia, oke?”
“Gak usah pulang ya, Ma? Ica di sini saja?” pinta Ica.
“Itu namanya kamu akan sembunyi dari kenyataan, Sayang? Tunjukkan kalau kamu baik-baik saja di depan mereka yang sudah membuat kamu sakit. Itu adalah kemenangan buat dirimu sendiri, Nak. Berdamailah dengan masa lalu yang pahit, pasti kamu akan menemui hal manis di dalamnya,” tutur Anjani.
“Iya, Ica akan berdamai dengan masa lalu Ica. Ica kira, setelah hampir tiga tahun di sini, Ica bisa melupakan semuanya. Tapi, Ica malah masih sedikit melupakan itu. Sisanya masih mengganjal saja di dalam hati Ica.”
“Mama yakin, Satria akan mengobati semuanya,” ucap Anjani dengan yakin.
Iya, Anjani sangat yakin kalau Satria bisa menjadi pendamping yang baik untuk putri semata wayangnya. Dia lebih dewasa pemikirannya, dan pasti bisa mendidik Ica menjadi lebih baik. Bisa mengayomi Ica, dan mungkin bisa menjadi tempat bermanja Ica. Karena pada dasarnya meski Ica selalu mandiri, dia memiliki sifat manja.
^^^
Ica sudah berada di Bandara bersama dengan keluarganya, juga dengan Satria dan ibunya. Tidak di sangka, dia malah pulang dengan laki-laki yang berbeda.
Iya, berbeda.
Dulu dia ke Jepang dengan Devan. Sekarang dia pulang bersama Satria. Orang yang sedikit bisa menyembuhkan luka di hati Ica, malah memilih tetap tinggal di Jepang karena pekerjaanya. Dev benar-benar tertarik dengan bisnis kuliner. Dia menjadi orang kepercayaan Aiko. Dan, Dev juga akan sedikit demi sedikit merintis bisnis kuliner sendiri.
Dev bersama Aiko turut serta mengantarkan keberangkatan Ica untuk pulang ke Indonesia.
Ada rasa berat di hati Devan, melepas Ica pulang tanpanya. Harus tanpa dirinya, karena Devan tidak mau larut dalam cinta yang sama sekali tidak ada titik terangnya, dan bahkan tidak akan pernah terbalaskan sama sekali.
“Jaga diri kamu di sana ya, Ca?” Dev memeluk Ica saat Ica akan kembali ke Indonesia.
“Ya, kamu juga, Dev. Kamu harus semangat, tunjukkan kalau kamu itu bisa jadi lebih baik,” ucap Ica.
“Itu pasti, Ca. Udah, ya? Berdamailah dengan masa lalu kamu. Ada Kak Satria, fokus dengan pekerjaan kamu di sana, fokus dengan hubungan kamu dan Kak Satria. Kamu kan butuh pendekatan lebih dengannya. Kamu belum tahu Kak Satria lebih dalam seperti apa, kamu hanya tahu Casingnya saja. Kamu belum tahu Kak Satria lebih dekat. Dengan kamu kembali ke sana, ini adalah kesempatan kamu harus lebih mengeryti akan Kak Satria. Move on ya, Ca? Aku hanya ingin itu dari diri kamu, Ca,” tutur Devan.
Ica tidak menyangka seorang Dev bisa berkata selembut itu dan sedewasa itu. Mungkin Dev terus belajar, apalagi wanita yang di samping Dev sekarang adalah wanita yang sangat dewasa dan baik. Mungkin karena itu, meski Aiko bukan pacarnya, atau orang terdekat Dev, tetap saja ngaruh. Karena, pemimpin yang baik, akan menciptakan anak buah yang baik pula. Pun sebaliknya.
“Baik-baik, ya?”
“Iya, Dev. Kamu juga harus baik-baik di sini. Terus berbuat baik, ya? Oha iya, makasih ya, Dev? Udah nemenin aku selama di sini. Kamu yang menemani aku di sini untuk bisa move on, malah sekarang kamu tetap stay di sini, tidak iku pulang,” ucap Ica.
“Iya, Ca.” Dev kembali memeluk Ica.
Dev sebenarnya berat melepas Ica, tapi mau bagaimana lagi, Ica butuh teman yang baik, yang bisa menjaga dan membahagiakannya. Ica juga butuh sosok yang dewasa, untuk mendampingi hidupnya. Itu semua karena Dev tidak akan bisa menjadi sosok yang baik untuk Ica.
“Aiko, aku titip temanku yang satu ini. Agak bandel sih emang. Kalau bandel dijewer aja,” ucap Ica pada Aiko.
“Iya, nanti aku sentil dia kalau bandel,” jawab Aiko.
“Ih, apaan sih! Kalau aku bandel gak mungkin dipercaya anda kan, Miss Aiko?” tanya Dev dengan sedikit menggoda Aiko.
“Iya sih. Kamu baik-baik di sana ya, Ca? Jangan lupa undang saya kalau mau menikah,” ucap Aiko.
“Iya, itu pasti,” jawab Ica.
“Kak Satria, masih ingat ucapan aku yang semalam, kan?” tanya Devan.
“Masih, kamu tenang saja, aku tidak akan menyakiti Ica,” jawab Devan.
“Bagus, aku akan pegang janji Kak Satria itu!” ucap Devan dengan menepuk pundak Satria.
Dev tidak ingin wanita yang dari dulu ia cintai akan terluka lagi karena laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Dev mengancam Satria jika dia menyakiti Ica. Dalam bentuk apa pun, karena Dev janji, meski tidak bersama dengan Ica, dia akan menjaga Ica dari kejauhan. Dev hanya tidak ingin Ica yang memiliki pribadi periang, bar-bar, galak, berubah drastis menjadi pendiam, seperti saat ada masalah dengan Arkan. Dev tidak mau kehilangan sifat Ica yang dari dulu Dev kenal. Sejak ada masalah dengan Arkan, Ica cenderung menjadi sosok yang pendiam, dan sering murung dalam kamar.
Susah payah Dev mengembalikan Ica supaya kembali pada sifat yang dulu. Sekarang sudah agak berhasil mengembalikannya meski masih belum sempurna. Dan, dia enggak mau Ica balik lagi seperti saat dia ada masalah dengan Arkan.
Gagal menikah, itu yang membuat Ica menjadi kehilangan jiwa aslinya. Dia terus meratap jika ada waktu untuk meratapi nasibnya. Tapi, Dev selalu mengajak Ica untuk segera bangkit, dan melupakan hal yang sakit yang singgah di hatinya.
“Kalian semalam bicara apa?” tanya Ica.
“Ih kepo nih orang,” jawab Devan.
“Oh jadi main rahasia-rahasiaan sekarang?” ucap Ica dengan mencubit lengan Devan.
“Ini urusan cowok, Ca. Udah pokoknya aku mau kamu baik-baik saja di sana. Bahagia di sana, lupakan hal yang menyakitkan, ada Kak Satria yang akan membuat kamu bahagia. Semangat, ya?” ucap Devan.
“Siap, Dev!” ucapnya.
Ica memeluk Devan. Dia tidak peduli kalau Satria akan cemburu. Dia hanya ingin memeluk Dev sebagai Kakak laki-lakinya yang selama ini sudah sabar menemani dirinya yang ingin bangkit dari masa lalu yang menyakitkan.
“Sudah, yuk? Nanti ketinggalan pesawat,” ajak Pak Akbar.
“Iya, Pa,” jawab Ica.
“Dev, baik-baik di sini. Om akan rindu main catur sama kamu. Sering balik ke Indonesia, ya? Om tunggu kamu berbisnis kuliner di Indonesia,” ucap Akbar.
“Siap, Om! Nanti Dev akan sering pulang, kok. Kalau masalah itu, Dev sudah bicarakan sama papa dan papinya Aiko, yang mungkin akan membantu bisnis aku nantinya,” jawab Devan.
“Bagus kalau seperti itu!” Ucap Akbar dengan menepuk pundak Devan.
“Ya sudah kami pamit, ya?” ucap Anjani.
Mereka pamit untuk pulang. Dev harus rela melepaskan Ica yang pulang ke Indonesia, dan mungkin sebentar lagi Ica akan mengurus pernikahannya dengan Satria. Karena, Satria tidak ingin lama-lama untuk menikahi Ica.
“Aku rela, Ca. Tapi, kalau kamu disakiti Satria, aku yang akan turun tangan. Aku yang akan membuat Satria menyesal hidupnya!” gumam Devan dengan melihat Ica yang berjalan semakin menjauh menuju ke arah terminal.
^^^
Welcome to Indonesia ...
Tempat di mana aku di lahirkan, dan tempat di mana aku merasakan hidupku hancur
Ica memejamkan matanya sebelum turun dari pesawat yang baru saja landing di bandara Internasional Sukarno-Hatta. Sungguh hal yang tak pernah Ica sangka, bisa kembali ke tanah kelahirannya, dengan hati yang masih mengambang, dan berseteru dengan masa lalu yang sangat menyakitkan.
“Ayo, Ca?” Satria merangku Ica untuk turun dari pesawat.
“Iya, Kak,” jawabnya dengan menghela napasnya.
Benar-benar tidak disangka oleh Ica, dia akan melewati harinya lagi di kota yang penuh dengan kenangan bersama Arkan. Mantan kekasihnya, sekaligus manta yang akan menjadi suaminya dulu.
“Ini sama sekali tidak pernah aku duga. Aku yang ingin menetap di Jepang selamanya, menikmati beberapa musim di sana setiap hari hingga aku menutup mata, menikmati indahnya sakura dengan segelas matcha, seperti yang sering aku lakukan di sana bareng dengan Dev, atau sendirian, tapi ternyata malah balik lagi ke sini. Kota yang menyakitkan! Tapi, aku punya Kak Satria, dan aku yakin aku bisa melupakan Arkan. Kak Satria lebih baik dari Arkan, aku yakin itu,” gumam Ica.
Ica berada dalam satu taksi dengan Satria. Hanya berdua, karena Bu Leli bersama dengan kedua orang tua Ica. Mereka sengaja supaya Ica dan Satria lebih dekat lagi, dan saling ngerti satu sama lain.
“Kak, pinjam bahunya, ya?”
“Ini untuk kamu, Ca. Sini calon istriku.” Satria menarik tubuh Ica, bukan ia sandarkan kepala Ica di bahunya, tapi di d**a bidangnya.
Ica bisa merasakan detak jantung Satria. Dadanya lebih lebar dari d**a Arkan yang pernah mendamaikan jiwanya saat berada dipelukan Arkan dulu.
“Mau langsung ke rumah atau kita mampir ke mana dulu?” tanya Satria.
“Ehm ... langsung ke rumah saja, Kak. Aku lelah,” jawabnya.
“Oke, langsung istirahat ya?”
“Iya,” jawab Ica.
Ica tertidur di pelukan Satria. Ada rasa nyaman dengan dekapan Satria, yang membuat Ica nyaman, hingga tertidur pulas di pelukannya.
“Aku sangat mencintaimu, Ca. Aku janji, akan membahagiakan kamu,” gumam Satria dengan menatap wajah Ica.