Tidak biasanya aku seperti ini. Merasakan nyaman pergi dengan Dev. Makan malam yang cukup romantis menurutku, dan perlakuan Dev yang benar-benar lembut denganku. Dev juga sudah tidak seperti dulu. Dia lebih sabar, lebih bisa menerima keadaan, tutur katanya juga sekarang jadi sopan, tidak seperti Dev yang dulu. Benar sih, hidup itu harus ada perubahaan yang positif. Seperti Dev saat ini mungkin. Atau mungkin juga karena Aiko selalu mengajarkan Dev untuk berbuat baik, karena selama dengan Aiko, Dev benar-benar menjadi lebih baik.
Aiko. Aku hanya tahu lewat cerita Dev saja. Tidak pernah sekali pun aku bertemu dengannya, tapi aku yakin, Aiko perempuan yang baik. Semoga saja Dev bisa membuka hati untuk perempuan lain, mungkin dengan Aiko? Eh, tapi mana mungkin? Pasti Aiko sudah punya kekasih atau calon suami yang lebih dari Dev lah. Secara dia kan pemilik restoran, bisnis women, bisnisnya juga sampai ke negara lain. Mana mungkin suka sama Dev? Anak yang baru kemarin dan sedikit bar-bar. Tapi, sekarang berubah sih?
Aku melirik Dev yang sedang serius mengemudikan mobil. Dia memutarkan sebuah lagu. Lagu Sheila on 7. Seberapa pantas kah kau untukku tunggu? Sebait lirik itu seakan mewakili apa yang ada di dalam hati Dev. Mungkin sih, aku hanya menebak saja. Devan juga terlihat sibuk sekali dengan ponselnya. Mungkin masalah pekerjaan, karena sekarang dia kan dipercaya Aiko mengurus cabang restorannya. Jadi Dev super sibuk.
“Ca, mau mampir ke mana lagi?” tanya Dev.
“Ehm ... pulang saja sih sepertinya? Kamu mau ke mana?” jawabku.
“Mumpung masih belum malam, mau gak nemenin aku menemui Aiko di rumahnya?”
“Ke rumah Aiko?”
“Iya, aku ada keperluan sebentar dengan Aiko. Dia ingin menemuiku, tapi katanya sedang tidak enak badan.”
“Oh, ya sudah aku ikut, kalau aku tidak mengganggu kamu, Dev,” jawabku.
“Ya enggak lah, Ca? Masa ganggu sih?” ucap Dev dengan mengusap kepalaku dengan lembut.
Aku hampir saja kena diabetes malam ini karena perlakuan Dev yang begitu manis dari tadi saat mengajak makan malam. Tidak biasanya dia seperti ini denganku.
Kami sudah sampai di rumah yang cukup sederhana, rumah yang halamannya cukup luas, dengan dihiasi lampu temaram di taman dan halaman rumahnya.
“Ini rumah Aiko?” tanyaku.
“Iya, Ca. Yuk turun?” ajak Dev.
“Kamu sering ke sini?”
“Ya enggak sering sih, tapi setelah aku pegang cabang restoran, aku jadi sering ke sini,” jawab Dev.
“Ya namanya sering, Pak?”
“Gitu ya, Bu?” gurau Dev.
“Iya, Pak Devano ....”
“Gitu ya, Bu Ica?”
“Ih kenapa malah candaan gini? Buruan masuk, udah ditunggu lho?”
“Ya udah yuk?”
Dev menggandeng tanganku, kami berjalan beriringin menuju ke teras rumah Aiko. Halaman rumahnya sangat luas, jadi butuh sedikit jalan kaki ke teras dari tempat parkir.
“Selamat malam, Aikonya ada?” tanya Dev dengan asisten di rumah Aiko.
“Ada, Tuan Muda Dev, sebentar saya panggilkan, silakan duduk, Tuan,” jawabnya.
“Tuan muda, berarti Aiko calon Nyonya kamu dong?” candaku setelah asisten Aiko masuk memanggil Aiko.
“Ih apaan sih!” tukas Dev.
Devan mengajakku duduk di sofa yang berada di ruang tamu. Rumahnya estetik sekali. Dan, kata Dev Aiko tinggal sendiri di rumahnya, karena papi dan maminya menempati rumahnya sendiri.
“Hai, Dev. Maaf nunggu lama,” ucap Aiko dengan menuruni anak tangga.
“Eh, ada ....”
“Ini Ica, Aiko. Temanku,” tukas Dev.
“Ica yang sering kamu ceritakan itu?”
“I—iya, Aiko, Benar.”
“Hai, Ca ... salam kenal, aku Aiko.”
“Salam kenal, Ica temannya Dev.” Ucapku dengan berjabat tangan. Sungguh Aiko sangat manis sekali. Tubuhnya seksi, putih, dan perfect.
Aku menunggu Dev yang sedang membicarakan soal restoran dengan Aiko. Aku hanya menjadi pendengar setia. Tapi, aku sangat bahagia, melihat Dev bisa mencintai pekerjaannya yang sekarang dan bertanggung jawab sekali dengan pekerjaannya. Aiko tidak salah memilih Dev untuk jadi orang kepercayaannya.
“Ica, maaf ya, jadi cuekin kamu,” ucap Aiko.
“Enggak apa-apa kok, santai saja, kan kalian sedang ada urusan pekerjaan,” jawabku.
Aiko hanya tersenyum dan kembali membicarakan soal restoran barunya yang akan segera lounching. Aku juga mendengar sedikit percakapan mereka. Aku mendengar Aiko menyebutkan nama papanya Dev. Apa mereka saling kenal orang tuanya? Aku tidak mau memikirkannya, itu urusan mereka. Mungkin saja mereka kenal. Dan, aku tidak peduli itu, toh itu urusan mereka?
“Jadi Om Tama sudah bilang papa?”
“Iya, Dev. Papi sudah bilang dengan papamu, katanya papa kamu mau ke sini dengan mamamu?”
“Papa besok atau lusa balik ke sini. Kemarin ada urusan mendadak, jadi balik harus balik ke Bandung.” ucap Dev.
“Jadi mamamu tidak ikut?” tanya Aiko.
“Iya, katanya masih kangen sama anak semata wayang,” jawab Devan.
“Ya sudah, nanti aku bilang sama papi, biar semuanya cepat disegerakan,” ucap Aiko.
“Oh, baguslah, lebih cepat kan lebih baik juga. Iya, kan?”
Entah apa yang mereka bicarakan. Orang tua Dev dan Aiko sepertinya sudah saling kenal. Mungkin orang tua Dev dan Aiko akan menjalin kerja sama juga. Kata papa juga, papanya Dev ingin menggeluti bisnis kuliner. Mungkin mereka sedang membicarakan ini?
“Aiko, sudah malam sekali. Kayaknya aku harus pamit pulang. Lihat aku bawa anak gadis orang. Aku harus pulang tepat waktu. Besok kalau kamu masih tidak enak badan. Aku jemput kamu untuk ke restoran,” ucap Dev.
“Oke, kamu hati-hati. Besok aku hubungi kamu dulu saja Dev. Soalnya enggak tahu aku besok ke resto atau tidak. Nanti berkabar saja,” jawab Aiko.
“Oke. Kalau begitu kami pamit pulang, ya?” pamit Dev.
“Iya, Dev.”
“Aiko, pamit pulang dulu, ya?” pamitku.
“Iya, Ca,” jawabnya dengan ramah.
Benar-benar wanita perfect sekali. Kagum sekali aku melihatnya, sudah cantik, ramah, pintar, pantas saja bisnisnya maju. Sama karyawan juga mengayomi. Karyawan mana yang gak betah, kalau bosnya sebaik dan secantik itu?
Aiko mengangtar kami sampai di halaman rumahnya. Kami melambaikan tangan pada Aiko saat Dev melajukan mobilnya. Aku masih memikirkan Aiko. Bukan mikir apa-apa. Aku hanya kagum saja, masih ada orang sebaik dan seramah itu pada Karyawannya. Benar kata Dev, Aiko sangat baik dengan semua karyawannya, bukan hanya dengan Dev saja. Buktinya dia pun sangat lemah lembut sekali bicaranya dengan asisten di rumahnya tadi.
“Hei, melamun? Mikir apa sih?” Dev sedikit mengagetkanku yang sedang melamun Aiko.
“Siapa yang melamun, aku hanya sedang kagum dengan bos kamu itu. Pasti baik sekali ya orangnya?”
“Sangat baik. Tidak hanya denganku saja, dia baik pada semua karyawan di restorannya,” jawab Dev.
“Iya, sudah kelihatan sih dari raut wajahanya. Dia benar-benar orang baik,” ucapku.
“Oh iya, Dev, kok tadi Aiko bilang mama dan papa kamu akan ke sini? Bukannya mama dan papamu tadi kamu bilang sedang di sini?”
“Oh itu? I—iya papa dan mama di sini, tapi papa kan balik ke Bandung sudah tiga harian kalau gak salah. Ternyata papa kenal sama papinya Aiko. Ya sudah cukup lama sih, dan aku baru tahu seminggu yang lalu,” jawab Dev.
“Oh gitu?”
“Iya, Ica ... kenapa?”
“Enggak apa-apa, Dev.”
“Papaku juga kerja sama dengan papinya Aiko sih. Kan papa di Jakarta buka restoran, sama di Bandung? Ya, dari situ mereka kenal, dan ternyata sudah saling kerja sama,” jelas Dev.
“Kamu dekat dengan papinya Aiko?” tanyaku.
“Enggak terlalu sih? Enggak seperti sama papamu? Aku sama papaku saja enggak sedekat dengan papamu kok? Masa iya aku dekat dengan papinya Aiko?”
“Iya sih, kamu kan anak laki-lakinya papa? Kalau sehari enggak ke rumah saja udah pada bawel mereka. Nanya kamu terus,” ucapku.
“Paling kangen main catur sama aku?”
“Iya, gitu paling.”
“Lucu ya, Ca? Kadang orang yang sudah sangat dekat, kalah dengan orang yang baru saja kenal. Ya seperti aku ini, aku dekat sekali dengan kamu, dengan keluarga kamu, tapi kamu tidak pernah balas cintaku. Aku kalah dengan Arkan, keluarga yang baru saja kamu dan orang tuamu kenal, sekarang Kak Satria. Tapi, kamu jangan mikir itu, aku sudah cukup bahagia, karena aku selalu dikangenin papamu,” ucap Dev dengan tersenyum. Senyuman yang aku rasa sangat terpaksa dan terasa getir di hatinya.
“Dev, maafin aku, ya? Aku pun masih belum bisa mencintai Kak Satria, aku masih belajar untuk mencintainya, Dev. Kalau pun aku harus belajar mencintaimu, sebenarnya bisa saja, Dev. Tapi, aku lebih nyaman kamu temanku, Dev.”
“Dan, aku tidak mau memaksamu untuk belajar mencintaiku, Ca. Aku butuh orang yang benar-benar mencintaiku, bukan hanya sekadar belajar, lalu meninggalkan karena tidak pernah bisa. Kalau pun suatu hari nanti aku diberi kesempatan dekat dengan perempuan lain, aku akan mengutarakannya kalau aku sudah benar-benar jatuh cinta dengan perempuan itu, aku tidak mau belajar mencintai perempua lain, karena kalau aku gagal dalam belajar itu, akan menyakiti hati perempuan itu. Jadi, aku akan nunggu sampai aku benar-benar jatuh cinta lagi dengan perempuan lain,” jelas Dev.
“Cinta itu kebutuhan pokok dalam sebuah hubungan. Jangan anggap remeh cinta, dengan berkata, aku akan belajar untuk mencintai. Orang yang seperti itu, sebenarnya tidak punya cinta, dan tidak siap menjalin suatu hubungan,” imbuh Dev.
“Tapi, kan semua juga harus dengan terbiasa, Dev?” protesku.
“Iya, harus terbiasa. Tapi, contohla kamu, Ca. Kamu biasa dengan aku, tapi enggak cinta, kan?”
“I—iya, sih?”
“Kamu tahu itu karena apa? Karena tidak semua cinta akan tumbuh karena terbiasa, Ca. Cinta itu kadang tumbuh karena pandangan pertama, atau apa pun, bukan karena terbiasa. Kalau terbiasa, mungkin kamu akan mencintaiku. Beda dengan diriku, karena aku mencintai seorang Ica, sejak ikut MOS SMP. Aku jatuh cinta pada gadis yang sedang dihukum kakak kelas karena terlambat, dan tidak tahu kenapa aku ikutan minta dihukum, aku bilang aku juga terlambat, supaya dekat dengan kamu.”
“Dan, dari situ kita kenal, kita sering bareng, sampai sekarang,” ucapku.
“Iya, dari situ, dari situ aku mulai jatuh cinta dengan kamu, Ca.” Devan menatap aku dengan penuh cinta. Aku tahu, tatapan Dev, bukan tatapan yang seperti biasanya, ada cinta yang begitu dalam untukku.
Tapi, aku tidak bisa, karena Dev tidak ingin aku belajar mencintainya, kalau pun Dev mau, malam ini aku akan putuskan, akan menolak Kak Satria, tapi Dev tidak ingin aku belajar mencintainya. Aku rasa, aku perlu belajar mencintai Dev, jika Dev mau. Karena tidak mudah bagiku langsung mencintai Dev begitu saja. Ada hati yang tertinggal di sini, hati itu milik Arkan, dan aku tidak mau menyakiti Dev. Dia sudah sering sakit hati karena aku.
“Tidak usah memaksakan untuk jatuh cinta, suatu hari nanti, hati ini akan menemukan pemiliknya yang tepat,” ucap Devan.
“Iya, Dev. Maafin aku, ya?”
“Jangan minta maaf terus, ya? Kamu enggak salah, kok. Perasaanku juga gak salah, kan? Kalau aku jatuh cinta sama kamu? Yang salah kan kalau aku jatuh cinta sama sesama cowok, Ca?” ucap Devan.
“Iya lah! Masa mau jeruk makan jeruk? Kamu ada-ada saja, Dev.”
Aku tahu, Dev sakit hati karena ini, tapi aku yakin, Dev akan menemukan perempuan yang tepat. Bukan denganku, yang nantinya akan membuat Dev sakit hati lagi.