Wira terus mengeluh, kali ini dia mengeluh keberatan bawa carriernya, padahal jika Andraga selidiki isinya paling hanya botol minum dan kotak bekal saja.
"Keluarin isinya, pindahin ke carrier gue," titah Andraga. Bosan karena perjalanan belum ada apa-apanya tapi keluhan sudah sepanjang jalur pantura.
"Gak, gak usah, ya udah sory, lo maklumin gue yang baru pertama kali belusukan naik-naik gunung begini."
Andraga mendengkus, dia mendahului Wira dan Chandra menghampiri sang Kakak yang kepayahan membuka jalan dengan alat seadanya.
"Jangan banyak duri, biar gue aja."
Lagi-lagi Andraga berdecak, "Elah, Kak, duri doang, gue bantu kan biar cepet kita naik."
"Hus, jangan sembarangan ngomong!"
Keempat pemuda itu menyingkirkan semak belukar dengan alat seadanya. Alvian dan Andraga tidak pernah ada rencana sedikit pun untuk mendaki di luar track yang biasa dia lalui.
Hanya mengandalkan pisau lipat untuk menebas tanaman yang sukar disingkirkan dengan menggunakan tangan kosong.
Belukar itu membelai tubuh ramping mereka, menyisakan rasa gatal dan beberapa luka gores memanjang yang perih bercampur dengan peluh.
"Stop!" Alvian sedikit berteriak.
"Jangan ada yang bergerak," lanjutnya.
Wira dan Chandra patuh, Andraga yang paham dengan kode dari Alvian menajamkan penglihatannya. Jangan bergerak artinya ada hewan berbahaya di sekitarnya. Benar saja, sesuatu yang berwarna hijau berada tidak jauh dari mereka.
Andraga selalu lebih pintar membedakan jenis ular. Dia bergerak maju mendekat memastikan jenis ular apa yang ada di hadapannya. Apakah Trimeresurus Albolabris yang memiliki ciri-ciri utama ekor berwarna merah. Ular bangkai laut juga dikenal dengan sebutan viper hijau dan merupakan jenis ular berbisa tinggi dengan kandungan racun hemotoksin. Atau hanyalah
Ular gadung atau Oriental whip-snake.
yang merupakan jenis ular pucuk yang paling sering dijumpai. Ular ini tersebar luas di Asia Selatan hingga kepulauan Nusantara. Disebut ular gadung karena penampang tubuh ular ini yang menyerupai pucuk tanaman gadung (Dioscorea hispida). Ular gadung ini tidak berbahaya, tetapi tetap saja jika tergigit akan menimbulkan sakit dan menyebabkan peradangan.
Dengan alat yang selalu dia bawa Andraga berhasil menyingkirkan ular yang ternyata ular gadung itu hingga jauh dari jangkauan mereka dan Alvian dengan leluasa kembali membuka jalan dengan mengempaskan belukar yang terus menjamah tubuh mereka.
Andraga seperti menandai pohon yang dilalui agar ketika pulang nanti mereka tidak tersesat.
Dua jam berlalu mereka rasanya tidak mengalami kemajuan yang berarti, tidak ada lima puluh meter mereka lalui. Di jalur normal mungkin sekarang sekarang sudah melewati pos 2 dan bergerak menuju pos 3.
"Pengen istirahat," keluh Chandra.
"Istirahat di semak belukar begini alamat didatangi, ular, kelabang, dan lain lain," jawab Andraga santai.
"Sebentar lagi semoga ketemu tanah yang datar, istirahat di sana sambil baca peta lagi, biar gak nyasar."
Alvian meyakinkan.
Nyanyian burung-burung disahuti oleh suara yang entah berasal dari hewan apa, terdengar bagai musik yang mengiringi perjalanan mereka. Jalanan yang basah sisa hujan lebat membuat sepatu mereka berubah warna, karena tanahnya merah dan lengket.
Alvian berhasil mencapai satu titik di mana mereka bisa beristirahat sekadar untuk merengangkan otot-otok kaku yang dipakai untuk menopang tubuh saat berdiri di lereng licin penuh dengan semak belukar.
Dua buah pohon berhadapan, salah satunya memiliki tonjolan akar yang menyilang persis menyerupai siku siku, jadi letak pohonnya berada di titik sudut. Alvian menggunakan pohon itu untuk bersandar, dari bawah lelaki itu yang paling banyak bekerja.
Sebagai sebagai seorang adik, Andraga dengan sigap memberikan air, dan cemilan yang dia bawa sebagi pengisi energi untuk sang Kakak.
Cuaca pagi hari hujan lebat, lalu hujan itu berganti menjadi panas dan mengantarkan mereka untuk melanjutkan pendakian.
Sayangnya cuaca cerah itu tidak berlangsung lama, kini ketika waktu menunjukkan pukul 18.00 hujan kembali turun ke bumi. Membuat suasana semakin mencekam dan dingin menggigit kulit.
Alvian dan Andraga yang sudah berpengalaman mendaki berhasil mendirikan dua buah tenda, satu untuk mereka berdua dan satu lagi untuk sepasang sepupu Wira dan Chandra.
Berlindung dari amukan hujan Keempat remaja itu membungkus diri dengan menggunakan sleeping bag di tenda masing-masing.
"Gue nyesel," ucap Andraga saat melihat sang Kakak menggigil kedinginan.
"Gak ada gunanya anjir, harusnya lo gak tergiur iming-iming hadiah dari mereka."
"Lo capek banget yak? Besok biar gue jalan di depan yang buka jalan, mana sini gue liat petanya?" pinta Andraga.
Alvian diam saja, dia sudah terlalu nyaman berada dalam balutan slepping bag.
"Males, besok pagi aja, gue dah nyaman gini."
"Ya udah lo tidur gih, gue jaga, nanti giliran," perintah Andraga.
"Alah, laga lo, paling bentar lagi lo yang ngorok."
Andraga nyengir, benar saja, yang ngakunya mau jaga pada akhirnya malah terlelap duluan.
Alvian mengeluarkan tangan dari sleping bagnya, dia mengelus pipi sang adik yang tembem karena kebanyakan makan.
"Gue jagain lo bukan karena gue takut sama mami, Dik. Karena lo ya elo, satu-satunya adik yang gue sayangi, mana sanggup gue liat lo kenapa-napa."
.
.
.
Di tenda sebelah, Wirayudha dan Chandra tidak dapat memejamkan mata, selain dingin yang seakan menggerogoti tulang belulang, suara hujan dan angin juga tampak begitu mengerikan.
"Bro, lu takut gak?" tanya Chandra.
"Takut, tapi setidaknya gue tenang karena ada Alvian dan Andraga. Coba kalau gue nurut apa kata lo, kita berangkat berdua saja, mungkin kita sudah mati saat ketemu ular tadi."
"Sttt, gak boleh ngomong sembarangan, bukan?" bisik Chandra.
"Gue lapar," keluh Wira.
"Gue kedinginan," keluh Chandra.
Kedua sepupu itu tidak pernah menyangka kalau perjalanan yang semula mereka Anggap mudah ternyata merupakan perjalanan yang paling sulit yang pernah mereka lalui dalam hidup.
Menjelang tengah malam amukan hujan berhenti, meski air dari langit itu belum sepenuhnya habis setidaknya hanya berupa rintik gerimis.
Andraga dan Alvian sudah jatuh dalam mimpi panjang mereka, sedangkan Wira gelisah, tiba-tiba berbagai rasa takut membuat lelaki itu kesulitan memejamkan mata.
Bagaimana kalau tiba-tiba ada binatang buas yang datang memangsa mereka.
Atau ada ular besar yang meremukkan tulang dan membuatnya kehabisan napas.
Lelaki itu gelisah, dia akhirnya membangunkan sepupunya.
"Gue takut," bisik Wira.
"Alah, lo ganggu gue tidur aja. Lo tidur gue jaga!"
.
Satu malam rasanya seperti seribu malam, teramat panjang dan tak terang-terang. Hujan sudah sepenuhnya berhenti dan itu dimanfaatkan oleh Andraga untuk menyalakan perapian dengan menggunakan bahan seadanya.
Tidak ada ranting kering, tetapi anak itu cukup pandai menyalakan api hingga membuat Wira, Chandra dan Alvian memilih keluar dari balutan sleping bag dan mendekat dengan api.
"Gue ada mie instan, mau?" tawar Chandra.
"Kita gak tau berapa lama perjalanan ini akan berlangsung, yang pasti, mulai sekarang hematlah sebisanya. Satu bungkus mie Instan kita bagi jadi empat bagian." Alvian masuk ke dalam tenda, mengeluarkan sebuah alat mirip penggorengan yang kemudian diisi air secukupnya.
"Sianjir, mana kenyang mie sebungkus di makan berempat, minimal sebungkus berdua dah, kita juga kan perlu tenaga buat lanjut perjalanan hingga akhir." Wirayudha memprotes usulan Alvian.
Tidak ada bantahan lagi mengingat Andraga juga mengiyakan perkataan Wira. Andraga itu adalah kelemahan sekaligus kekuatan Alvian. Mau tak mau dia mengalah.
Padahal maksudnya baik, persediaan yang minim dihemat agar cukup untuk tiga hari ke depan.
"Nanti kalau udah agak terang kalian beresin tenda," perintah Alvian.
"Lo ngapain?" sinis Chandra.
"Pas gue pasang lo berdua ngapain?" balas Alvian.
Sejak awal Alvian dan Chandra memang tidak begitu akur. Wira dan Andraga lah yang jadi penengah.
Ketika mereka sedang asik menikmati hangat dan gurihnya Mie instan yang dimasak sedadanya. Keempat orang itu mendengar sebuah rintihan seorang perempuan.
Terdengar memilukan dan membuat mereka merinding.
Mereka ada di hutan belantara, pantas saja jika ada berbagai makhluk yang tak kasat mata yang ikut dalam perjalanan pendakian mereka.