Hari kedua di gunung itu, matahari mengintip dari sela-sela dedaunan yang hijau, lereng-lereng yang mereka pijak licin sisa hujan semalam. Untungnya tempat mereka berpijak kini tidak terlalu banyak semak seperti pertama kali masuk ke area jalur ini. Alvian tidak harus mengibas-ngibaskan pisau lipatnya demi memangkas ranting semak yang bikin kulit jadi gatal.
Menurut peta yang ada di naskah kuno milik kakenya Wira dan Chandra, dari titik mereka berdiri sekarang harus terus lurus ke arah utara, dengan jalan setapak yang sangat berbahaya untuk dipijak, ada firasat buruk yang dirasakan oleh Andraga.
Kecintaannya terhadap reptil membuat dia bergabung dengan satu komunitas, di komunitas tersebut, pernah membahas tentang lembah ular yang letaknya di arah utara pegunungan ini. Di lembah ular itu Pijakan lerengnya bukan tanah merah yang lengket dengan sepatu, melainkan lapisan-lapisan tebal batuan kapur, yang memiliki ribuan celah alami, terowongan, dan gua-gua kecil.
Tetes-tetes hujan membentuk lubang runtuhan atau yang biasa dikenal dengan sinkhole. Lubang yang sangat sempurna untuk ular-ular hibernasi dan membuat sarang.
Mereka akan kawin dan berkembangbiak dan pada kisaran bulan Oktober hingga Desember telur-telur ular akan menetas.
Andraga bungkam. Dia harus mengatakan kalau medan selanjutnya adalah lembah ular tersebut, lagipula belum waktunya ular-ular itu menetas dan belum waktunya kawin. Jadi mereka setidaknya aman karena ular yang mungkin akan mereka temui tidak sebanyak saat musim kawin tiba.
“Guys,” ucap Andraga, dia meletakkan carriernya di atas batu besar. Lalu menyender seolah dia sedang kelelahan.
Tiga orang di depannya serempak menoleh, melihat sang Adik berhenti, Alvian buru-buru menghampiri.
“Lo gak apa-apa, Dek?” tanya Alvian.
“No, gue sehat, Sini sebentar, kumpul. Kita harus bicara.”
Wira berdecih, saat sedang semangat-semangatnya muncak malah disuruh berhenti. Kemarin saat dia kelelahan dan minta berhenti tidak dikabulkan dengan alasan keburu gelap dan belum menemukan tempat yang cocok untuk mendirikan tenda.
“Kak, lo pasti tau apa yang mau gue omongin.”
“Sudah gue duga,” ucap Alvian.
Chandra menduduki batu dan menyenderkan badannya pada batang pohon. Sambil melihat Andraga yang belum juga membuka suara, Chandra membuka botol minumnya.
“Yang akan kita hadapi di depan cukup berbahaya, gue minta kalian berdua jangan panik kalau nanti ketemu sama ular. Gak seperti ular yang kita lihat sebelumnya. Ini jelas berbeda.”
“Beda gimana?” selidik Wira.
“Lo bakal tahu sendiri. Tujuan gue di sini bantu kalian berdua, jadi kami mohon kalian juga bantu kami, agar perjalanan kita gak ada hambatan,” tegas Andraga.
Ketika dituntut tegas maka lelaki berusia dua puluh tahun itu bersikap sangatlah tegas. Meski tiga orang lainnya memiliki usia di atasnya.
“Ularnya berbisa tidak?” celetuk Chandra.
“Ini hutan, Bro. Bukan kebun binatang, kita gak tahu hewan apa yang bisa kita temui di depan, kita juga gak tahu ular jenis apa yang akan menghadang kita nantinya. Bisa kobra, bisa king kobra, bahkan ular pohon yang tidak berbisa pun bisa kita temui di sini.”
Wira dan Chandra setuju dengan permintaan Andraga, sembari memijat betisnya, Chandra membayangkan seperti apa medan yang akan dia lalui selanjutnya. Apakah sarang ular dengan pemimpin Dewi Ular Nagagini, makhluk bersayap setengah manusia, setengah ular. Ia merupakan putri dewa ular bernama Hyang Antaboga yang mendiami bumi lapisan ke tujuh atau dikenal dengan Sapta Pratala.
Gerakan Alvian kemudian menyadarkan Chandra dari lamunan, dia lantas kembali membuka peta yang tadi terselip di naskah itu.
“Sini mendekat,” ajak Alvian.
Ketiganya beringsut maju, lantas memperhatikan gerakan telunjuk Alvian di atas peta berwarna cokelat hampir usang.
Jangan pernah bayangkan perta harta karun yang sering dilihat di film-film. Ini jelaslah berbeda. Bentuknya mirip kitab atau buku kecil. Jika disandingkan dengan naskah kuno itu maka akan membentuk sebuah pola mirip dengan crop circle. Ada dua jalur mirip dengan medan magnet di tengah lingkarannya.
“Ini simbol apa?” tanya Alvian.
“Petir?”
“Betul. Ini badai dan petir, kita sudah melalui badai dan petir ini tadi malam, dilihat dari lokasi ....” Alvian lantas menunjuk simbol lainnya.
“Ular,” desis Andraga. “Tepat sekali kita akan bertemu lembah ular. Peta ini benar adanya, kakekmu sudah melewati perjalanan ini dan memberi tanda sebagai pengingat bahwa bahaya-bahaya inilah yang akan di hadapi dalam perjalanan ini.”
“Setidaknya kita bisa antisipasi, Bro. Apa pun yang ada di depan sana kita hadapi bersama. Yok lanjut, keburu turun kabut.”
*
Yang Alvian dengar selama perjalanan adalah kicau burung, suara serangga, desau angin dan juga keluhan Chandra. Mereka keluar dari area hutan menuju pinggiran tebing, lantas mereka menjumpai tanjakan yang diapit oleh jurang.
Berkali-kali Alvian si pemimpin mengingatkan tiga orang di depannya untuk lebih meningkatkan kewaspadaan. Mengingat jalanan licin, jalurnya sempit serta banyak akar melintang. Tanjakan yang dilalui selanjutnya tidak begitu terjal. Namun itu tadi lokasinya yang berada di tepi jurang dan licin menjadi susah dilalui.
“Ini jalannya kayak yang sering dilalui pendaki, Bro.”
“Dulu iya,” ucap Andraga. “Ditutup karena banyak orang yang tidak sanggup sampai puncak lewat jalur ini.”
Mereka kembali menaklukkan trek yang terjal dan becek. Di ujung jalan setapak yang sudah lama tidak dilalui pendaki itu mereka berhenti. Ada dua jalur dan mereka harus melihat kembali peta untuk menentukan jalur mana yang akan mereka pilih.
“Okay menurut keterangan peta kita ambil jalur kiri, 250 meter dari sini sudah termasuk lembah ular. Kalian siap?” tanya Alvian.
Bulu kuduk Wira meremang, selain geli kala membayangkan binatang bertubuh panjang itu, dia juga merasa perjalanan ini diikuti. Sejak di pos 1, di tanah tempat mendirikan tenda bahkan sekarang. Wira menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa selain Andraga yang asik memotret pemandangan sekelilingnya.
“Ingat gak, sih, Bro. Lembah ular simbol di peta ular. Badai petir ya, simbol petir. Gue penasran dengan simbol setelah lembah ular. Masa gambar api unggun. Mungkin itu tanda kita kudu pasang api unggun kali, ya?”
“Di sini dingin. Ya kalau tidak hujan, kita nanti pasti bikin api unggun.” Alvian menjelaskan.
Setelah melewati lereng tepian jurang kini mereka masuk lagi ke dalam hutan. Panas terik yang semula membakar kulitnya kini teduh karena tertutup kanopi alami yang terbentuk dari pepohonan. Jalan mereka percepat, jangan sampai bermalam di lembah ular. Bisa-bisa tidur bareng ditemani oleh makhluk-makhluk itu.
Ada sebuah tembok setinggi lima puluh sentimeter, prasasti dengan tulisan lembah ular. Mereka sampai. Suasana tiba-tiba mencekam. Wira dan Chandra meningkatkan kewaspadaannya sekali lagi. Jangan sampai mereka mati konyol di sini gara-gara digigit ular. Padahal tujuan utama mereka menemukan apa yang sang Kakek bangun belum juga tercapai.
Wira dan Chandra berharap, perjalanan kali ini tidaklah sia-sia. Dan mereka harus bergrgas mengingat waktu yang mereka punya tidaklah banyak.
Meski jutaan rintangan akan menghadang perjalanan mereka, itu tidak jadi masalah. Seorang Pria tidak akan pernah takut untuk melangkah sekalipun di medan paling berbahaya.