Naskah Kuno

1558 Kata
“Kalau masih hujan kita tunda berangkatnya, lagi pula kita keluar dari track. Bahaya.” Alvian memelankan suaranya, setelah melihat peta lusuh, jalur pendakian yang akan mereka lewati memang keluar dari jalur yang biasanya. Tetapi mereka tidak akan dicurigai saat memasuki jalur tersebut karena dekat situ memang ada sumber mata air yang selalu digunakan para pendaki untuk mengisi persediaan air bersih saat mendaki. Namun rupanya, rancana mereka memang direstui langit. Awan hitam yang semula  membuat dunia sekitarnya menjadi gelap kini berarak seperti ada yang penggerak yang menariknya dengan cepat. Wira tersenyum dengan fenomena yang terjadi, itu artinya Alvian harus ikut dengan mereka. Mencari dan menemukan apa yang sudah kakeknya ciptakan. “Nanti di atas, atau setidaknya di tempat yang sedikit sepi, kita buka dan baca ulang naskahnya. Gue udah pakai jasa penerjemah, budayawan sunda.” Kening Andraga dan Alvian berkerut mendengar kata budayawan, tetapi kebingungan mereka tidak sampai menghentikan aktivitas dalam mempersiapkan keberangkatan mereka menuju puncak. Eh, ralat! Bukan puncak, melainkan tempat yang Alvian saja tidak tahu itu di mana. Para pendaki sudah siap untuk berangkat. Petugas kembali membacakan tata keselamatan dan pedoman pendakian. Jalanan licin bekas hujan menjadi sorotan utama. Regu per regu sudah berangkat mendahului. Tersisa regu Andraga, Alvian, Wirayudha dan Chandra yang mulai menerjang track licin sedikit menanjak. Belum ada kesulitan mengingat masih aman-aman saja. Konon setelah melewati pos dua barulah mereka akan menemukan tanjakan curam terlebih saat licin. “Dari Pos satu nanti kita belok kiri ke sumber mata air, kosongkan wadah air kalian sekarang biar ada alesan gitu buat masuk jalur itu.” Wira terus memimpin, Alvian mendecak tidak suka, dia lantas mendahului dan berbalik. “Oke Guys, saat mendaki biarkan gue yang pimpin, jam terbang lo belum banyak, Bro. Sorry gue harus lakuin ini karena gue harus bawa balik adek gue ke rumah dengan selamat.” Andraga mengentakkan kaki karena kesal. Berkali-kali lelaki itu merasa kesal dengan perlakuan sang Kakak. Kontan Chandra dan Wira terbahak karenanya. “Oke, Bro. Jadilah pemimpin yang bisa kami andalkan. Jalanan setapak yang sudah dibuka memudahkan mereka untuk terus mendaki mencapai pos 1 pemantauan. Dari jarak beberapa meter, terlihat bagian belakang ransel pendaki lainnya. Sisa-sisa hujan yang menempel pada tumbuhan dan semak membuat celana mereka basah saat melewatinya. Namun, setidaknya perjalanan tidak begitu melelahkan karena tidak begitu terik. Pohon-pohon besar seakan memayungi mereka dari paparan ultraviolet. Andraga berjalan dengan kesal mengikuti sang Kakak yang bisanya Cuma ngatur-ngatur saja. Langkah mereka terhenti saat ada satu regu pendaki yang berhenti. Salah satu dari mereka tergelincir hingga terkilir. “Mumpung belum sampai atas, mending balik aja ke rumah singgah,” saran Alvian. “Track lagi gak bersahabat, kemungkinan perubahan cuaca juga bisa terjadi kapan saja.” Perempuan itu terisak, dibantu dua orang temannya kembali ke rumah singgah. Sementara satu yang tersisa dari mereka seperti tidak terima perjalanan tidak dilanjutkan. “Boleh saya ikut kalian?” tanya perempuan itu penuh harap. “Sory, gak boleh ganjil. Lima orang artinya ganjil. Gue gak bisa langgar,” tolak Alvian, lelaki itu lantas mendorong Andraga untuk maju beberapa langkah. “Kakak masih percaya hal begitu?” rengek gadis itu. “Sory, Dek. Pulang aja sama teman-teman kamu, yak. Yuk, Bro makin siang, nih.” Wira terlihat sedikit lebih kejam daripada Alvian, gadis tadi hanya memandangi punggung keempat pendaki itu dengan perasaan sedih. Pergerakan mereka yang lumayan cepat berhasil membawanya hingga sampai di pos 1 pemantauan. Barulah setelah melewati jalur pendakian cukup landai mereka tiba di pos 1. Banyak relawan dan petugas yang bertugas di sana. Memeriksa  kelengkapan administrasi dari para pendaki. Sekali lagi mereka diberitahu untuk tidak melanggar aturan, keluar dari jalur pendakian dan tidak mencemari lingkungan. Waktu tempuh dari dari pos 1 menuju pos 2 sekitar dua jam. Namun, di tengah-tengah jalan ada persimpangan menuju sumber mata air yang biasa di ambil dan dimanfaatkan pendaki untuk mengisi perbekalan. Nantinya mereka akan balik lagi hingga bertemu dengan jalur utama. Mereka berbelok, menuju sumber mata air itu, dari jalur utama dibutuhkan tiga puluh menit hingga mencapai sumber mata air pegunungan. Belum sampai mata air, Wira sudah duduk selonjoran tepat di batang kayu yang rubuh. Betis rasanya kesemutan, kepala berkunang-kunang. Peluh bercucuran hingga membasahi seluruh pakaian yang dia kenakan. Setali tiga uang dengan Wira, Chandra pun merasakan hal yang sama. Dia bahkan merasa ingin menyerah karena ternyata mendaki gunung tidak semudah apa yang dia bayangkan sebelumnya. “Ini belum ada seperempat perjalanan, Wir. Lo udah nyerah gitu?” Wira menggeleng, dia membuka ranselnya, mengeluarkan sesuatu yang dibungkus kain satin embos keperakan. Melihat itu dibuka, Alvian dan Andraga barulah percaya jika Naskah Kuno itu benar-benar ada. Alvian menjulurkan tangannya dan mengelus punggung naskah, persis seperti mengelus binatang peliharaan yang teramat disayangi. “Lo pemimpin kita, coba buka.” Wira menyerahkan naskah itu dan diterima dengan tangan bergetar oleh Alvian. Andraga buru-buru mendekat, penasaran juga dengan buku yang kini ada dalam genggaman sang kakak. Naskah dengan sampul terbuat dari kulit itu dibuka oleh Alvian. Di dalamnya terdapat aksara Sunda yang tidak dia mengerti sedikit pun. Ingat waktu belajar bahasa Thailand bersama Maminya, itu tidak terlalu sulit. Tapi naskah ini dia sampai bolak-balik Alvian dan Andraga hanya saling tatap karena gak mengerti. “Itu ada terjemahannya sebagian, Bro.” Chandra membantu Alvian membuka bagian naskah lainnya. Dan memang ada beberapa penjelasan serta hasil translate naskah di sana. Yang paling penting adalah peta menuju pintu masuk Dunia Bawah Tanah. “Bro, jalur ini udah ditutup sejak lama, katanya binatang buasnya masih banyak, yakin lo mau lanjutin perjalanan?” Andraga yang semula optimis tiba-tiba melempem seperti kerupuk yang dicelup kuah bakso. Alvian menelan ludah dia mengangguk mengiyakan perkataan sang Adik. “Sudah sejauh ini, Bro,” keluh Wira. Dia sangat ingin menemukan ciptaan sang kakek. “Makhluk rekayasa genetika, gue bayangin lucu kayak pokemon. Kita bakal kaya raya dengan ini, Bro.” Wira melanjutkan. Berbeda dengan Chandra yang memilih diam menikmati rasa sakit yang menjalar di sepanjang betisnya. Suara serangga, dan gemericik air dari jarak lumayan jauh, sebagai  penanda bahwa mereka dekat dengan sumber air tersebut. Alvian masih terus mengamati kalimat demi kalimat yang ditulis dalam Naskah Kuno. Ada beberapa bagian yang terlewat dan tidak dapat diterjemahkan oleh budayawan. Membuat rasa penasaran dan menciptakan misteri. Srak!! Serempak keempat pemuda itu melihat ke sumber suara. Wira sampai shock karena takut apa yang mereka diskusikan didengar oleh pendaki lain yang hendak mengambil air. Andraga dengan segala keberanianya mendekat ke arah sumber suara. Mengendap di antara semak berduri dengan medan yang lumayan licin sisa-sisa hujan tadi. Tidak ada apa pun di sana, Andraga terus menyisir ke sekitar sampai menemukan seekor ayam hutan yang kakinya terjerat oleh kantong kresek. “Ini, nih, muncak sambil buang sampah sembarangan akhirnya nyelakain hewan di sini,” keluh Andraga. Dia membantu melepaskan jerat kantong kresek dari kaki ayam hutan tersebut seraya terus menggerutu. Setelah melepaskan ayam tadi dan mengantongi sampah di kantong khusus yang selalu dia bawa Andraga lalu bergabung kembali dengan tiga orang lainnya. “Kalian yakin? Yang bakal kita temui di track itu banyak loh, ada lembah ular juga tempat di mana ribuan ular berbisa berkembang biak.” “Gue sih pengennya pulang, tapi keadaan memaksa gue untuk tetep lanjut dalam misi ini,” ungkap Chandra. Wira mengangkat sebelah alisnya. “Apa yang lo sembunyiin dari gue?” selidik Wira. “Gak ada, gue Cuma pengen misi kita berhasil. Gue mau bayar utang. Udah itu aja. Yok bisa yok, temukan makhluk lucu itu dan jadilah milyarder.” Alvian masih terus fokus membaca naskah. Dari sepintas yang dia baca ada negeri lain yang memang harus mereka masuki jika ingin bertemu dengan makluk rekayasa genetika ini. “Kenapa kakek lo gak lanjutin misi ini?” Akhirnya Alvian mengungkapkan rasa penasaran karena keganjilan. “Beliau sakit, trus sekarang sudah bersama malaikat di atas sana,” ungkap Chandra diikuti anggukan sedih oleh Wira. Wira dan Chandra adalah cucu kesayangan Natakusuma. Saat Natakusuma meninggal dunia, mereka dibebaskan memilih barang apa yang hendak mereka bawa sebagai kenang-kenangan. Hingga sampailah mereka pada sebuah surat yang menyatakan tempat di mana naskah ini dikubur di belakang rumah. Wira dan Chandra menggali dan menemukan naskah, setelah mengalami pergolakan batin dan kegalauan berbulan-bulan lamanya mereka akhirnya memutuskan untuk melakukan pencarian ini. Dan di sinilah mereka berada. “Sory, gue gak bermaksud ngungkit kesedihan kalian.” Alvian mengungkapkan penyesalannya. “Its Okay, asal kalian berdua mau bantu gue,” ucap Wira dengan senyum khasnya. “Gue udah di sini dari tadi artinya gue mau bantu kalian,” kata Alvian. “Buruan jangan kelamaan selonjoran, keburu gelap. Kita harus melewati lembah ular sebelum matahari terbenam.” Mereka semua berdiri, Alvian sang pemimpin mengantongi naskahnya dan membuka jalan untuk tiga lainnya. Andraga yang berjalan paling belakang merasa ada orang lain yang mengikuti, Tetapi saat melihat ke belakang, tidak ada siapa pun di sana. “Andraga, lo isi air dulu,” perintah Alvian begitu mereka tiba di sumber air. Air jernih yang memancar dari tanah. Andraga mengikuti perintak Alvian, mengisi botol minum mereka dengan air bersih hingga penuh. Mengikatnya di sisi sebelah kiri ransel. Memastikan mereka tidak akan kekurangan air saat melakukan pencarian untuk beberapa hari ke depan. Ketika usai, Mereka tidak kembali ke jalur yang dilalui seperti yang sudah seharusnya mereka lalui, melainkan berbelok ke arah kanan, sebuah jalur yang sudah lama ditutup dan tidak boleh dilalui pendaki. Mulai detik ini mereka menentang ketentuan, mulai berperang dengan apa pun yang akan mereka temui dalam perjalanan menuju pintu masuk dunia Bawah Tanah.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN