"Van, udah sih gak usah tiap hari ke sini juga. Gak enak sama ibu sama Mas Randu. Lagian aku udah sehat kok, udah bisa beraktivitas." Bintang berusaha menolak Vania yang malah rajin mengunjungi rumah Randu. Sudah beberapa hari dia berada di situ, ditemani sang ibu yang dia larang untuk pulang kampung. Alasannya sederhana, biar ada yang merawatnya.
Tak hanya sang ibu, tapi perempuan yang mengejarnya tanpa lelah, Vania, malah rajin datang. Setiap hari. Bukannya Bintang menolak ditemani Vania, hanya saja dia benar-benar ingin quality time bersama sang ibu.
"Kamu kenapa sih, kok kaya gak suka kalau aku datang ke sini? Aku kan pacarmu, aku juga ingin merawat pacar yang lagi sakit." Vania protes.
"Kita gak pacaran, Van, ingat itu. Lu yang ngejer-ngejer gue. Gue gak pernah bilang suka, cinta atau sayang ama elo." Bintang menegaskan, tapi akibatnya fatal. Perempuan cantik di depannya itu kemudian terisak, berusaha tanpa suara, ingin meredam tangisannya. Malu jika didengar ibunya Bintang.
Layaknya lelaki yang biasanya luluh jika melihat perempuan menangis, begitu pula Bintang. Dia merasa tidak enak hati karena baru kali ini Vania menangis di depannya.
"Eeh jangan menangis Van, maaf gue minta maaf. Udah dong Van jangan nangis lagi. Diem yaaa..." Bintang kebingungan, mencari cara agar Vania mau berhenti menangis.
"Peluk." Dengan manja Vania merajuk, minta dipeluk Bintang. Direnggangnya kedua tangan mulusnya lebar agar bisa menerima pelukan sang kekasih, well setidaknya dia menganggap Bintang sebagai kekasih hati. Mau tak mau Bintang memeluk mesra Vania. Dia tidak benci Vania, hanya saja merasa kesal karena dikejar-kejar perempuan yang bahkan bisa menghalau semua perempuan yang dekat padanya. Di mana letak seni penaklukan seorang wanita jika malah dia yang dikejar kan? Dia ingin punya kebanggan sebagai seorang penakluk wanita, bukan malah ditaklukkan oleh wanita.
Vania menangkup wajah tampan Bintang dengan kedua tangannya, matanya yang indah mengerjap, menatap Bintang yang juga melihatnya dengan intens. Perlahan Vania mendekatkan bibirnya ke arah bibir Bintang. Matanya sudah tertutup, dia ingin sekali merasakan bibir lelaki impiannya itu.
"Uhukk....uhukk..." Tiba-tiba terdengar suara batuk berdehem. Bibir yang tadinya hendak bersentuhan itu tentu saja harus berjauhan. Berdua menoleh ke arah sumber deheman, Randu! Wajah Randu sudah masam. Dia berdiri sambil menyilangkan tangan di depan d**a.
"Bintang, tidak boleh berduaan saja di kamar. Setan seneng banget karena kalian mempermudah kerjaan dia. Ayo keluar, kita makan malam." Randu sedikit membentak Bintang.
"Van, elu sih kan, Mas Randu jadi marah tuh. Dah deh yuk buru kita keluar kamar dan makan malam." Akhirnya Bintang menarik tangan Vania untuk mengikuti langkah kaki Randu.
Di meja makan suasana menjadi hening, hanya terdengar suara denting sendok beradu piring. Wajah muram dan masam Randu sudah menunjukkan aura yang tidak kondusif di meja makan itu. Lies bahkan tahu diri, menyimpan semua keingintahuan yang menyergap. Tadi tiba-tiba saja putra sulungnya masuk rumah dengan wajah masam dan tampak gusar.
"Sudah malam, lebih baik Vania segera pulang. Pakai taksi online saja ya. Biar nanti Bintang yang pesankan." Randu menutup acara makan malam itu dengan pengusiran secara halus pada Vania. Vania yang tahu diri segera saja berpamitan. Kemudian Randu masuk ke kamarnya, untuk mandi sekedar menyegarkan tubuhnya yang lelah. Saat akan merebahkan tubuh di kasur, Randu mendengar bunyi seseorang mencuci piring. Aah dia lupa beberes piring kotor, pasti sekarang ibunya yang membereskan itu semua, karena tidak mungkin itu Bintang. Randu memutuskan untuk bangun, kasian ibunya, seharian ini pasti kelelahan merawat Bintang yang rewel dan manja.
"Bu, biar Randu saja yang mencuci piring. Ibu istirahat ya, pasti tadi capek banget mengurus Bintang kan? Dia gak sakit aja manja, apalagi sakit." Randu berusaha menggantikan tugas ibunya.
Lies menyingkir dari situ. Duduk menonton televisi, mencari acara yang disukainya, sinetron. Usai cuci piring, Randu berniat kembali ke kamar, tapi suara Lies menahannya.
"Ndu, seminggu ini ibu ketemu kamu cuma saat sarapan dan beberapa saat jelang kamu tidur. Ibu kan juga kangen kamu, nak. Duduk sini sebentar, temani ibu." Lies menepuk tempat yang kosong di sebelahnya, meminta agar si sulungnya itu mau menemani.
Langkah kaki Randu terhenti, dia membalik badannya dan segera menuju ke tempat ibunya duduk. Diambilnya tangan sang ibu, digenggam erat. Tangan yang selalu merawat dan menjaganya penuh kasih, sudah mulai terasa kendur dan berkerut. Tanda bahwa sang ibu sudah tua, sudah saatnya beliau istirahat dari segala aktivitas yang merepotkan seperti menjaga Bintang dan dirinya.
"Iya bu. Maaf ya bu, bukannya Randu abai pada ibu, hanya saja seminggu ini pikiran Randu memang sedang kalut bu. Ada beberapa masalah yang menghampiri Randu." Randu hendak bercerita, tapi takut akan menambah beban pikiran Lies.
"Kamu gak mau cerita sama ibu? Siapa tahu ibu bisa memberi saran kan? Asalkan itu bukan urusan kantormu mah, ibu yakin bisa beri saran." Mata berbinar Lies membuyarkan niatan Randu untuk menyimpan semua masalahnya sendiri saja.
Dia memang butuh saran dari orang yang bisa dipercaya. Ibunya adalah orang yang tepat, minta saran dari Daniel yang ada malah dia ditertawakan karena sahabat sekaligus bosnya itu malah bahagia dengan penderitaannya - selama tidak mengganggu pekerjaannya. Randu menatap lekat Lies, menimbang perlukah dia cerita hubungannya dengan Debby atau tidak. Dia takut ibunya akan ikut berpikir.
"Soal Debby ya?" Tembak Lies langsung.
"Kok ibu bisa tahu sih?" Tanya Randu heran.
"Yang bisa membuat gusar seorang Randu itu hanyalah ibu, Bintang dan Debby. Berhubung ibu dan Bintang baik-baik saja, ya pasti tentang Debby kan? Ada apa dengannya? Kalian putus? Kapan?"
Pertanyaan bertubi-tubi dari Lies membuat Randu kebingungan menjawab, harus mulai dari mana.
"Ibu ingat gak, waktu itu ibu pernah menanyakan hubungan Randu dan Debby akan dibawa ke mana? Seperti apa?"
"Iya ingat nak, tentu saja."
"Kenapa memangnya, Ndu? Kalian putus?"
"Kok ibu bisa tahu Randu dan Debby putus sih?" Tanya Randu semakin heran. Dia sengaja tidak mau membebani pikiran ibunya, makanya dia tidak mau cerita.
"Debby ingin fokus dengan pekerjaan dan studi masternya bu. Randu tidak mungkin melarangnya karena itu hak Debby." Randu mengucap prakata. Mulailah Randu bercerita hasil pembicaraannya dengan Debby. Lies melihat kekecewaan jelas tergambar di wajah Randu. Putra sulungnya ini sungguh mencintai Debby.
"Kamu sungguh mencintai Debby ya Ndu?" Lies ingin memastikan.
"Iya bu. Randu berharap Debby bisa menjadi jodoh Randu di dunia dan akherat. Tapi sekarang harapan itu terkikis perlahan karena bahkan sampai sekarang, Debby sama sekali tidak mau menghubungi Randu lagi."
Lies ikutan menarik nafas panjang. "Tapi Ndu, kalau seperti itu bukankah kamu malah akhirnya bisa tahu kan Debby adalah jodohmu atau bukan. Untuk membuat perasaanmu jadi lebih baik, jangan merasa bersalah atas putusnya hubungan kalian. Ibu suka Debby, tapi ibu lebih suka kalau putra tampan ibu lebih sering tersenyum dibanding muring-muring (berkeluh kesah) gak jelas gitu Ndu."
"Menurut ibu, Randu harus bagaimana?"
"Ya sudah jalani saja, lagipula kamu kan sayang banget sama Debby."
"Iya bu, Randu masih kesal aja nih, serasa bukan prioritas untuk Debby padahal kan selama ini kami baik-baik saja kok."
"Ndu.. Kamu ganteng, mapan, wis pokoke gak punya kendala kalau gadis-gadis di luar sana rebutan untuk menjadi kekasihmu. Tidak usah keburu-buru, nantinya kamu akan menemukan gadis lain yang akan menjadikan hidupmu lebih berwarna. Percayalah pada ibu."
"Padahal sudah dua minggu lebih kami putus bu, tapi Randu sama sekali tidak bisa melupakan Debby." Keluh Randu.
"Lah ya gak bisa langsung gitu toh Ndu, tapi percayalah, suatu saat nanti kamu akan bisa melupakan Debby, kamu akan bertemu dengan jodohmu. Apa mau ibu jodohkan saja Ndu? Ibu punya beberapa kandidat yang cocok untukmu loh."
"Gak usah bu, terima kasih. Randu sedang menikmati kesendirian Randu ini, menikmati sakitnya teraniaya sepi." Jawab Randu, mencoba puitis.
"Iya nak, ibu percaya padamu. Insya Allah kamu akan mendapatkan seorang pasangan yang terbaik dunia akherat ya, Ndu. Ibu percaya padamu kamu pasti bisa."
"Terima kasih bu. Randu tidur ya, capek banget. Ibu juga jangan tidur terlalu malam. Ingat jaga kondisi tubuh ibu ya." Randu berdiri, mencium kening ibunya dengan sayang dan dengan langkah kaki lebar segera saja masuk kamar operasi.
"Tapi Ndu, ibu punya kandidat yang sanga tepat untukmu." Lies masih saja berusaha agar Randu mau menerima siapa perempuan pilihannya yang cocok untuk menjadi kandidat calon mantu.
"Tidak perlu bu, Randu masih bica mencari kok."
***
Hmm... kira-kira siapa ya pilihan Lies?