12. Intuisi

1636 Kata
Intuisiku slalu mengarah kepadamu Tapi tak jua, tapi tak jua Tapi tak jua kau hiraukan aku...   Intuisi - Yura Yunita *** Di mobil Randu yang melaju tersendat karena jalanan yang ramai, terasa sangat menyiksa Sonja. Dia memang tidak berharap ada percakapan dengan Randu, tapi ya tidak seperti di kuburan juga. Sama sekali tidak ada kehidupan. Hanya terdengar deru nafas Randu yang beberapa kali menarik dan membuang nafas dengan kesal. Terlihat sekali dia sedang gusar. Randu dalam mode baik pun Sonja tidak berani mengganggu, apalagi Randu dalam mode gusar seperti ini.  Hingga tak dinyana, mendadak ada sebuah motor menyalip mobil Randu membuatnya harus mengerem mendadak dan menekan klakson beberapa kali. Sonja semakin mengkeret saja. Sungguh dia menyesali kenapa pula dia mau semobil dengan Randu untuk kembali ke kantor. Sonja menduga semua ada hubungannya dengan Debby. Pasti ada sesuatu yang salah antara Randu dan Debby. Tadi baik Randu dan Debby sama sekali tidak bertegur sapa. Bahkan saat mereka berpapasan pun, tidak bertegur sapa seperti beberapa hari sebelumnya yang menampilkan adegan bak film romantis. Kemana-mana selalu berdua, bersama dan bermesraan. Bahkan, tadi pada saat hendak ke masuk mobil, Randu sempat menendang ban mobilnya dengan kesal.  Mungkin saja tautan tangannya dengan Randu tadi ikut memperkeruh suasana, kalau dia boleh ge-er sih. Hanya saja sepertinya itu tidak mungkin, karena Randu tadi langsung saja mengibaskan tangan agar tautan itu terlepas.    Sial!  Memangnya aku kuman apa, pakai dikibas gitu. Siapa juga yang maksa narik tanganku pertama kali? Tapi kenapa aku jadi kegeeran sendiri sih? Gak mungkin juga Randu melirikku gini deh. Duuh kenapa nih mobil sepi banget yak kaya di kuburan? "Kalau mau setel radio, silakan Sonja, jadi biar tidak terasa sepi seperti di kuburan." Suara Randu untuk pertama kalinya setelah dua belas menit menyetir mobil itu akhirnya terdengar. Kok dia bisa tahu sih? Emang dia cenayang? "Tentu saja aku tahu wong kamu dari tadi bergumam. Setel saja, atau kalau mau setel dari bluetooth juga gak papa kok."  Karena tidak mau lancang dengan menyetel musik via bluetooth, akhirnya Sonja coba mencari stasiun radio manapun yang memutar lagu siang itu. Entah stasiun radio apa, tiba-tiba terdengar lagu "Intuisi" dan mengalunlah suara unik Yura Yunita, si penyanyi.  Ya ampuuun kenapa pula lagu ini yang diputar? Duuh duuh moga Randu gak tahu kalau lagu ini cocok banget aku nyanyiin buat dia. Atau baiknya aku nyanyiin aja ya biar Randu tahu gitu? Tanpa sadar, Sonja ikut bersenandung, mengikuti lagu yang dia klaim sangat cocok baginya dan Randu. Randu tampak mencuri pandang ke gadis yang sedang asik bersenandung. Sebuah lagu yang dulu sempat hits. Suaranya lumayan enak didengar, gak nyangka dia bisa nyanyi semerdu ini. Sepertinya Sonja sangat menjiwai lagu ini, jangan-jangan dia sedang jatuh cinta pada seorang lelaki tapi lelaki itu gak paham ya? Apa mungkin Bintang? Sepertinya tidak, Bintang sendiri yang bilang dia suka pada Sonja, tapi tuh anak ya, udah punya pacar masih aja mencari gadis lain. Beruntung Sonja sedang jatuh cinta jadi gak terjatuh di jebakan batman si Bintang. Batin Randu, sambil sesekali melirik ke arah kiri, melihat Sonja yang serius bersenandung lagu Intuisi itu. "Suaramu bagus." Puji Randu tulus, "kata orang kalau punya gigi gingsul, suaranya bagus untuk nyanyi. Kamu ada gingsul kan? Pantas suaramu merdu, enak didengar." Pipi Sonja semburat pink, mendengar pujian Randu yang terdengar tulus. Tepat pada saat refrain lagu, Intuisiku slalu mengarah kepadamu Tapi tak jua, tapi tak jua Tapi tak jua kau hiraukan aku ... Sonja dengan bibir yang mengikuti lirik lagu "Intuisi" itu menoleh ke arah Randu dengan malu-malu. Pipinya semakin memerah. Tidak menyangka bahwa Randu memperhatikannya, bahkan hingga ke gigi gingsulnya yang menjadi trade mark-nya selama ini. "Eeh euum makasih Pak."  Kamu orang ketiga ribu yang bilang seperti itu pak! Suara bagus, sayang suara bagus gak jamin ada cowok yang suka. Hiks...  "Bisa main alat musik apa? Gitar? Piano?" Randu coba membuka percakapan.  "Dulu sempat belajar biola, tapi gak lama sih, susah dan sepertinya saya lebih minat ke gitar saja pak. Lebih simpel." "Wah kapan-kapan kita bisa nyanyi bareng ya. Kamu yang vokalis aku yang main gitar, Bintang main drum." Usul Randu. "Haa?? Eeh.. eeh iya Pak." Tergagap Sonja menjawab permintaan tak terduga Randu. "Kok bapak? Panggil Randu saja, kamu seumur Bintang kan? Atau mau panggil aku Mas juga boleh." Kata Randu, dengan nada santai. Kan memang Sonja teman adiknya itu, jadi ya gak masalah ikutan panggil dia Mas. "Hehe... enggak pak, panggil bapak aja ya, lebih sopan." "Tentu saja karena aku terkesan jauh lebih tua dipanggil pak. Sudah sampai gedung kantor nih kita." Tanpa terasa, mobil sudah masuk ke gerbang gedung perkantoran mereka. "Terima kasih tumpangannya pak." Sonja membuka sabuk keselamatannya. Namun saat hendak membuka pintu mobil, Randu mencegahnya. "Sonja, sekali lagi terima kasih karena sudah mau ikut repot gara-gara Bintang. Jangan merasa tidak enak ya karena kejadian tadi, antara aku dan Debby memang sedang ada masalah. Tadi kebetulan pas aku menarik tanganmu, pas Debby masuk dan lihat. Maaf ya." Sorot mata penuh permohonan yang tulus terlihat di mata tajam Randu.  "Iya pak. Jangan khawatirkan hal itu." Entah kenapa mendadak ada rasa kecewa menelusup masuk ke relung hati Sonja. Dia memaksa sebuah senyuman terbit. "Saya duluan ya pak." Segera saja Sonja melangkah pergi dengan langkah kaki yang terburu, agar bisa segera menjauh dari Randu. Dia butuh cuci muka untuk menyegarkan wajah, otak bahkan hatinya bila perlu dicuci sekalian! Agar tidak terlalu berharap pada Randu. "Bareng sama aku Sonja. Kita lewat lift direksi saja biar cepat sampai." Tapi mendadak, Randu dengan langkah kaki besarnya bisa menyamai posisi Sonja. Sepertinya menarik tangan Sonja adalah hobi Randu, karena sekali lagi lelaki tampan itu menarik tangan Sonja untuk mengikutinya ke arah lift khusus direksi. Tentu saja Sonja menolak. "Eeum pak, terima kasih, tapi saya pakai lift biasa saja ya. Saya kan bukan direksi, gak enak pak. Lagipula kita beda kantor. Beda lantai." Tolak halus Sonja. "Nah sudah kebuka, yuk buru masuk." Sayangnya Randu tidak mau dengar alasan Sonja. Beruntung mereka hanya berdua saja di lift itu, tapi sampai di lantai tujuh tiba-tiba sosok gagah seorang lelaki masuk ke dalam lift. Sonja tidak tahu siapa tapi dia menyunggingkan sedikit senyum sopan karena lelaki itu melihatnya dengan penasaran. Mungkin saja lelaki itu berpikir dia direktur dari kantor mana hingga bisa berada di lift khusus dewan direksi?  "Wah akhirnya balik juga lu bro. Gue tunggu dari tadi. Gue pingin denger laporan meeting tadi lu ama klien. Jam berapa bisa kasih ke gue? Eh tapi lu lagi patah kaki sih, ups... sori bro, patah hati ya, jadi gue tahu diri deh. Besok pagi ya, gue tunggu laporan lu." Lelaki yang tubuhnya lebih tinggi dari Randu itu langsung saja menyerocos, walau sadar ada Sonja di situ, tapi dia abai saja. Randu yang menyenderkan punggung ke dinding lift memberi kode pada bosnya itu bahwa ada orang lain di situ. Patah hati? Siapa yang patah hati? Randu? Jadi Randu putus dari Debby? Aah pantas saja tadi mereka seperti tak saling kenal. Kembali batin Sonja bermonolog. Lelaki itu, yang ternyata bos Randu, menyadari dia kelepasan bicara. Ditangkupnya kedua tangan di depan dadanya dan dengan jenaka minta maaf kepada Sonja. "Maaf ya mbak, saya gak tahu ada mbak di sini. Ini karena saya menunggu si Bapak Randu ini sedari tadi loh. Menunggu sesuatu yang tak jelas itu memang membosankan mbak, seperti menunggu lamaran dari calon mertua ya kan? Sekali lagi maaf ya?" Kata lelaki yang lebih ganteng dari Randu itu dengan nada jenaka. "Kenapa bapak minta maaf ke saya? Gak perlu kok, bapak kan gak menyakiti saya." Jawab Sonja dengan bingung.  "Ooh itu karena saya... eeh, duh iya yak. Gini deh, abaikan apa yang tadi mbak dengar ya. Anggap saja saya tidak ngomong apapun, terutama tentang dia yang sedang patah hati karena baru putus dengan mantan pacar cantiknya." Senyum iseng nampak di wajah ramah si bos. "Lu apa-apaan sih Dan? Pingin banget ya seluruh gedung ini tahu kalau gue baru putus?" Dengan jengkel Randu memarahi Daniel, bos sekaligus sahabatnya, yang terkenal iseng ini. "Nahhh... tahu aja lu maksud gue. Biar seluruh gadis-gadis yang masih jomlo di gedung ini pada ngeh kalau Si Lelaki Tampan nan setia, Bapak Randu Alfaresi ini menyandang status jomlo alias available." Dengan bangga Daniel mengacungkan jempolnya. "Sonja, gak usah didengarkan ya apa kata lelaki ini. Dia bosku, namanya Daniel. Abaikan saja ya dia ngomong apa. Dia mah lebih parah dariku kok kisah cintanya lebih menyedihkan!" Gantian Randu yang mengolok Daniel, mencoba mencari cara agar Sonja abai dengan info yang diberikan Daniel. "Ah ya nona, kita belum kenalan, saya Daniel. Status saya hampir taken. Hampir hehe..." "Diih hampir aja bangga lu Dan, emang yakin kalau Edel mau ama lu?." Olok Randu. "Mendinglah daripada jomlo setelah bertahun-tahun pacaran kan? Tinggal memastikan aja nih Edel benar-benar mau ama gue dengan latar belakang gue yang seperti ini. Bukan mau gue juga kok gue jadi bos di perusahaan bokap." Sonja melihat dengan takjub interaksi bos dan bawahan itu yang mendobrak semua batasan yang ada. Mereka malah tampak seperti sahabat, bukan atasan dan bawahan. Pembicaraan akrab, seperti tanpa batasan, menyeruak di dua lelaki tampan itu. "Eeh pak, maaf sudah di lanti dua puluh tujuh. Saya permisi dulu." Sonja segera saja pamit pada dua lelaki itu agar tidak semakin terjebak pada pembicaraan yang dia tidak tahu. Usai Sonja keluar lift, Daniel melihat ke arah Randu yang ternyata juga melihat ke arah perginya Sonja. "Ndu, dari Debby ke gadis itu, sepertinya jauh banget deh. Nih cewek kan gak yang cantik banget sih. Cuma menang bodi doang, tinggi dan langsing gitu." "Dia yang nolong Bintang pas Bintang dikeroyok. Siapa juga yang suka sama dia? Gue masih berharap Debby berubah pikiran kok, Dan. Lu kan tahu sendiri, gue cinta banget ama Debby. Dan seperti yang lu bilang, Sonja - gadis tinggi tadi - bukan tipe gue. Gak mungkin gue suka ama dia." Jawab Randu dengan santai. "Kenapa gak mungkin? Dia cukup manis kok. Tinggal minta dia untuk merawat dirinya, dandan dan pakai baju yang yang agak gimanaaa gitu. Gue yakin, dia akan tampil menarik. Lagian sejak gue pdkt ama Edel, sumpah ya gue baru tahu kalau behave and brain, do matter for beautiness." "Lu tuh, langsung berubah banget pandangan hidup setelah berhubungan ama Edel ya. Moga sukses ya bro. Lu sama Edel, gue sama Debby." "Aamiin. Gue mau banget lu doa kaya tadi. Moga aja Edel yang terbaik buat gue."  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN