"Ndu, ibu mau tanya gimana hubunganmu dengan Debby." Tanya Lies tiba-tiba saat Bintang sedang tertidur pulas.
"Baik kok bu, tumben ibu nanya itu. Ada apa bu?" Randu memusatkan perhatian penuh pada ibunya. Gurat lelah nampak di wajah yang terlihat keras itu. Randu menggenggam tangan ibunya penuh kasih sayang. Tangan yang terasa kasar karena bekerja keras tak kenal lelah untuk menghidupinya dan Bintang.
"Berapa umurmu? Berapa umur Debby? Kapan ibu bisa ke rumah Debby untuk melamarnya, Ndu?"
"Umurku dua puluh sembilan tahun bu, masa ibu lupa sih? Debby juga sepantaran denganku. Emang kenapa bu, kok kaya kesusu (terburu-buru) ingin melamar Debby?" Tanya Randu heran.
"Ibu sudah semakin menua, Ndu. Tiap kali selesai berdoa, ibu selalu minta agar disempatkan untuk juga merawat cucu-cucu ibu dari kalian berdua. Tapi sampai sekarang, sepertinya belum ada tanda-tanda ibu akan melamar seorang gadis, meminangnya kepada bapak ibunya, untuk menjadi menantu ibu. Boro-boro menggendong cucu deh, melamar gadis saja entah kapan." Keluh Lies.
"Hmm... Debby masih ingin fokus pada kuliah masternya bu. Dua minggu lagi kan dia harus berangkat ke Australia untuk ikuti program master di sana."
"Jadi akan mundur lagi ya, Ndu? Dua tahun? Umurmu tiga puluh satu - itupun dengan syarat malaikat maut belum menjemput ajalmu. Ibu juga semakin renta, tidak akan mampu berlari mengejar anak-anakmu nantinya kalau ibu punya cucu pas udah tua banget, Ndu."
"Ya, mau bagaimana lagi bu? Randu cintanya sama Debby. Makanya hubungan kami bisa bertahan lama karena kami saling mencintai."
"Kamu akan tetap menunggu Debby?" Tanya Lies hati-hati.
"Iya bu, Insya Allah."
"Ibu suka sama Debby. Tapi ibu lebih suka lagi kalau kamu segera menikah, Ndu. Besok kamu pastikan lagi ke Debby, tanyakan ke dia mau dibawa ke mana hubungan kalian ini. Kalau dia memang mencintaimu, segera saja resmikan."
Randu menyugar rambutnya, menatap penuh kasih ke sang ibu. Wajah ayu yang sudah ada kerutan di sudut mata dan bibir, itu tampak semakin kaku dan tegas. Waktu dan keadaan yang membuat ibunya yang lemah lembut menjadi tegas seperti ini.
"Maksud ibu, Randu mengultimatum Debby?" Tanya Randu sekali lagi, berusaha menyakinkan tujuan ibunya.
"Iya nak, perempuan itu kadang perlu diminta kepastian, mau ke mana sih dengan hubungan yang sudah dia pertahankan selama ini. Kalian pacaran udah lama banget, gak baik pacaran lama-lama Ndu, jadi ladang subur untuk setan menggoda kalian."
"Iya bu, nanti Randu akan tanyakan ke Debby ya. Sekarang ibu tidurlah, sudah malam. Randu juga mau pulang. Assalamualaikum." Kecup sayang Randu di kening Lies. Lies hanya bisa melihat dari belakang, punggung kokoh seperti milik suaminya itu. Semoga kelak, punggung itu bisa sekokoh karang, melindungi anak istrinya.
***
"Maksudmu apa, Ndu? Kita sudah pernah bahas ini sebelumnya kan? Aku belum bisa menikah dalam waktu dekat. Dua minggu lagi aku sudah harus berangkat melanjutkan program masterku. Kamu kok bisa mendadak nanya kaya gitu sih?" Debby menjawab ketus pertanyaan Randu. Rusak sudah mood makan malamnya karena pertanyaan Randu. Seharusnya sebagai seorang perempuan, dia harus senang dan bangga, lelaki macam Randu melamarnya, memintanya untuk menjadi istrinya. Sayangnya, belum ada niatan di dirinya untuk segera menikah.
"Iya, ibu bertanya akan hal ini, Deb. Lagian kita pacaran udah lama banget pula. Sudah enam tahun kita pacaran loh. Aku juga ingin mendapatkan jawaban darimu, mau dibawa melangkah ke mana hubungan kita ini."
"Ndu, kalau aku jawab tolong tunggu aku sampai aku pulang kembali ke Jakarta, bagaimana? Maukah kamu menungguku?" Tanya Debby dengan nada terdengar ragu.
"Inginnya aku menunggumu, Deb. Tapi bagaimana dengan ibu? Beliau khawatir akan umurnya. Kita tidak pernah tahu kapan Tuhan akan ambil nyawa kita. Ibu minta agar sebelum menutup mata selamanya, bisa mendapatkan kesempatan untuk menggendong dan merawat cucu-cucu beliau."
"Kenapa gak Bintang aja sih?
"Bintang? Kamu bukannya sudah tahu kelakuan Bintang yang gonta-ganti pacar kan? Nah ini salah satu alasan kenapa harus aku yang pertama menikah. Kekasih Bintang yang mana pun kami tidak tahu kan?"
" Beri aku waktu semalam, Ndu. Besok akan kukabari hasilnya ya. Apapun itu, aku pasti akan mengambil keputusan yang terbaik untuk kita, Ndu. Aku dan kamu." Kemudian Randu mencium kening Debby dengan sayang. Seolah tidak akan bertemu lagi atau tidak akan bisa lagi mencium kening Debby.
"Iya sayang, kutunggu jawabanmu."
Malam kian pekat, kian legam. Saatnya manusia beristirahat pada waktu yang memang diciptakan oleh-Nya yang sebaiknya digunakan untuk istirahat. Debby berpikir keras. Sudah jam sebeleas malam, dan dia masih memikirkan permintaan Randu. Padahal, minggu depan, dia sudah harus berada di Australia.Setelah menimbang-nimbang, Debby menelpon sahabatnya. Dan jawabannya sama, antara dia dan temannya itu.
Akhirnya Debby memutuskan untuk langsung saja, memberi tahu bahwa besok dia ada keperluan dan harus bertemu dengan Randu sekalian membahas hasil perenungannya itu.
***
"Ndu, kamu kan tahu, di keluargaku mah semua dipasrahkan kepadaku semua apalagi masa depanku. Kamu kemarin nanya kan mau dibawa kemana hubungan kita ini?" Debby membuka percakapan itu, mimiknya serius.
"Iya aku tahu. Terus?" Randu balik bertanya, alisnya naik.
"Semalam sudah kutimbang baik-baik, Ndu. Aku sudah memikirkan baik buruknya segala kemungkinan hubungan ini. Aku cuma bisa memberikan satu jawaban pasti padamu tentang hubungan kita. Selama ini kamu tidak pernah menyinggung tentang masa depan kita, Ndu, selama kita merasa nyaman kita jalani. Dan aku percaya padamu. Hanya saja...."
Debby menjeda, coba mengumpulkan keberanian agar mampu melanjutkan kalimatnya.
"Aku tidak bisa menikah dalam waktu dekat, Ndu. Aku harus fokus dulu pada kuliahku. Jadi...."
"Jadi kita putus? Beneran putus Deb? Dan aku gak ada artinya untukmu sama sekali?"