"Aku tidak bisa menikah dalam waktu dekat, Ndu. Aku harus fokus dulu pada kuliahku. Jadi...."
"Jadi kita putus? Beneran putus Deb? Dan aku gak ada artinya untukmu sama sekali?"
***
"Ndu, tolong dengarkan dulu alasanku." Debby menggenggam erat tangan Randu, tapi Randu yang sedang kesal, menarik tangannya dengan kasar, tidak mau digenggam oleh Debby. Debby menghela nafas, kemudian membuangnya kasar, merasa frustasi sekaligus merasa bersalah.
"Kamu pikir, aku tidak sedih, Ndu? Butuh pertimbangan sangat matang untukku, untuk akhirnya mengambil keputusan seperti ini. Apalagi hubungan kita juga sudah lama, mama papa bahkan juga setuju padamu untuk menjadi suamiku. Tapi ini juga menyangkut masa depanku, Ndu. Bukan hanya kamu, tapi masa depan kita berdua. Kamu tahu kan kalau mama papa sangat berharap untukku bisa melanjutkan studi masterku?" Masih saja Debby mencoba mengetuk hati Randu, agar mau mengerti dan menerima keputusannya.
Randu masih saja diam, masih merasa kesal dan kecewa. Tidak percaya pada keputusan yang diambil Debby. Ternyata dia berharap terlalu banyak pada Debby. Dia berpikir, dialah prioritas utama sang kekasih, tapi ternyata tidak. Dia berharap terlalu banyak akan hubungannya dengan Debby.
"Aku tahu Deb, secara tidak langsung kamu mau bilang bahwa hubungan kita ini bukanlah prioritasmu kan?" Tembak Randu. Debby menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi, berusaha mencari posisi yang nyaman. Randu dalam mode emosi akan sangat sulit untuk diberi pengertian. Ego laki-lakinya sekarang yang mendominasi pikiran Randu.
"Ndu, kesempatan untuk melanjutkan studi masterku, hanya tinggal kali ini saja. Ini kesempatan terakhir, karena sebelumnya aku menolak. Tapi mumpung umurku belum tiga puluh tahun, aku tidak mau melepaskan lagi kesempatan ini, Ndu. Kumohon mengertilah. Beasiswa penuh yang ditawarkan kantor hanya berlaku terakhir padaku untuk tahun ini. Toh, kalau jodoh, bagaimana pun jalannya kita pasti akan bersatu." Alasan Debby yang sangat masuk akal. Tapi Randu tentu sudah hilang akal, tak mau menerima apapun alasan yang dikemukakan Debby.
Randu menatap tajam wajah cantik itu, pupus sudah harapannya bisa menghabiskan sisa umur bersama perempuan yang dia impikan bisa menjadi bidadari duniawi dan surganya. Menghiasi mimpinya untuk bisa menjadi ibu bagi anak-anaknya.
"Bagiku, kamu terdengar pesimis dengan hubungan kita ini, Deb. Kalau ini memang sudah menjadi keputusanmu, aku tidak bisa memaksa. Walau sungguh aku berharap bahwa kita berjodoh." Akhirnya Randu sadar, keputusan Debby tidak bisa diubah lagi.
"Ndu...." Wajah Debby berubah sendu. Betapa dia berusaha agar tidak menangis di depan Randu, agar Randu yakin bahwa dia sudah pasti dengan keputusannya. Tapi layaknya perempuan, sekuat apapun dia coba menahan, bendungan itu akhirnya jebol juga.
"Semoga sukses, Deb. Salam buat mama papa ya." Randu berdiri, mengusap ujung mata Debby yang sudah ada bulir air mata mengalir, mencium pucuk kepala Debby dengan sayang dan segera pergi meninggalkan gadis itu yang termangu, menatap punggung kokoh itu lama kelamaan menghilang dari pandangan mata. Tanpa Randu tahu, betapa setelah itu Debby terisak, menangisi kepergian Randu darinya.
***
"Bu, ibu jangan pulang dulu ya. Temani Bintang selama di rumah Mas Randu. Mas Randu suka galak, kalau ada ibu kan pasti gak berani." Bujuk Bintang manja pada Lies. Sudah beberapa hari Bintang ada di rumah sakit, saatnya pulang dan dia akan beristirahat di rumah Randu.
"Mas-mu galak ya karena kamu yang ngeyel. Wong disuruh istirahat pasti gak mau kan?" Lies menjawab sambil beberes perlengkapan Bintang. Hari ini Bintang sudah boleh pulang, karena luka di perut yang cukup dalam bahkan hingga melukai paru-parunya, hingga dokter memutuskan untuk merawat Bintang lebih lama. Apapun dan berapapun biaya yang dibutuhkan untuk perawatan Bintang, akan disanggupi oleh Randu. Bagi Randu, Bintang adalah bintangnya yang akan mewarnai malamnya.
"Tapi temani Bintang ya bu. Janji bu." Bintang merajuk bak anak kecil.
"Kamu pasti akan lebih cepat sembuh kalau yang menemani tuh pacarmu kan?" Tiba-tiba Randu menyeruak masuk kamar dan menggoda Bintang.
"Aku gak punya pacar Mas. Saat ini maksudku." Bintang meringis.
"Loh lah itu Sonja, bukannya kamu suka sama dia?" Tanya Randu dengan heran, "kalian emangnya gak pacaran ya? Kok dia mau nemenin kamu di rumah sakit gini? Baik banget berarti gadis itu." Lies yang mendengar kalimat itu langsung saja menoleh penuh perhatian ke arah Randu.
"Memang kamu suka sama Sonja, nak?" Kening Lies berkerut. Ada sesuatu yang salah di sini. Dia yakin bahwa Sonja memiliki rasa suka pada Randu, bukan Bintang. Akan jadi masalah jika malah ternyata Bintang yang memili rasa suka pada Sonja. Akan ada cinta segitiga dan juga cinta bertepuk sebelah tangan.
"Iya bu, dari dulu pas jaman kuliah. Tapi Sonja kan bukan tipe gadis yang bisa aku ajak kencan sesaat." Jawab Bintang, sambil tersenyum usil.
Plaaak!! Suara pukulan yang lembut mengenai tubuh Bintang. Bintang mengaduh, berpura kesakitan.
"Aduuuh ibu... sakit ini, wong masih sakit kok ya tega banget sih dipukul lagi." Bintang meringis, berpura kesakitan.
"Kamu kebiasaan. Jangan mempermainkan perasaan gadis-gadis! Kualat nanti kamu!" Lies berteriak kesal.
Randu hanya melihat dari kejauhan, interaksi dua orang yang sangat dia cintai itu. Melebihi dirinya. Apapun akan dia lakukan agar ibu dan adik kecilnya bahagia. Bahkan bila perlu, mengganti kebahagiaannya dengan kebahagiaan sang ibu.
"Eh tapi tumben Mas Randu jam segini bisa datang ke sini. Gak ada kerjaan ya Mas?" Tanya Bintang lagi dengan nada iseng.
Plaaak!! Kembali terdengar bunyi mengaduh dari Bintang.
"Ibu apa sih? Sakit bu, dipukul lagi. Anak sendiri lagi sakit kok malah disiksa sih? Aku tuh anak kandung ibu apa bukan sebenarnya? Duuuh aduuh sekarang malah dijewer, sakiiit buu..." Bintang mohon ampun dengan manja.
"Kamu nih kalau ngomong, yang gak ada kerjaan tuh kamu. Ibu tahunya setelah kamu sehat banget, tubuhmu sudah fit seratus persen, kamu cari pekerjaan yang mapan, yang pasti. Gak keluyuran ke sana ke mari, ra ono juntrunge, ra jelas! ( Tidak pasti, tidak jelas.)" Kata Lies dengan galak.
"Iya, tadi lagi ada meeting sama ke klien sedari pagi, makanya bisa mampir ke sini sekalian mau mengurus administrasimu, kamu kan boleh pulang hari ini. Bu, bentar lagi jam makan siang. Nanti kita makan di kantin rumah sakit saja ya. Randu harus segera kembali ke kantor biar sore bisa jemput Bintang dan ibu." Tutur Randu lembut.
Tiba-tiba terdengar bunyi telepon berdering. Bintang tersenyum lebar saat melihat siapa penelpon itu.
"Halo... assalamualaikum. Kamu jadi kan datang ke sini? Eeh sudah dekat? Asiiik, bawa roti pesananku kan? Sedih banget aku sama makanan di rumah sakit ini, semua terasa hambar. Apa garam dan gula lagi mahal ya?" Bintang langsung mencerocos setelah menjawab salam si penelpon.
"............................"
"Okeeei. Aku tunggu ya, pulangnya masih nanti sore kok." Bintang menutup panggilan telepon itu dengan wajah bahagia.
"Kamu bicara sama siapa nak?" Tanya Lies.
"Sonja bu. Bintang minta dibawain cheese john bakeri terkenal itu. Seminggu makan masakan rumah sakit badan Bintang jadi kurus nih bu." Kata Bintang sambil memperlihatkan perutnya yang rata.
Randu masih fokus pada gawainya, membalas pesan dari Daniel - si bos- tapi sempat mendengar nama Sonja disebut. Dia tidak peduli.
"Bu, Randu ke kantin dulu ya beli makan siang untuk kita. Ibu mau apa?"
"Terserah apa, Ndu, oiya minumnya ibu kok kepingin jeruk panas saja ya."
Randu segera ke kantin untuk membeli makan siang. Tak berapa lama ada suara salam di kamar itu.
"Assalamualaikum.." Sosok tubuh tinggi kemudian masuk dan membawa tentengan yang berisi roti pesanan Bintang.
"Waalaikumusalam... Waah maaciiih Sonja, akhirnya aku bisa makan cheese john." Bagai anak kecil, Bintang segera saja melahap roti keju kesukaannya. Matanya bersinar penuh bahagia.
"Tante..." Sonja mencium punggung tangan Lies dengan khidmat.
"Maaf ya nduk, kamu sampai repot gini. Bintang memang deh kebangetan. Kamu kan bisa minta tolong masmu untuk beliin atau pesen via online. Kebangetan emang kamu deh." Lies mengomel.
"Gak apa-apa, Bintang merajuk tadi pagi menelpon saya bilang pingin banget makan roti keju itu tante." Sonja berusaha membela Bintang.
"Hmm... tujuannya kan biar Sonja bisa ke mari." Cengiran khas Bintang terlihat di wajah tampan namun usil itu.
"Sonja sudah makan siang? Kalau belum biar ibu pesan sekalian ya." Lies langsung saja memberi pesan pada Randu untuk nambah satu porsi lagi.
"Belum bu, nanti saja pas kembali ke kantor." Tolak Sonja dengan halus.
"Sudah ibu pesankan kok. Tunggu dulu ya, kita akan makan siang bersama. Randu sebentar lagi datang bawa makan siang."
"Randu? Mas Randu ada di sini?" Mendadak Sonja panik. Lies semakin yakin dengan apa yang dia pikirkan bahwa gadis tinggi di depannya ini jatuh cinta pada Randu, putra sulungnya. Jika benar, maka sebentar lagi gadis di depannya ini pasti akan berpamitan. Dugaannya benar, tidak perlu menunggu lama, Sonja memang berniat langsung pamit.
"Bu, saya pamit dulu ya. Baru ingat harus persiapkan materi untuk rapat nanti." Terpaksa harus membuat alasan yang masuk akal. Sonja baru berdiri, tapi badannya seketika membeku saat Randu ternyata sudah masuk ke kamar itu, membawa tentengan makan siang.
"Loh kamu mau ke mana? Makan siang dulu." Tanya Randu dengan heran melihat Sonja yang sudah bersiap hendak menghilang dari situ. "Entah ini hanya perasaanku saja, tapi sepertinya kamu selalu menghindar tiap kali bertemu denganku." Tanya Randu dengan heran.
"Eeum enggak kok. Tapi karena ini bener deh saya harus kembali ke kantor. Ada yang harus saya kerjakan pak. Penting." Sonja beralasan dengan gelisah.
"Nanti saja, kamu bisa kembali ke kantor bareng aku. Tapi makan dulu ya, sebentar saja kok. Sayang ini makanannya sudah dibeli. Ayo duduk lagi." Tanpa tendensi apapun Randu menarik tangan Sonja untuk mengikutinya duduk di sofa, bersama sang ibu. Baik Lies, Bintang bahkan Sonja sendiri melihat ke arah tangan yang terpaut itu. Mereka mempunyai pikiran masing-masing.
Dengan telaten, Randu membuka makanan yang sudah dia beli. Dia bagi untuk ibunya, dirinya dan juga untuk Sonja. Betapa perhatian Randu, tak heran Sonja semakin jatuh hati padanya. Tak butuh waktu lama, Randu menyelesaikan makan siangnya. Tapi tidak dengan Sonja yang harus bersusah payah menyelesaikan makannya. Mau tak mau dia terburu-buru menghabiskan makan siangnya itu hingga tersedak.
"Tidak usah terburu-buru, santai saja. Aku tunggu kok." Randu memberikan botol air mineral dingin kepada Sonja. Semakin luluh hati Sonja karenanya.
Ibu... gimana putrimu ini bisa move on cari cowok lain kalau diperlakukan manis seperti ini?
"Euum... tante saya sudah selesai makan. Saya pamit ya, harus segera kembali ke kantor." Sonja segera menyelesaikan makan siangnya, tanpa peduli lagi nasehat bahwa sebaiknya makanan itu dikunyah hingga lembut agar lebih mudah dicerna.
"Bareng aku Sonja. Kantor kita satu gedung loh, kuingatkan kalau lupa." Kata Randu. Dia juga sudah selesai makan siang, sekarang Randu membereskan bekas makannya, Lies dan Sonja.
"Gak perlu pak, saya pakai ojol saja biar cepet, bener deh. Terima kasih." Kata Sonja ragu-ragu.
"Sudah kubilang, bareng aku. Wait, three minutes, aku beresin ini dulu." Randu segera membereskan tempat yang berantakan itu.
Setelah mencium tangan sang ibu dan mengusap kepala si adik, Randu dan Sonja beranjak menuju pintu. Mendadak, pintu didorong dari luar dan tampak seorang perempuan cantik yang dengan panik dan heboh, langsung saja menciumi kening dan pipi Bintang. Semua yang ada di situ jadi heran. Bahkan Randu memutuskan untuk menunda kembali ke kantor.
Bintang yang diciumi mendadak juga terkaget-kaget, tidak menyangka akan mendapatkan serangan dadakan seperti itu.
"Bintang kamu di rumah sakit sampai seminggu kok gak kabari aku sih? Kamu anggap aku ini apa?" Pertanyaan dengan nada kesal terdengar dari bibir bergincu merah si gadis.
"Vania, kok kamu bisa tahu aku dirawat di rumah sakit ini?" Selidik Bintang.
"Tahu dari Fahmi. Jahat kamu! Aku tuh pacarmu, gadismu, seharusnya kamu segera kabari aku." Kembali Vania menciumi pipi Bintang.
"Van, itu ada ibu dan Mas Randu loh. Malu Van." Bintang mengingatkan Vania.
"Eeh iya, maaf maaf, karena terlalu senang saya sampai tidak memperhatikan ada ibu dan Mas Randu." Vania segera saja menuju ke Lies berada, mencium punggung tangan Lies dan bersalaman dengan Randu.
Mata bulatnya yang indah, wajah yang cantik itu sempat terbengong melihat ketampanan Randu. Bintang tampan, ganteng tapi wajah ganteng Randu tampak jauh lebih dewasa dan berkharisma. Membuat siapapun terpesona. Termasuk dia.
"Vania?" Tegur Sonja merasa kenal dengan wajah itu.
"Loh Sonja? Kok di sini?" Vania ternyata mengenali Sonja.
"Eeh kapan-kapan ya kita ngobrol Van, aku harus segera kembali ke kantor nih. Minta nomer ponselmu dong. Segera saja Vania memberi nomer ponselnya.
"Ayuk Sonja, katanya tadi ada hal penting banget yang harus segera kamu selesaikan." Kembali Randu menarik tangan Sonja agar segera mengikutinya. Tapi sekali lagi pintu itu kembali terbuka, didorong dari luar. Hanya saja sekarang, perempuan yang masuk ke kamar perawatan Bintang berubah mimik wajahnya, demi melihat tautan tangan Randu dan Sonja. Wajah itu berubah sendu.
"Debby..." Lirih Randu penuh rindu, melihat wajah cantik itu.
"Hai Ndu, apa kabar?" Basa-basi Debby, senyum kecut yang dipaksakan nampak di bibirnya.
Apa kabar? Kenapa pertanyaan itu seperti basa-basi? Ada apa dengan mereka? Baik Lies dan Sonja mempunyai pemikiran yang sama.
Sonja berusaha menarik tautan tangannya dari Randu yang menggenggamnya dengan erat, walau tidak ingin. Tentu saja dia merasa tidak enak hati, padahal kan seharusnya tadi Randu tidak perlu menautkan tangan mereka. Dia takut Debby akan salah sangka padanya.
Pandangan mata Debby yang tertuju tepat di tautan tangannya dan Sonja, menyadarkan Randu. Segera dia mengibaskan tangan Sonja. Walau Sonja merasa lega, tapi tetap saja dia merasa kehilangan saat tautan tangan itu terputus.
Lega namun sedih, hinggap di relung hari Sonja.
Kelak, tidak hanya rasa lega, rasa sedih yang akan dirasakan Sonja. Banyak rasa yang akan dia alami saat bersama Randu. Suka cita, kasih sayang, pengorbanan, sedih, sakit hati, adalah beberapa contoh perasaan yang akan dirasakan oleh Sonja.
Garis hidupnya menentukan hal seperti itu, bahwa dia memang harus mampu melewati sakit dan hinaan yang diberikan Randu. Randu adalah pelangi sekaligus badai di kehidupan Sonja.