Quatre

4118 Kata
Nara terbangun setelah merasakan tubuhnya berguncang pelan. Perlahan hazel indahnya mengerjap. Gadis itu sedikit mengalami disorientasi ketika menyadari bahwa raganya berada di jok belakang sebuah mobil mini bus yang membawanya entah ke mana. Tak hanya itu, kedua tangannya yang terikat di depan tubuh serta mulutnya yang tersumpal kain membuat Nara semakin merasa heran. Setelah sadar secara penuh akan situasinya kini, Nara pun membulatkan matanya. Oh, tidak ... aku diculik! “Hmmph!” Nara menggerak-gerakkan badannya sambil berusaha teriak. Tentu saja suaranya tidak dapat keluar karena tertahan oleh kain yang menyumpal mulutnya. Pergerakan Nara disadari oleh kedua pria yang duduk di jok depan. Salah satu dari mereka yang tidak sedang menyetir pun menoleh pada Nara. Pria yang sepertinya berusia sekitar pertengahan tiga puluhan sampai empat puluhan tersebut berdecak. Tak lama kemudian tawa sinis ia lontarkan. “Akhirnya kau sadar juga, Manis?” Perkataan pria itu disambut oleh tawa bengis dari rekannya yang sedang menyetir. Merasa tidak kenal dengan sosok pria itu, Nara memilih untuk kembali meronta. Tindakannya ini mendapat tawa bernada olokan dari para penculik itu. Ya Tuhan ... tolong aku! “Percuma saja kau meronta seperti itu, Sayang. Ikatannya sangat kuat. Kau tidak akan lepas dari kami dengan mudah,” ujar si pengemudi. Dari spion depan, Nara melihat kalau usia lelaki itu sedikit lebih muda dari pria yang duduk di sampingnya. Sial! Nara memaki dalam hati. Sebenarnya ada apa ini? Apa tujuan kedua pria asing ini menculiknya? Apakah mereka juga pelaku yang telah mengobrak-abrik rumahnya? Tapi apa yang mereka inginkan sebenarnya? “Wah, rupanya kau sudah melupakanku ya, Kim Nara?” Pria yang duduk di jok penumpang bertanya dengan nada sedih yang dibuat-buat. Seketika itu juga dahi Nara berkerut penasaran. Kenapa pria itu berkata seolah-olah mereka memang saling kenal sebelumnya? Padahal Nara yakin betul kalau sebelum ini ia tak pernah melihat batang hidung pria itu di manapun. “Ah, rupanya kau lupa pada suaraku ya, Gadis Buta?” Deg! Kedua mata Nara membulat sempurna. Suara itu ... panggilan itu ... Nara sangat mengenalnya! Sepuluh tahun lalu saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah Ibu Han, suara itu pernah membuatnya takut setengah mati. Suara itu adalah milik Lee Hyukjae, adik ipar Ibu Han yang selama ini telah menampung dan membesarkannya. Sepuluh tahun lalu Nara harus menerima kenyataan pahit ketika sang ayah dan ibu tirinya meninggal dunia. Meninggalkannya dengan sang kakak tiri yang ironisnya justru menjadi sumber penderitaannya. Secara tidak langsung, sang kakak tiri-lah membuat Nara kecelakaan dan kehilangan penglihatannya. Beruntung, ada Ibu Han yang bersedia menolong Nara dari kecelakaan itu sekaligus merawat dan membesarkannya. Sementara sang kakak tiri? Keberadaannya tak dapat diketahui hingga sekarang. Setelah sang suami beserta putra semata wayangnya meninggal dunia dua tahun sebelum kedatangan Nara di rumah itu, Ibu Han tinggal bersama Hyukjae yang hobi berjudi dan mabuk-mabukan. Tak hanya itu, dia juga kerap sekali mengamuk dan memukuli Ibu Han jika sedang mabuk. Awalnya Nara sempat merasa takut tinggal di sana karena kelakuan pria itu. Apalagi, Hyukjae juga tak suka dengan kehadirannya. Dia sering sekali mengatai Nara dengan sebutan ‘Gadis Buta’ untuk mengolok-oloknya. Namun, setelah tiga minggu Nara tinggal di sana, Hyukjae memutuskan untuk pergi dari rumah. Sejak hari itu Nara dan Ibu Han tidak pernah lagi melihatnya. Nara menelan salivanya dengan susah payah. Well, kalau pria itu benar-benar Lee Hyukjae, maka tamatlah riwayatnya! Pasti ada sesuatu yang Hyukjae inginkan darinya, tapi Nara tak tahu apa. Namun, kenapa baru sekarang pria itu muncul? Sewaktu Ibu Han meninggal setahun yang lalu saja dia tidak datang ke pemakamannya. Pria yang digadang-gadang sebagai Lee Hyukjae itu menyeringai kejam saat menyadari perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh Nara. Tawa bengis sekali lagi diloloskan oleh mulutnya. “Sudah ingat, eh?” Nara tak memberi respon. Gadis Kim itu masih menatap Hyukjae waspada. Melihat ketakutan yang terpancar jelas dari hazel Nara, tawa Hyukjae pun semakin menggelegar. Si pria pengemudi pun ikut tertawa bersamanya. “Astaga, Kim Nara! Wajahmu itu tidak bisa bohong ya jika sedang ketakutan begini?” Tatapan Hyukjae menelusuri wajah cantik Nara lalu beralih ke sekujur tubuhnya. Pria itu menyeringai. “Kau tahu? Aku tidak menyangka kalau setelah dewasa kau akan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik seperti ini. Aku jadi ingin menyentuhmu.” Nara terkejut setengah mati. Perasaan takut yang tadi menghantuinya kini berpindah haluan. Benaknya merasa tersinggung oleh perkataan pria itu. “Wah, ide bagus itu! Setelah kita mendapatkan apa yang kita mau, lebih baik kita nikmati saja tubuhnya setelah itu kita jual ke mucikari!” timpal si pengemudi yang langsung disusul oleh gelak tawa dari mulutnya dan mulut Hyukjae. Kurang ajar! Nara menggeram tertahan. Sungguh, rasanya ingin sekali Nara menyumpal mulut-mulut kotor yang baru saja menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang perempuan dengan sepatu. Berani sekali mereka bicara hal tak senonoh pada gadis muda seperti dirinya. Dasar para pria c***l! “Hmmph! Hmmph!” Nara kembali berusaha meronta. Sungguh, ia harus mendengar penjelasan para p****************g itu perihal tujuan mereka menculik dirinya. Seolah tahu apa yang Nara pikirkan, Hyukjae pun tertawa keras. Ia berujar pada si pengemudi, “Tepikan dulu mobilnya, Kyu!” Pria yang dipanggil dengan sebutan ‘Kyu’ itu pun menghentikan laju mobil yang mereka tumpangi. Nara sedikit panik. Kondisi jalanan yang sangat sepi memang sangat menguntungkan kedua penculik itu untuk bisa berbuat macam-macam padanya. Membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya membuat Nara langsung mual. Sungguh, ia ketakutan setengah mati saat ini. Hyukjae pun keluar dari mobil dan masuk kembali lewat jok belakang. Pria itu mengulurkan tangannya ke kepala Nara guna melepas ikatan kain yang menyumpal mulutnya. Ia menyeringai ketika melihat wajah Nara yang tampak panik. “Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?!” sembur Nara begitu sumpalan di mulutnya terlepas. Wajahnya menunjukkan rasa takut sekaligus marah yang bercampur jadi satu. “Buku rekening Han Yeseul. Di mana kau menyimpannya?” Nara mengernyit tak mengerti. Buku rekening apa yang dimaksud oleh pria itu? Nara sama sekali tidak tahu menahu soal buku rekening Ibu Han. “Aku tidak tahu. Kenapa kau—“ “Jawab pertanyaanku dengan jujur, Kim Nara! Atau aku akan melakukan sesuatu yang akan kau sesali seumur hidupmu!” Hyukjae membentak. Nara semakin tak mengerti. “Tapi aku memang tidak tahu apa pun soal buku rekening yang kau maksud! Ibu Han tidak bilang apa-apa padaku sebelum Beliau meninggal. Mungkin saja Beliau menyimpannya di rumah—“ “Aku sudah mencarinya kemarin, tapi tidak ada sama sekali. Kau pasti menyembunyikannya, kan?” Nara melongo terkejut. Rupanya benar dugannya tadi bahwa Hyukjae-lah yang menyelinap ke rumahnya kemarin. “Jadi kau yang telah mengacak-acak seisi rumah kemarin? Pantas saja tidak ada satu pun barang yang hilang. Keadaan pintu dan jendela pun baik-baik saja. Jadi itu kau pelakunya?” Hyukjae mendengus. “Kenapa? Salah jika aku masuk ke rumahku sendiri, hm? Ingat ya, Kim Nara ... kau itu hanya menumpang di sana. Jadi kau tidak perlu merasa marah jika aku masuk dan keluar rumah itu sesuka hatiku. Sekarang, lebih baik cepat katakan di mana buku rekening itu!” “Sudah kubilang aku tidak tahu!” Napas Nara terengah. “Lagi pula, kenapa kau mencarinya, hah?! Setelah sekian lama pergi meninggalkan rumah, tiba-tiba kau datang kembali untuk mencari buku rekening itu.” “Kau tidak perlu tahu! Yang penting berikan buku rekening itu sekarang juga atau ....” Seringai nakal pun menghiasi wajah Hyukjae secara tiba-tiba. Hal ini langsung membuat Nara dilanda kepanikan luar biasa. Tatapan Hyukjae yang seolah sedang melecehkannya secara non verbal membuat Nara bergidik ngeri. Ia takut Hyukjae berbuat macam-macam padanya. “Ke-Kenapa ... tatapanmu seperti itu? Mau apa kau?” “Kau tahu tidak ke mana kita akan pergi sekarang?” Hyukjae berbisik. Suaranya terdengar sarat akan ancaman. Nara bergidik. “Kau tahu berita soal hilangnya beberapa orang gadis muda yang kemudian justru ditemukan tewas di dalam hutan sekitar pegunungan?” Hyukjae menyeringai kejam begitu menyadari perubahan ekspresi Nara. “Ke sanalah tujuan kita saat ini.” Hyukjae dan pria bernama Kyu yang duduk di sampingnya tertawa keras. Nara syok. Ketakutan yang dirasakannya kali ini lebih besar dari sebelumnya. Air mata mulai mengumpul di pelupuk mata Nara. Ia hampir saja menumpahkan kekalutannya dengan tangisan, tapi sebisa mungkin ia tahan. Nara tak ingin para pria biadab itu semakin senang melihat ketakutannya. Ia tidak ingin membuat mereka merasa puas. Tuhan ... tolong aku! “Dengar, Kim Nara!” Lelaki itu berhenti tertawa guna menancapkan tatapan tajamnya pada Nara. Nada mengancam terdengar dari mulutnya ketika berkata, “Aku tidak akan sampai membunuhmu jika kau mau menuruti apa mauku. Jadi, katakan saja di mana buku rekening itu—“ “Tapi aku sungguh tak tahu, Paman! Aku tidak tahu apa pun soal—“ Plakkk! Hyukjae menampar pipi Nara keras. Membuat gadis cantik itu terhuyung dari tempat duduknya. Perih, batin Nara pedih. Kali ini air mata tak dapat lagi ditahan oleh Nara hingga meluncur bebas ke pipi pualamnya. Nara terisak pelan. Sungguh, pipinya terasa sakit sekali. Kepalanya juga ikut pening akibat tamparan keras yang Hyukjae berikan padanya. Seolah tak peduli dengan kondisi Nara, Hyukjae pun mencengkeram rahang gadis itu kasar dan berteriak, “Jangan bohong padaku! Yeseul pasti menitipkannya padamu, kan? Tidak mungkin tidak! Di dalamnya ada banyak sekali tabungan beserta asuransinya. Aku butuh uang itu jadi berikan bukunya padaku! Kalau kau tidak mau juga, terpaksa aku harus memberimu pelajaran!” Nara membelalak ngeri mendengar ancaman Hyukjae. Belum sempat mencerna dengan baik apa maksud lelaki itu, Nara harus kembali merasa terkejut setengah mati saat Hyukjae merobek kemejanya dengan kasar hingga membuat kancing-kancingnya terlepas dan berjatuhan. Mengakibatkan tubuh mulusnya yang masih tertutup bra terekspos begitu saja. “Tidak! Jangan!” Teriak Nara ketika Hyukjae mencoba meraba-raba tubuhnya. Beruntung, kedua kaki Nara tidak dalam keadaan terikat jadi ia bisa menggunakannya untuk mengelak dari sentuhan Hyukjae. Nara terus memberontak sementara Hyukjae mencoba menyentuhnya sambil tertawa bengis. Pria bernama Kyu juga ikut tertawa walau hanya jadi penonton di jok depan. Air mata semakin deras menuruni pipinya. Tenaga Nara untuk menolak kian terkuras. Apalagi, dia sekarang dalam keadaan luar biasa takut. Parahnya lagi, ingatan soal masa lalunya ketika masih kecil membuat mental Nara semakin jatuh hingga ke titik terendah. Ketakutannya berlipat ganda karena sekarang ia merasa ada dua orang yang ingin berbuat tak senonoh padanya; Hyukjae dan orang dari masa lalunya. Tuhan ... kirimkan seseorang untuk menolongku! Kumohon! Brakkk! “Keluar dari mobil sekarang juga!” Nara terkejut setelah mendengar suara gebrakan serta bentakan dari luar mobil tempatnya berada. Tak hanya ia yang terkejut, tapi Hyukjae dan Kyu juga. Namun, keterkejutan tak lantas membuat Hyukjae diam begitu saja. Pria itu tampak marah karena kesenangannya diganggu. “k*****t!” Hyukjae menggeram marah dan langsung keluar dari mobil itu disusul oleh Kyu. Untuk sejenak Nara bisa menghela napas lega karena pertolongan datang tepat pada waktunya. Namun, tak dapat dipungkiri kalau ketakutan masih jelas terasa di dalam benaknya. Ia terisak sambil berusaha menutupi keterbukaannya sebisa mungkin. Sungguh, ikatan kencang pada kedua tangannya membuat Nara merasa kalut. Ia putus asa. Merasa penasaran dengan siapa sosok yang telah datang untuk menolongnya, Nara pun akhirnya berusaha untuk sejenak melupakan kondisinya saat ini. Gadis itu melongok ke luar jendela. Betapa terkejutnya ia mendapati siapa dua sosok yang kini sedang berkelahi dengan Hyukjae dan Kyu. Mereka adalah Sehun dan Jongin! “Paman ... Monsieur ... kenapa mereka ada di sini?” gumamnya tak percaya. Nara begitu takjub dengan kedatangan mereka berdua. Apalagi saat melihat betapa tangguhnya mereka dalam menangkis pergerakan serta perlawanan Hyukjae dan Kyu. Terlihat sekali kalau kemampuan bertarung mereka di atas rata-rata. Senyum tipis pun terukir di wajah cantik yang tampak lusuh itu. Sungguh, Nara sangat bersyukur karena kehadiran dua sosok pria yang telah menolongnya. Seketika benaknya merasa tenang. Pertarungan tersebut diakhiri dengan kemenangan Sehun dan Jongin. Tepat setelah itu, suara sirine bersahutan terdengar dari kejauhan. Nara berasumsi kalau sebelum sampai di tempat terpencil ini Sehun dan Jongin sudah lebih dulu menghubungi polisi. Klek! “Kim Nara!” Nara begitu terkejut ketika tiba-tiba pintu mobil bagian belakang terbuka dan menampilkan sosok Sehun di sana. Jongin tak ikut serta karena sedang mengamankan kedua pria yang tadi hendak menculiknya. “Pa-Paman ...” Namun, bukannya segera masuk untuk membantu Nara melepaskan ikatannya, Sehun justru terpaku di tempat. Kedua matanya menatap kondisi Nara kini dengan tatapan tak percaya. Seketika itu juga aura kemarahan yang begitu pekat semakin terasa dari tubuh Sehun. Membuat Nara yang menyadari arti tatapan itu menjadi malu. Ia hanya bisa menundukkan wajahnya sambil terisak. “Berengsek!” maki Sehun tertahan sambil masuk ke dalam mobil. Pria itu melepaskan jas yang membalut tubuhnya dan segera melepaskan ikatan pada tangan Nara. Setelah ikatan itu terlepas, Sehun segera memakaikan jasnya pada tubuh mungil Nara yang masih bergetar akibat tangis. Nara mendongak. “Pa-Paman aku—“ Kata-kata Nara langsung terhenti ketika secara tiba-tiba tubuhnya ditarik oleh Sehun ke dalam sebuah dekapan hangat. Sehun menggumamkan kata-kata yang begitu menenangkan jiwanya dan itu sukses membuat Nara merasa nyaman berada dalam lingkupan tubuh besar sang paman. Namun, entah kenapa tiba-tiba saja Nara merasa tubuhnya lemas. Tak lama kemudian, gadis cantik itu pun jatuh pingsan dalam dekapan Sehun. ♣♣♣ “Berengsek! Harusnya kubunuh saja dia karena berani menyentuh Nara seperti ini. Dasar manusia hina!” Samar-samar Nara mendengar suara seseorang. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Bahkan, ia juga tidak tahu sedang berada di mana. Yang jelas, Nara merasakan kepalanya pening luar biasa dan matanya sulit sekali dibuka. Padahal, Nara sudah mencobanya, tapi tetap saja tidak berhasil. Sungguh, Nara begitu penasaran dengan sosok yang baru saja bicara itu walau sebenarnya ia sudah tahu siapa orang tersebut; Sehun. Lebih daripada itu, Nara juga penasaran akan sosok lain yang menjadi lawan bicara sang paman dan mengapa mereka membicarakan hal itu. “Sst, jangan bicara keras-keras, Hun! Ini rumah sakit. Kau mau Nara terusik dari tidurnya?” “Tapi aku masih tidak terima dengan apa yang pria itu lakukan pada Nara, Jong! Harusnya aku mematahkan tangannya atau bahkan membunuhnya sekalian.” Jong? batin Nara heran. Apa ‘Jong’ yang dimaksud oleh Sehun adalah Kim Jongin, dosennya? Tunggu dulu! Nara baru sadar akan sesuatu. Kedua pria itu datang bersamaan saat menolongnya, kan? Bagaimana bisa? Apakah mereka saling kenal? Dari percakapan yang Nara curi dengar sejauh ini mereka berdua memang tampak akrab. Apakah .... Sekuat tenaga Nara mencoba membuka matanya dan kali ini berhasil. Gadis itu sedikit mengernyit tatkala merasakan seberkas cahaya datang menusuk hazelnya. Keadaan itu tak berlangsung lama sebab Nara dengan cepat terbiasa. Kedua sosok tampan yang sejak tadi sibuk bercakap-cakap di ruangan tempatnya berada kini jelas terlihat. Rupanya mereka sedang berada di rumah sakit dan Nara mengenakan pakaian untuk pasien. “Paman ... Monsieur ....” panggil Nara pelan. Terkejut, Sehun dan Jongin pun menoleh padanya. Sehun langsung mendekat dan bertanya, “Nara, kau sudah bangun? Apa ada bagian tubuhmu yang sakit?” Nara menggeleng pelan. “Kepalaku hanya sedikit pening, tapi tidak apa-apa.” “Perlu kupanggilkan Dokter?” Nara menggeleng sekali lagi. Hembusan napas lega diloloskan oleh Sehun kemudian. “Syukurlah kalau kau tidak apa-apa,” ujar Jongin lega. Nara tersenyum tipis. “Oh ya ....” Nara mulai membuka mulutnya. Sehun dan Jongin langsung memasang telinga untuk mendengarkan. “Kalian berdua yang menolongku tadi, kan? Dari mana kalian tahu posisiku dan bagaimana kalian bisa datang bersama-sama? Apa kalian saling mengenal?” Berbeda dengan Jongin yang tampak panik ditodong pertanyaan seperti itu, dengan nada tenang Sehun pun menjelaskan, “Benar, kami berdua yang menolongmu. Tadi aku mencoba menghubungimu, tapi tidak dijawab. Aku khawatir, jadi aku bertanya pada Jongin yang katanya akan bertemu denganmu untuk membahas soal kuliah. Tapi katanya kau belum datang padahal harusnya sejak lima belas menit sebelumnya kau sampai di sana. Akhirnya, aku melacakmu menggunakan GPS. Itu sebabnya aku dan Jongin bisa mengejarmu sampai ke tempat itu.” Sehun melirik sekilas pada Jongin sebelum melanjutkan, “Dan ya, aku dan Jongin saling mengenal. Kami teman lama.” Nara terkejut. “Itu artinya Monsieur Kim sudah tahu kalau aku adalah keponakan Paman? Dan Paman pun sudah tahu kalau Monsieur Kim adalah dosenku? Kenapa kalian tidak bilang sebelumnya? Monsieur bahkan tampak terkejut saat aku bilang bahwa ada seseorang yang mengaku sebagai pamanku. Bukannya dia sudah tahu?” Jongin kikuk. “Eh itu ....” “Memang apa pentingnya bagimu jika kami bilang sejak awal?” Sehun angkat bicara. “Ya kalau begitu kan ....” Nara tiba-tiba terdiam. Gadis Kim itu tampak kebingungan melanjutkan kalimatnya. Benar juga, untuk apa Nara mengetahui hal ini sejak awal? Agar dia tidak terkejut? Atau apa? Tapi ... kenapa rasa-rasanya ada yang aneh dari kedua pria ini? Sehun berdecak. “Sudah, tidak perlu dipikirkan lagi! Yang penting kan sekarang kau sudah tahu kalau kami saling kenal.” Nara merengut. “Oh ya, katanya jika kau sudah siuman polisi ingin meminta kesaksianmu sebagai korban,” Jongin bersuara setelah sekian lama diam. “Tapi jika kau masih merasa tak enak badan aku bisa meminta mereka untuk menundanya sampai kau benar-benar siap untuk—“ “Tidak, Monsieur. Aku baik-baik saja kok. Aku akan memberikan kesaksian sekarang.” Sehun bereaksi. “Kau yakin? Jangan paksakan dirimu, Nara. Kau—“ Nara menggeleng. “Aku sudah baik-baik saja, Paman. Aku ingin masalah ini cepat selesai.” Sehun dan Jongin saling melirik. Kedua lelaki ini saling menimbang-nimbang. Setelah Sehun mengangguk sebagai bentuk persetujuannya, Jongin pun ikut mengangguk. “Ya sudah, kalau begitu aku bilang dulu pada polisi.” Usai berkata begitu, Jongin pun meninggalkan ruangan tersebut. Menyisakan Sehun dan Nara berdua saja. Sehun langsung memusatkan atensinya secara penuh pada Nara. Tatapannya yang terasa begitu intens membuat Nara mati kutu. “Ke-Kenapa Paman mena—“ Kata-kata Nara terhenti begitu merasakan hangatnya telapak tangan Sehun di pipinya. Nara sedikit meringis perih akibat sengatan yang menyerangnya. Rupanya yang Sehun sentuh adalah bagian pipinya yang ditampar oleh Hyukjae tadi. “Berapa kali si k*****t itu menamparmu?” Pertanyaan Sehun dengan nada dingin membuat nyali Nara sediki menciut. Apalagi, raut pria itu juga tampak angker. Sepertinya sisa-sisa kemarahan masih terasa di dalam hatinya. “Eh, itu ... hanya sekali.” Tapi keras sekali, tambah Nara dalam hati. Ia tidak ingin kemarahan Sehun kembali memuncak jika ia menjelaskannya secara rinci. Melihat raut keras sang paman saat ini saja sudah mampu membuatnya ketakutan. Ia tidak ingin memperparah keadaan. Sehun menarik tangannya dari pipi Nara. “Lalu seberapa jauh dia menyentuhmu?” Kali ini Nara cukup terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Ia tidak menyangka kalau Sehun akan menanyakan hal yang satu itu. Nara berdeham sebelum menjawab, “’Di-Dia belum sempat menyentuhku kok—“ “Kau yakin?” Nara mengangguk. “Aku terus mengelak saat dia mencoba meraba-raba tubuhku. Dia memang berhasil merobek kemejaku, tapi dia tidak sempat menyentuhku karena kalian datang tepat waktu.” Nara tersenyum. “Terima kasih karena kalian telah menolongku.” Sehun hanya diam. Pria itu masih bertahan dengan raut wajahnya yang mengeras. Tatapan tajamnya dengan setia menghujam hazel Nara. Membuat sang objek atensinya merasa risih dan bergerak tak nyaman di atas pembaringan. Tiba-tiba Sehun menggeleng dan mendengus sedikit kasar. “Kali ini tidak ada toleransi lagi, Kim Nara. Mau tak mau, suka tak suka kau harus tinggal denganku. Titik!” “Eh, ta-tapi ....“ Nara tak sempat melanjutkan kata-katanya karena Sehun jusru keluar dari ruangan itu usai berkata demikian. Nara syok. Hampir bersamaan dengan keluarnya Sehun dari ruangan tempatnya dirawat, Jongin dan dua orang dari pihak berwajib masuk ke sana. Jongin sempat menatap aneh pada arah perginya Sehun yang sempat berpapasan dengannya, tapi pria itu tak ada niatan untuk bertanya. Dengan santai memasuki ruang rawat Nara bersama seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berpakaian polisi. Tak ingin ambil pusing dengan sikap yang ditunjukkan oleh Sehun, Nara pun memilih untuk menyambut dua orang polisi tersebut dan bersiap menerima pertanyaan seputar apa yang menimpanya hari ini. Masalah ia mau tinggal dengan Sehun atau tidak, biar itu menjadi urusan belakangan. ♣♣♣ “Anggap saja itu sebagai balas budimu terhadap kami,” Jongin berujar. Dia dan Nara hanya berdua saja di ruangan serba putih itu. Kedua polisi yang tadi sempat menanyakan beberapa pertanyaan pada Nara sudah pergi. Sehun belum kembali ke ruangan itu. “Tinggallah dengan Sehun agar keselamatanmu terjamin. Kejadian seperti ini bisa saja terulang kembali, bukan? Kita semua tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.” Nara sedikit tak terima menerima jawaban Jongin. Sungguh, walaupun sempat merasa ketakutan seperti beberapa waktu yang lalu, hal itu tak lantas membuat Nara bisa menanamkan kepercayaannya pada Sehun begitu saja. Entah kenapa, semua kebaikan dan pertolongan yang pria itu berikan kepada dirinya masih dirasa belum cukup. “Dia itu benar-benar pamanku, ya?” Nara bertanya. Jongin mengangguk tanpa ragu sedikit pun. “Dia benar-benar pamanmu. Bahkan, wajahnya saja mirip mendiang ayahmu, kan? Itu saja sudah cukup membuktikan adanya ikatan darah di antara mereka.” “Dari mana Monsieur tahu kalau mereka mirip?” Jongin berdecak. “Tentu saja aku tahu! Aku kan pernah melihat foto ayahmu dari Sehun. Dia bercerita soal silsilah keluarga kalian. Ya ... mungkin hampir sama dengan apa yang dia sampaikan kepadamu.” Nara terdiam setelahnya. Otak cantiknya sibuk berpikir apakah ada baiknya jika ia menerima saja tawaran Sehun? Jujur, Nara sebenarnya jadi takut tinggal sendiri karena adanya kejadian ini. Trauma masa kecil yang sudah lama tak ia rasakan mendadak datang kembali dan membuat perasaannya tak tenang. Haruskah ia berubah pikiran kali ini? “Apa yang sedang kalian bicarakan?” Sebuah suara bernada datar yang disusul oleh kehadiran sang empunya suara secara tiba-tiba membuat Nara dan Jongin sedikit kaget. Mereka langsung melihat ke arah Sehun yang berjalan masuk ke ruangan itu dengan sebuah kantong plastik di tangan. Sepertinya, ia baru saja kembali dari swalayan terdekat. “Oh, bukan apa-apa, Hun. Omong-omong, apa yang kau bawa?” Jongin mengambil kantong belanja yang Sehun bawa dan memeriksa ada apa di dalamnya. Pria itu berdecak senang saat mengetahui apa isinya. “Wah, kau tahu saja jika aku—“ Sehun merebut kembali kantong miliknya. “Makanan dan minuman ini bukan untukmu, tapi untukku dan Nara. Terima kasih telah menjaga Nara selama aku pergi. Sekarang pulanglah! Bukankah besok kau harus mengajar kelas pagi? Aku pamannya Nara, jadi biar aku saja yang menjaganya hingga besok pagi.” Nara dan Jongin sama-sama terperangah tak percaya melihat sikap tak bersahabat yang Sehun tunjukkan. Apalagi Jongin yang rautnya langsung masam karena diusir oleh teman baiknya itu. “Oh Sehun, kau—“ “Sana pulang! Ini sudah malam. Setelah makan nanti Nara harus istirahat. Tugasmu untuk menjaganya sudah berakhir sampai di sini. Lagi pula, besok dia juga sudah boleh pulang.” Jongin tertawa hambar. Tak jarang, pria itu bertepuk tangan, seolah ada sesuatu yang sangat lucu hingga membuatnya terpingkal-pingkal. Sehun masih saja menatapnya datar, sementara Nara menatapnya aneh sekaligus tak enak. Batin Nara diam-diam merutuki sikap Sehun ini. Gadis itu tak menyangka kalau Sehun memang bisa bersikap menyebalkan pada semua orang. Jongin pun berhenti tertawa dan menghunuskan tatapan sebalnya pada Sehun. “Iya, iya aku pulang! Puas kau sekarang, hm?” Pria itu pun beralih pada Nara dan tersenyum manis. “Semoga kau cepat pulih agar bisa segera kembali ke kampus, oke?” Nara mengangguk. “Terima kasih atas pertolonganmu, Monsieur.” Jongin mengedipkan sebelah matanya. Sehun yang tampak tak suka melihat sikap genit pria itu kepada keponakannya hanya berdeham dengan nada memperingatkan. Jongin mendengus malas dan segera keluar dari ruangan itu, menghindari amukan teman baiknya. Sehun menghembuskan napasnya secara perlahan lalu menaruh kantong belanjaannya di meja. “Paman tega sekali pada Monsieur. Bagaimanapun, dia kan juga berjasa menyelamatkanku,” ujar Nara dengan sedikit nada kesal yang terselip dalam tutur katanya. Namun, Sehun tampak tak peduli. Sama sekali tidak merespon ucapan Nara. Pria itu sibuk mengeluarkan belanjaannya dari kantong. Nara hanya bisa mendengus kesal diabaikan seperti itu. Masa bodoh denganmu, Paman! cibirnya dalam hati. Ia terlalu lelah untuk berdebat lebih jauh dengan sang paman. “Ayo makan!” ajak Sehun sambil menyodorkan sebuah roti dalam kemasan pada Nara. Nara menggeleng. “Aku tidak lapar kok. Paman saja yang makan.” “Makan! Kau baru saja mengalami hal yang cukup mengerikan. Tenagamu pasti terkuras banyak. Jadi, makanlah sedikit saja!” Sekali lagi Nara ingin menolak, tapi apa daya perut dan hatinya tidak sinkron sama sekali. Tiba-tiba Nara merasa kelaparan. Perutnya keroncongan. Sambil menahan rasa malunya, Nara pun mengambil roti dalam genggaman Sehun itu. Sikap patuh Nara membuat Sehun tersenyum tipis. “Aku ke toilet dulu,” pamit Sehun tak berselang lama. Namun, baru dua langkah berjalan dari tempatnya berdiri tadi, suara lembut Nara mendistraksi. Membuat Sehun harus rela berbalik demi menatap wajah cantik keponakannya. “Ada apa lagi?” tanya Sehun datar. Nara membuka mulutnya, lalu langsung mengatupkannya kembali. Gadis itu tampak ragu akan mengutarakan isi hatinya. Sehun pun berusaha sabar menunggu. Ia menjaga raut wajahnya agar tetap terlihat tenang walau sebenarnya ia gemas juga melihat kelakuan Nara. Begitu suara Nara kembali mengalun, Sehun pun tak dapat lagi menyembunyikan raut wajahnya yang tampak terkejut sekaligus senang. “Aku setuju dengan penawaran itu. Aku mau tinggal bersama Paman.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN