Prologue
Senyum haru terukir di wajah cantik gadis cilik berusia sepuluh tahun itu. Sejak lima menit yang lalu jari-jari mungilnya sibuk terjalin. Ia begitu gugup sebab hari ini adalah hari yang cukup spesial baginya.
Gadis itu baru saja menjalani operasi transplantasi kornea mata. Ia akan mendapatkan kembali penglihatannya yang telah hilang sejak sepuluh bulan ini. Penantian panjangnya akan terbayarkan sebentar lagi.
"Nah, sekarang coba pelan-pelan kau buka matamu," ujar Dokter Lee usai membuka perban yang menutupi kedua matanya.
Perlahan, sang gadis membuka kelopak matanya. Sedikit mengernyit tatkala cahaya yang begitu terang langsung menyambutnya. Gadis itu mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan penglihatannya yang agak buram di awal. Lama-kelamaan, netranya berhasil menangkap objek di sekelilingnya dengan jelas. Ia tersenyum lebar.
"Aku bisa melihat! Ibu Han, Dokter, aku bisa melihat lagi!"
Gadis itu menoleh pada ketiga orang dewasa yang ada di samping ranjang rawatnya. Seorang wanita paruh baya yang digadang-gadang sebagai Ibu Han memeluknya. Rautnya juga tampak bahagia sekaligus terharu.
"Ibu senang kau bisa melihat lagi, Sayang," Ibu Han berujar.
Gadis cilik itu mengangguk dalam pelukan Ibu Han. Tak lama kemudian, ia menarik diri demi memperhatikan wajah wanita yang sedang mendekapnya itu. Ia tersenyum. "Akhirnya aku bisa melihat wajah Ibu. Ternyata wajah Ibu Han jauh lebih cantik dari yang kubayangkan."
Ibu Han terkekeh. "Kau ini bisa saja!"
Lantas, kedua perempuan itu pun kembali berpelukan.
"Selamat atas mata barumu, Kim Nara. Ingat, kau harus menjaganya dengan baik. Mengerti?" Dokter Lee berkata.
Gadis cilik bernama Kim Nara itu pun mengangguk. "Terima kasih atas bantuannya, Dokter."
Dokter Lee tersenyum lalu mengacak pelan surai Nara. Setelah itu, ia dan perawat pun pamit undur diri dari kamar itu. Membiarkan Nara dan Ibu Han larut dalam kebahagiaan mereka.
Sementara itu, di luar ruangan tersebut rupanya ada seorang pemuda yang mengamati mereka. Netra pemuda tampan berusia awal dua puluhan itu enggan lepas dari sosok Nara. Tatapannya terasa sulit didefinisikan.
Setelah puas memandangi gadis cilik itu, ia pun membalikkan badannya dan berlalu begitu saja. Dalam hati bertekad akan menemui gadis itu lagi suatu saat nanti.
♣♣♣
Sepuluh tahun kemudian ....
"Hei, kau!"
Begitu tasnya raib diambil oleh seorang pria bersepeda, gadis cantik itu langsung berlari mengejar. Berusaha sekuat tenaga menjangkau pria tersebut guna mendapatkan kembali tas yang sejatinya tidak menyimpan terlalu banyak barang berharga, tapi isinya begitu penting baginya.
"Hei, kembalikan tasku! Di dalamnya tak ada barang mahal. Uangku juga tidak banyak. Jadi kumohon kembalikan saja! Carilah mangsa lain yang lebih kaya dariku! Aku ini hanya anak yatim piatu yang miskin. Hei!"
Teriakan random yang Nara lisankan membuat orang-orang menoleh ke arahnya diiiringi dengan tatapan heran. Namun, mereka tak berniat sama sekali membantu Nara menangkap pencuri itu. Hanya sekedar melihat sekilas, lalu melengos begitu saja.
Merasa kesal, lelah, dan frustrasi karena pencuri itu semakin jauh darinya, Nara pun mencari cara agar bisa menghentikan laju sepeda yang dikendarai oleh pria tersebut. Satu-satunya cara yang terpikirkan olehnya hanyalah dengan ....
Sepatu!
Tanpa perlu lama-lama, Nara pun berhenti berlari demi melepaskan sepatu kets yang membungkus kakinya. Dengan sekuat tenaga, Nara pun melemparkan sepatu itu agar mengenai kepala sang pencuri yang tertutup oleh topi.
Tuk!
"Hei!"
Ups! Bukannya mengenai kepala sang pencuri yang kian menjauh, sepatu kets Nara justru menyapa pipi seorang pria bertubuh jangkung yang baru keluar dari sebuah kafe. Hazel Nara membulat terkejut. Bahkan saking kagetnya kedua tangannya refleks menutup mulut. Dengan panik, gadis itu segera menghampiri pria yang tanpa sengaja menjadi korbannya.
"Aduh, maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja." Nara menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya. Penyesalan mendalam atas apa yang menimpa pria tampan bertinggi badan menjulang itu terlukis jelas di sana.
Pria itu menatap Nara tajam. Aura yang dipancarkan oleh pria yang berusia sekitar akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan itu begitu mengintimidasi. Membuat nyali Nara yang hanya sebesar biji jagung semakin menciut karenanya.
"Tasku!" Rupanya, di tengah rasa bersalah sekaligus takutnya pada pria yang tak kunjung merespon permintaan maafnya itu, Nara masih bisa teringat akan tasnya yang dicuri. Segera saja Nara memakai kembali sepatunya dan meminta izin untuk undur diri sejenak dari pria tampan itu guna mengejar sang pencuri yang hampir tidak kelihatan lagi batang hidungnya.
"Maaf, Tuan. Saya harus mengejar pencuri itu dulu sebelum dia semakin jauh. Saya janji akan segera kembali lagi untuk mempertanggung jawabkan kesalahan saya pada Tuan. Maka dari itu, saya mohon pengertian Anda, ya? Permisi!"
Nara sudah hampir melangkahkan kakinya kembali untuk berlari ketika tiba-tiba tangannya dicekal oleh seseorang. Rupanya itu ulah pria tampan yang tak sengaja terkena lemparan sepatu darinya. Hal ini membuat Nara terkejut dan menatap pria itu kebingungan.
"Eh, ada apa lagi, Tu—"
"Tinggallah denganku!"
Serta-merta hazel Nara melotot tak percaya mendengar ajakan pria asing itu. "Hah?!"
"Kubilang tinggallah denganku, Kim Nara!" Pria itu kian mendesak.
Nara semakin syok mendengar pria asing tersebut menyebut namanya. "Ba-Bagaimana bisa Anda tahu nama saya? Lagi pula, kenapa saya harus tinggal dengan Anda?" Ia kebingungan.
Pria itu menghela napas lelah sebelum berkata, "Karena aku pamanmu maka dari itu kau harus tinggal bersamaku."
"Apa?!"
Sungguh, rasanya rahang Nara seperti akan jatuh ke tanah begitu mendengar ucapan pria asing yang tengah mencekal pergelangan tangannya. Paman? Yang benar saja! Sejak kapan mendiang orang tuanya memiliki seorang adik laki-laki?
Kekehan sumbang pun lolos begitu saja dari bibir mungil gadis cantik itu. Ya ampun, sepertinya lelaki asing ini sedang mencoba mengerjainya! Nara pun menarik tangannya yang berada dalam kuasa lelaki itu. Beruntung sang pelaku tak ada niatan untuk menahannya. “Maaf, Tuan tapi saya sedang tidak punya banyak waktu untuk lelucon semacam ini. Jadi saya mohon agar Tuan tidak—“
“Tapi aku serius, Kim Nara. Aku adalah pamanmu. Aku adik ayahmu.” Lelaki itu menekankan setiap silabel yang keluar dari mulutnya. Badannya semakin condong ke arah Nara. Wajahnya kentara sekali jengkel karena sikap Nara yang seolah meragukannya.
Nara semakin merasa aneh dengan sikap pria itu yang seakan memaksanya untuk percaya. Ia kembali meloloskan tawa yang kali ini terkesan sinis. Sedetik kemudian, tawanya redup dan digantikan oleh dengusan kasar. Tatapan dan nada bicaranya begitu galak saat berujar, “Tuan, kalau kau hanya ingin mengerjai ataupun menipuku, trikmu ini sangat basi. Jadi lebih baik kau berhenti sekarang juga dan biarkan aku mengejar pencuri—Hei! Apa yang kau lakukan?! Turunkan aku!“
Nara meronta saat pria itu menggendongnya di pundak secara tiba-tiba. Kedua tangannya memukuli punggung lebar pria tampan itu dengan harapan bahwa ia akan diturunkan. Namun, bukannya berhenti pria itu justru semakin tak gentar. Nara dibawa menuju mobil sport milik pria itu yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berada tadi.
Hazel Nara membulat panik. Oke, sepertinya pria itu memang serius ingin menculiknya. Langsung saja Nara mengerahkan seluruh tenaganya untuk kembali meronta. Tangan dan kakinya bergerak-gerak, memukul dan menendang tubuh pria itu agar tubuhnya terbebas.
“Lepaskan aku! Tolong!” Nara berteriak panik. Namun, tak ada yang mau peduli dengan teriakan minta tolongnya. Orang-orang yang lewat di sekitar mereka sepertinya mengira kalau Nara dan pria itu adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Sial!
Pria asing itu pun menurunkan tubuhnya tepat di samping pintu mobilnya yang baru saja ia buka. Tanpa perlu menunggu lama, ia menyuruh Nara masuk ke dalam kuda besi andalannya. Dengan sedikit memaksa mendorong bahu Nara agar menuruti perkataannya.
“Masuk!”
“Tidak mau!” Nara mencoba mengibaskan tangan yang bersarang di bahunya.
“Masuk, kubilang!”
“Aku sudah bilang tidak mau!”
“Cepat mas—Argh!“
Berhasil!
Pekikan keras yang disusul oleh membungkuknya tubuh jangkung tersebut setelah mendapatkan tendangan keras di selangkangannya membuat Nara dengan cepat mengambil langkah seribu untuk kabur. Ya, itu tadi memang ulahnya. Sengaja menendang pria itu di pusat tubuhnya agar ia tak bisa mengejar sebab Nara tahu, di situlah letak kelemahan laki-laki.
“Kim Nara!” Lelaki itu berteriak, tapi Nara tak peduli. Ia terus berlari hingga menghilang di dalam kerumunan para pejalan kaki. Dalam hati bersyukur karena ia bisa terbebas dari aksi penculikan.