Teriakan Nara membuat Sehun bergegas keluar dari mobil dan berniat menerjang masuk ke rumah sederhana itu. Beruntung, pagar rumah Nara tidak dalam keadaan terkunci sehingga ia bisa masuk tanpa perlu menemui hambatan berarti. Sehun membuka pintu rumah itu dan terkejut saat melihat kondisi di dalam sana.
“Ada apa ini?” Sehun bertanya setelah mendapati rumah Nara yang tampak berantakan. Barang-barang yang tadi pagi berada di tempatnya, kini tampak berserakan di lantai. Laci meja pun tampak terbuka. Berbagai macam berkas berhamburan ke sana-sini. Sehun tak mengerti apa terjadi, tapi sepertinya rumah itu baru saja dirampok.
Tak kunjung mendapat jawaban, Sehun pun menoleh pada gadis yang berdiri di sampingnya. Nara masih tampak syok. Bahkan, tubuh gadis itu tampak bergetar. Panik, Sehun langsung menyentuh bahu Nara. “Nara, kau—“
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa rumahku jadi begini?” gumam Nara tak percaya. Rupanya, ia memilih untuk mengabaikan pertanyaan serta kekhawatiran pria di sampingnya. Sungguh, ia begitu bingung dengan keadaan rumahnya saat ini.
Perlahan, Nara menyeret tungkai rampingnya menuju barang-barang yang tergeletak begitu saja di atas lantai. Gadis itu memeriksa, apakah ada sesuatu yang hilang atau tidak. Tak lupa, ia juga memeriksa laci-laci yang dalam keadaan terbuka. Berlari ke kamarnya, maupun ke kamar lain yang juga merupakan bagian dari rumah itu. Nara tercekat saat mendapati bahwa ruangan lain juga tampak berantakan.
Sehun yang masih berdiri di depan pintu kini mulai masuk ke ruangan tempat Nara berada. Sang empunya tampak sedang memeriksa barang-barangnya. Sehun pun bertanya, “Bagaimana? Ada yang hilang tidak? Jika ada, lebih baik kita—“
“Ini aneh sekali,” gumam Nara kebingungan, membuat Sehun urung melanjutkan perkataannya dan memilih untuk menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya.
Nara pun mengalihkan atensinya pada Sehun. “Tidak ada yang hilang sama sekali. Semua barang berharga masih ada.”
Dahi Sehun tampak berkerut penasaran. “Kau yakin?”
Nara mengangguk penuh keyakinan. “Aku yakin seratus persen. Semuanya masih lengkap, tak ada yang kurang sedikit pun.” Ia menghembuskan napas secara perlahan. “Kalau rumahku dirampok, harusnya ada yang hilang, bukan?”
Sehun berpikir. Benar juga, harusnya jika ada perampokan, paling tidak ada satu barang berharga yang hilang. Lantas, untuk apa orang itu menyelinap masuk ke rumah Nara jika bukan untuk mengambil barang berharga di dalamnya? Mungkinkah orang itu ... mengincar Nara?
“Atau jangan-jangan dia mencariku?” ujar Nara tiba-tiba. Kedua hazelnya melebar sempurna. Gadis itu langsung bergidik ngeri.
Sehun mendengus pelan. “Aku juga berpikir seperti itu. Tapi, kalau dia mencarimu untuk apa dia mengacak-acak seisi rumah ini? Mungkin dia mencari sesuatu yang kau miliki.”
“A-Apa maksudmu bicara begitu? Apa yang dia inginkan dariku?” Refleks, kedua tangan Nara memeluk tubuhnya sendiri. Ia tampak semakin ketakutan.
“Kau sendiri saja tidak tahu apalagi aku?”
Sehun pun berbalik dan mulai melangkahkan kaki, hendak pergi dari kediaman Nara. Namun, suara Nara yang terdengar panik membuat langkahnya seketika berhenti.
Nara mendekati Sehun dan bertanya, “Tu-Tuan, kau mau ke mana?”
Sehun mendengus pelan lalu berbalik. Ia menatap Nara sebentar sebelum menjawab, “Tentu saja pulang. Aku sudah tidak ada keperluan lagi di ....“ Sehun berhenti bicara saat Nara tiba-tiba mengulurkan tangannya dan memegang bagian lengan kemejanya. Gadis itu memasang wajah seolah sedang memohon.
“Tolong, jangan tinggalkan aku sendiri di sini! A-Aku takut ... orang itu kembali dan berniat mencelakaiku.”
Permohonan Nara membuat alis Sehun terangkat cukup tinggi. Well, ia sungguh tak menyangka bahwa gadis tangguh seperti Nara juga memiliki rasa takut seperti ini. Sehun mengira gadis itu sama sekali tidak takut pada apa pun.
Senyum miring yang tidak begitu kentara pun terlukis di wajah Sehun.
“Oke, aku akan menginap lagi malam ini,” ujarnya yang langsung mengundang senyum lega di wajah Kim Nara.
“Terima kasih, Tu—“
“Eits, tapi ada syaratnya!”
Senyum Nara luntur dan berganti dengan wajah yang tampak penasaran. Dahinya berkerut dalam. “Apa syaratnya?”
Kali ini Sehun menyunggingkan senyum tipisnya. Ia mendekatkan wajahnya pada Nara dan berbisik, “Mulai sekarang, jangan panggil aku ‘Tuan’, tapi ‘Paman’.”
♣♣♣
Selama sepuluh tahun tinggal di rumah peninggalan Ibu Han, Nara tidak pernah merasa takut seperti ini. Rumah sederhana itu sangat nyaman untuk ditinggali. Nara begitu betah sekalipun ia tidak tinggal di sana sejak lahir.
Namun, untuk pertama kalinya Nara merasa tidak nyaman bahkan untuk memejamkan mata. Sudah hampir pukul 1 malam, tapi Gadis Kim itu masih saja terjaga. Ia masih merasa khawatir kalau oknum yang telah mengacak-acak seisi rumahnya akan datang kembali untuk melakukan sesuatu yang buruk pada dirinya. Padahal sudah ada Sehun—sang paman— yang sengaja menginap untuk menemani, tapi tetap saja Nara masih merasa was-was.
“Siapa yang melakukan hal ini?” gumam Nara tak mengerti. Saat ini gadis cantik itu sibuk mondar-mandir di dekat ranjang. Otak cantiknya sibuk berpikir apakah ini semua perbuatan orang yang ia kenali atau bukan. Tapi, kira-kira apa yang dicari oleh orang itu? Apa pun itu pasti sesuatu yang sangat penting.
Mendadak Nara menghentikan langkahnya. Kedua hazelnya melebar seketika. Satu nama tiba-tiba terlintas di dalam otaknya. Membuat gadis itu lantas bergidik ngeri.
“Ti-Tidak mungkin ... dia, kan?” Nara berkata seolah sedang menyangkal praduganya sendiri. Gadis itu menggeleng keras dan melanjutkan langkah mondar-mandirinya.
“Tidak, tidak! Kim Nara hentikan pikiran bodohmu soal orang itu! Dia tidak mungkin berniat mencarimu lagi. Tidak, tidak mungkin! Argh!”
Nara mengacak rambutnya frustrasi. Sungguh, ia dilanda ketakutan dan rasa penasaran yang sama besarnya saat ini. Jujur saja, ia semakin merasa tidak aman sekarang. Nara tak sanggup memejamkan matanya barang sedetik saja.
Air mata pun mengumpul begitu saja di pelupuk mata. Ingatan masa kecilnya datang menghantam, menyisakan Nara yang duduk meringkuk di atas ranjang, terisak pelan di tengah kegelapan malam.
♣♣♣
“Kau yakin tidak mau lapor polisi?” Sehun bertanya sekali lagi, memastikan kalau sang keponakan benar-benar serius dengan perkataan beberapa menit lalu sebelum masuk ke mobil yang mereka tumpangi.
Nara mengambil napas dalam-dalam sebelum mengangguk mengiyakan. Gadis itu tak bicara lebih lanjut dan memilih untuk untuk menundukkan kepala.
Mendapat jawaban seperti itu tak ada lagi yang bisa Sehun lakukan selain menghela napas perlahan. Tatapannya kini tertuju sepenuhnya pada jalanan di depan. Sebentar lagi mereka sampai di kampus Nara, jadi Sehun harus bersiap.
Sehun menghentikan kuda besinya di depan kampus. Seperti yang biasa Nara lakukan, sebelum keluar gadis itu mengangguk singkat sembari mengucapkan terima kasih padanya.
"Masih tidak mau tinggal denganku walau sudah ada kejadian ini?" Sehun bertanya tepat sebelum Nara membuka pintu mobil. Seperti dugaannya, Nara langsung urung melakukan niatannya. Gadis itu menoleh.
"Tidak apa-apa kok jika aku harus tinggal sendiri. Paman tidak perlu—"
"Tidak apa-apa?" Sehun mendengus. "Kau pikir aku tidak tahu jika kau menangis semalaman? Bahkan mata bengkakmu saja masih jelas terlihat."
Nara terkejut. Refleks, gadis itu meraih spion depan untuk melihat wajahnya. Nara semakin terkejut karena perkataan Sehun benar adanya. Matanya tampak sekali bengkak!
"I-Itu ... semalam aku menangis bukan karena—"
"Tapi kau ketakutan, kan?"
Nara terdiam. Gadis itu menggigit bibirnya.
Lagi-lagi Sehun mendengus gemas. "Jangan keras kepala dan pikirkan keselamatanmu! Tinggallah denganku maka keamananmu akan terjamin."
Nara membuka mulutnya, hendak protes. Namun, gadis itu kembali mengatupkan bibirnya. Sepertinya, Nara masih ragu dengan apa yang hendak ia ucapkan pada Sehun.
Setelah meyakinkan dirinya sendiri, Nara pun berani membuka mulutnya. "Ini tidak semudah yang kau bayangkan, Paman. Aku—"
"Kau kenapa? Sebenarnya apa yang masih membuatmu ragu, hm? Ayo, katakan saja!"
Lagi-lagi Nara terdiam. Gadis itu menatap Sehun cemberut.
Sehun berdecak. "Kau pasti belum percaya kalau aku ini pamanmu sungguhan, ya? Apa perlu kubuktikan lagi?"
Nara mendengus lalu mengalihkan perhatiannya ke arah lain. "Memang bukti apa lagi yang ingin kau tunjukkan padaku? Sudahlah, tidak perlu repot-repot! Aku akan memikirkannya. Aku sudah lelah berdebat denganmu, jadi biarkan aku menenangkan diri lebih dulu agar aku bisa memutuskannya."
Usai berkata begitu, Nara pun benar-benar meninggalkan mobil Sehun. Kali ini, semuanya berjalan mulus tanpa hambatan sekecil apa pun karena pamannya itu tak lagi berusaha menahan kepergiannya.
Awalnya sempat merasa tak percaya mendengar jawaban gadis itu, Sehun kini mulai bereaksi lebih. Senyum miring tersungging di bibirnya dan itu bertahan hingga Sehun kembali melajukan kuda besi kesayangan.
♣♣♣
Saat ini adalah jam makan siang. Nara dan ketiga sahabatnya sedang makan di kafetaria Fakultas Desain. Biasanya, keempat sekawan itu makan siang secara bergantian di fakultas satu sama lain. Tak jarang mereka memilih makan bersama di luar kampus, tergantung ada tidaknya jadwal kelas yang berdekatan dengan jam makan siang.
"Aku sarankan kau tinggal dengannya saja dengan begitu kau akan aman," Jennie berkomentar sambil menyeruput Americano-nya.
Lisa dan Joy mengangguk setuju.
Nara menghela napasnya lesu. "Tapi kan aku belum percaya kalau dia sungguh-sungguh pamanku? Bagaimana kalau dia hanya seorang penipu yang berniat jahat padaku?"
"Ya kalau begitu kau lapor polisi saja agar mereka menangkap siapa orang yang telah menyelinap ke rumahmu!" celetuk Lisa. "Kalau kau sudah merasa aman tinggal di sana, kau jadi punya alasan untuk menolak ajakan pamanmu itu, kan?"
Nara menghela napas lesunya. Gadis itu tampak keberatan dengan gagasan yang disampaikan oleh Lisa. “Tapi kan tidak ada barang yang hilang ataupun rusak? Orang itu hanya datang dan mengacak-acak seisi rumahku. Kalau aku ingin melaporkannya pada polisi, atas tuduhan apa? Dia juga tidak meninggalkan barang bukti. Bahkan keadaan pintu dan jendela rumah baik-baik saja, tidak ada bekas congkelan atau sebagainya. Dia masuk ke rumahku lewat mana saja aku sampai bingung.”
Jennie, Joy, dan Lisa langsung terdiam. Sibuk mencerna baik-baik perkataan Nara yang memang benar adanya.
“Iya juga, ya? Kalau ada barang yang hilang sudah pasti tuduhannya adalah pencurian. Kalau begini tuduhannya apa?” Joy bergumam. Tak lama kemudian, gadis itu menjentikkan jarinya. Wajahnya tampak cerah. "Kalau begitu bilang saja kalau kami akan bergantian menginap di rumahmu sehingga kau tidak akan tinggal sendirian lagi."
Yang lain langsung mengangguk menyetujui usul Joy kecuali Nara. Gadis Kim itu masih sibuk memikirkan semuanya secara matang-matang. Benar juga, batinnya. Semua yang disampaikan oleh sahabat-sahabatnya sangat masuk akal, bukan?
Jujur saja, Nara masih ragu dengan kebenaran yang Sehun ungkapkan perihal status mereka. Ia masih merasa tidak yakin walau kedengarannya semua fakta yang Sehun sampaikan benar adanya. Apalagi ... wajah pria itu juga memiliki kemiripan dengan mendiang ayah tercinta. Sungguh, Nara ingin sekali percaya pada Sehun, tapi entah kenapa hal itu terasa sulit dilakukan.
Itu sebabnya, Nara tak mau menerima ajakan Sehun begitu saja. Lagi pula, mereka juga baru kenal dalam kurun waktu kurang dari tiga hari. Taeyong yang sudah ia kenal selama bertahun-tahun saja bisa dengan mudah menodai kepercayaan Nara, apalagi Sehun? Pria itu memang terlihat baik, walau ada kalanya tampak menyebalkan. Namun, tetap saja Nara tak boleh langsung percaya padanya.
Nara punya masalah serius dengan yang namanya ‘kepercayaan pada orang lain’. Sewaktu kecil ia pernah punya pengalaman buruk berkenaan dengan orang yang dia percayai. Maka dari itu, Nara butuh waktu yang cukup lama untuk bisa membangun kepercayaan terhadap orang lain setulus apa pun mereka kelihatannya. Nara hanya tidak mau mengalami kejadian buruk itu sekali lagi. Ia benar-benar tak ingin itu terjadi.
Nah, sekarang yang perlu Nara lakukan adalah menolak ajakan Sehun dengan tegas dan meminta pria itu menjauh darinya.
“Baiklah!” Nara menepuk tangannya sekali. Senyum manis terkembang di wajah jelitanya. “Kalau begitu siapa giliran pertama yang menginap di rumahku nanti malam?” Nara menatap ketiga sahabatnya secara bergantian, penuh harap.
Namun, Jennie dan kedua sahabatnya yang lain justru hanya saling melirik dan tak kunjung menjawab pertanyaan itu. Mereka saling melempar kode yang Nara tak ketahui apa maksudnya.
Gemas dengan sikap ketiga sahabatnya, Nara pun berdecak. “Hei, kenapa kalian tidak menjawab?”
Jennie, Lisa, dan Joy sama-sama terkesiap pelan. Mereka tampak gelagapan. Namun, bukannya langsung menjawab mereka malah sibuk berbisik-bisik tak jelas. Hal ini semakin membuat Nara kesal. Wajah gadis itu langsung merengut ketika menyadari apa penyebab ketiga sahabatnya itu bersikap aneh.
“Jangan bilang kalian sudah ada janji dengan kekasih kalian masing-masing!”
Ketiga sahabatnya tersebut tampak semakin terkejut mendengar tuduhan Nara. Mereka langsung meringis pelan dan tampak kikuk. Nara semakin menekuk wajahnya sementara Jennie refleks mengalihkan pandangannya dari Nara, Lisa sibuk memainkan ponselnya, serta Joy yang berpura-pura mengusap tengkuknya sambil bersenandung pelan.
“Kalian menyebalkan!” sungut Nara sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Wajahnya benar-benar tampak kusut dan menakutkan.
Hal ini membuat ketiga sahabatnya dilanda perasaan bersalah. Jennie menjadi orang pertama yang berujar, “Maafkan aku, Nara. Malam ini adalah anniversary-ku dengan Hanbin. Dia sudah menyiapkan makan malam kami sejak sebulan lalu. Aku tak enak jika harus membatalkan janji dengannya.”
“Aku juga sudah ada janji dengan ibunya Bambam. Beliau baru datang dari Bangkok dalam rangka liburan dan ingin aku menemaninya. Jadi maaf, ya karena aku tidak bisa menginap di rumahmu malam ini?” Lisa menjelaskan.
“Aku juga minta maaf, Nara. Setelah ini aku ada syuting lalu Sungjae akan menjemputku untuk makan malam bersama. Pamannya yang sudah lama tinggal di Kanada hari ini pulang ke Seoul. Dia ingin mengenalkanku padanya. Sekali lagi maafkan aku, ya?”
Ketiga sahabatnya kompak memasang wajah memohon, tapi Nara masih bertahan dengan wajah merajuknya. Para gadis cantik itu tak gentar, mereka tetap berusaha membujuk Nara yang sedang dalam mode kesalnya. Belum sempat menerima permintaan maaf dari mereka, Nara justru terkikik geli. Hal ini membuat Jennie, Joy, dan Lisa terheran-heran menatap satu sama lain.
“Kalian ini,” Nara berujar di tengah derai tawanya. Gadis Kim itu mengeluarkan air mata karena saking gelinya. “kenapa kalian mudah sekali ditipu? Aku kan tidak benar-benar marah. Tadi aku hanya ingin mengerjai kalian.” Tawa Nara pecah lagi.
Jennie, Lisa, dan Joy hanya mampu melongo tak percaya mendengar perkataan Nara. Tak lama kemudian mereka mendengus kesal dan dengan kompak berteriak, “Kim Nara!”
Lantas, ketiga gadis cantik itu sama-sama menghadiahi wajah, tangan, dan bagian tubuh Nara yang lain dengan cubitan keras. Nara hanya bisa mengaduh sambil menghindari amukan mereka. Namun, kekehan pelan masih setia lolos dari bibir mungilnya.
“Iya, iya maafkan aku!” Nara menyerah. Napasnya terengah usai berusaha sekuat tenaga menghalau serangan Jennie, Lisa, dan Joy. Giliran ia yang mendapat dengusan kesal dari ketiga sahabatnya. Nara menyengir.
“Sudahlah, kalian tidak perlu memikirkan aku!” Nara berujar sambil mengibaskan tangannya. Ia tersenyum. “Aku tidak apa-apa tinggal sendirian di rumah malam ini. Well, kita berharap saja ‘orang itu’ tidak datang lagi ke rumahku.”
“Kau yakin?” Gurat kekhawatiran terlukis jelas di wajah Lisa ketika bertanya seperti itu. Jennie dan Joy juga menampakkan ekspresi serupa.
Nara tersenyum menenangkan sambil mengangguk penuh keyakinan. “Aku tidak apa-apa. Nikmatilah waktu kalian bersama kekasih masing-masing! Kalau ada sesuatu aku akan melapor pada pihak berwajib, oke? Jangan khawatirkan aku.”
Yang bisa Jennie, Joy, dan Lisa lakukan selanjutnya hanyalah menghembuskan napas perlahan lalu mengangguk sebagai respon.
♣♣♣
Harapan kadang memang tidak berjalan sesuai dengan realita. Apa yang kita inginkan bisa jadi tidak terwujud sebagaimana mestinya. Hal ini rupanya tengah dirasakan oleh Nara. Harapannya untuk tak lagi melihat sosok mantan kekasih tidak menjadi sebuah kenyataan. Buktinya, Nara harus rela menahan rasa kesal saat Lee Taeyong berdiri tepat di hadapannya.
“Mau pesan apa?” tanya Nara dari balik meja kasir. Intonasi suaranya ia atur sedemikian rupa agar tetap terdengar sopan. Oh, andai mereka tidak sedang berada di kafe, sudah pasti Nara akan menyuruh Taeyong enyah dari hadapannya saat ini juga. Sayangnya, status sebagai pegawai membuat Nara tak bisa berbuat sesuka hati.
Taeyong bergeming. Pemuda tampan yang sering dibilang mirip tokoh anime itu hanya menatap Nara secara intens. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh otaknya, yang pasti ada kerinduan mendalam yang bisa Nara rasakan dari jenis tatapan itu.
Tak lekas mendapatkan jawaban dari sang mantan kekasih, Nara pun mulai jengah. Mulut pedasnya sudah hampir beraksi saat tiba-tiba Taeyong mengucapkan sesuatu yang membuat Nara mati kutu.
“Kau. Aku mau kau, Kim Nara.”
Nara mengerjap beberapa kali. Untuk sejenak saat gadis itu merasa linglung, tak tahu harus bagaimana menyikapi tingkah Taeyong. Jujur saja jantung Nara sempat berdebar beberapa saat usai mendengar Taeyong berkata seperti itu. Ia gugup.
Nara pun berdeham cukup keras demi menghilangkan perasaan yang seharusnya ia enyahkan dari benak. Gadis Kim itu memejamkan kedua matanya sambil menundukkan kepala. Napasnya berhembus secara perlahan. Setelah dirasa cukup, Nara pun kembali mendongak. Senyum ramah yang terkesan dibuat-buat terpatri di wajah cantik itu.
“Maaf, aku harus melayani pelanggan lain jadi kumo—“
“Tidak ada yang mengantre selain aku, Nara. Kumohon, beri aku waktu untuk bicara denganmu sebentar saja. Aku janji tidak akan mengganggumu lagi setelah ini.” Taeyong tampak memelas. Sampai-sampai kedua tangannya terangkat di depan wajah untuk memohon pada mantan gadisnya.
Nara berdecak. “Tapi aku tidak mau, Taeyong! Kurasa tidak ada lagi yang harus dibicarakan antara kita berdua. Semuanya sudah berakhir.”
“Tapi—“
“Bicaralah dengannya agar semua cepat selesai!” Sebuah suara tiba-tiba menginterupsi. Nara dan Taeyong menoleh ke asal suara dan agak terkejut saat melihat Baekhyun sudah berdiri tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini.
Pria berwajah imut bermarga Byun itu tersenyum miring sambil berjalan menghampiri kedua insan tersebut. Begitu sudah berada di dekat Taeyong, Baekhyun menghunuskan tatapannya pada Nara. Senyum miring masih menghiasi wajah tampannya. “Hei, Kim Nara! Kau tidak ingin Bocah ini mengganggumu lagi, bukan? Kalau begitu coba kau bicara dulu dengannya! Setelah itu silakan ambil keputusan sendiri.” Baekhyun menghela napas bosan. “Sejujurnya aku tidak tahan melihat drama percintaan anak muda jaman sekarang. Tapi karena kau adalah pegawai kesayanganku, mau tak mau aku harus ikut memberi nasihat. Lagi pula, aku juga sudah bosan melihat bocah ini berkeliaran di kafeku dengan tampang memelasnya. Jadi, selesaikan masalah kalian, oke?”
Baekhyun mengakhiri pidato panjangnya dengan remasan pelan di bahu Taeyong yang langsung dibalas oleh ucapan terima kasih dari pemuda itu.
“Oh ya,” Baekhyun terkesiap pelan. “selama kau bicara dengan mantan kekasihmu ini shift-mu akan digantikan oleh Taeil. Jadi kalian tidak perlu terburu-buru bicaranya, santailah saja.”
Nara mengangguk dan tersenyum kaku sebagai respon. “Ba-Baik, Bos. Terima kasih.”
Baekhyun hanya mengerling sebelum pada akhirnya memanggil seorang pegawai bernama Moon Taeil dan menyuruhnya menggantikan shift Nara. Lantas, ia pun kembali ke ruangannya yang berada di lantai dua.
Tatapan Nara dan Taeyong sama-sama masih terarah pada pria dewasa itu. Mereka baru berpaling setelah punggung Baekhyun sudah tidak terlihat lagi.
Nara mengarahkan tatapan tajamnya pada Taeyong. “Ayo kita bicara! Tapi ingat, ya setelah ini jangan pernah menghubungi atau menemuiku lagi. Aku benar-benar muak padamu.”
Taeyong tersenyum kecut. “Aku akan menepati janjiku, tapi tolong dengarkan dulu penjelasanku, oke?”
Nara mengangguk lalu beranjak dari balik meja kasir, mempersilakan Taeil menggantikan shift-nya lalu mengekori Taeyong yang mengambil tempat duduk di pojok ruangan.
♣♣♣
Nara pulang kerja lebih awal dari biasanya. Ia sudah meminta izin pada Baekhyun agar bisa pulang lebih dulu. Tepat pada jam makan malam ia harus bertemu dengan Jongin di kafe dekat apartemen pria itu. Nara bertemu dengannya bukan untuk berkencan, tapi hendak mengambil lembar jawaban kuis kelas juniornya harus yang ia koreksi. Sekaligus, untuk mendiskusikan soal-soal untuk dikeluarkan saat ujian nanti.
Nara naik bus yang membawanya menuju kawasan elit Gangnam. Yeah, di sanalah sang dosen tinggal. Pria bermarga sama dengannya itu memang terkenal kaya raya. Propertinya saja tersebar di mana-mana, khususnya di beberapa kawasan elit Seoul. Sejak menjadi asisten Jongin, Nara harus rela bolak-balik ke kawasan itu demi tugas yang dia emban. Jadi ia sudah terbiasa dan tidak merasa takjub lagi.
Gadis cantik itu menghela napas perlahan untuk ke sekian kali. Sejak masuk dan duduk di bus, Nara memang tampak melamun. Pikirannya berkelana pada percakapannya dengan Taeyong tadi.
“Ternyata bayi dalam kandungan Soyoung bukanlah milikku. Bayi itu milik mantan kekasihnya, Johnny. Soyoung sengaja menjebakku agar bayinya memiliki ayah sebab Johnny tidak mau bertanggung jawab.”
“Lalu?”
“Nara ... bisakah kita kembali berhubungan? Aku janji kali ini tidak akan—“
“Maaf, tapi bukankah tadi aku sudah bilang padamu kalau aku muak? Aku sudah tidak mau lagi bertemu denganmu dan itu artinya aku juga tidak mau kembali padamu. Aku sakit hati karena kau selingkuh. Walau sekarang sudah terbukti bayi itu bukan milikmu, tetap saja kau sudah menodai kepercayaanku dengan menjalin hubungan di belakangku. Sekali kau merusak kepercayaan seseorang, maka akan sulit untuk memperbaikinya. Kau sudah selingkuh sekali, tidak menutup kemungkinan akan ada perselingkuhan kedua, ketiga dan seterusnya.”
“Nara ....”
“Kumohon, Taeyong. Aku sudah lelah. Aku benar-benar tidak bisa berhubungan lagi dengan dirimu.”
“Tapi aku masih sangat mencintaimu, Nara. Aku benar-benar menyesal telah termakan bujuk rayu Soyoung.”
“Tidak. Aku tetap tidak bisa. Aku akui kalau rasa cintaku padamu masih ada walau sekarang rasa benci-lah yang lebih dominan. Tapi kurasa itu bukan alasan kuat agar aku bisa kembali padamu. Jadi mohon mengertilah!”
“Jadi ... kau benar-benar ingin kita berakhir seperti ini?”
“Ya. Lebih baik kita akhiri sampai di sini. Maaf.”
“Tapi, Nara ... bisakah kalau kita tetap menjalin hubungan baik? Sebagai teman, misalnya?”
“Akan kupikirkan dulu.”
Lagi-lagi Nara menghembuskan napas lesunya. Sebenarnya gadis cantik itu masih bingung mau mengiyakan permintaan Taeyong atau tidak. Setelah semua yang Taeyong katakan sebenarnya tidak masalah jika mereka berdua tetap berteman. Masalahnya, Nara masih sakit hati dengan kelakuan pemuda itu.
Lebih baik kami tidak usah berhubungan lagi, tekad Nara dalam hati. Ya, ia telah memutuskan untuk tidak mau lagi mengenal sosok Lee Taeyong walau sebatas teman sekalipun. Kepercayaannya yang telah rusak membuatnya yakin untuk menghapus nama Lee Taeyong dalam kehidupannya.
Maka, yang Nara lakukan setelahnya adalah mengambil ponsel lalu mengetik pesan pada Lee Taeyong.
‘Maaf, tapi aku tidak bisa lagi berhubungan denganmu walau sebatas teman sekalipun. Lebih baik kita tidak usah saling mengenal lagi. Selamat tinggal.’
Usai mengirim pesan tersebut, Nara langsung menghapus kontak Lee Taeyong dan memblokirnya. Napas lega pun ia hembuskan. Dengan begini Nara berharap bahwa hidupnya akan lebih tenang.
Bus berhenti di halte yang Nara tuju. Gadis itu turun dari bus sambil mengembangkan senyum manisnya. Entah kenapa Nara merasa kalau beban berat di pundaknya terangkat begitu saja setelah mengatakan hal seperti tadi kepada Taeyong. Ia sudah benar-benar lega.
Namun ....
"Hmmph!"
Sayangnya, kelegaan Nara tak bertahan lama karena tiba-tiba ada seseorang yang membekap mulutnya dari arah belakang. Nara terkejut dan terus meronta saat pelaku pembekapannya itu menyeretnya masuk ke sebuah mobil. Tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, yang jelas Nara merasa tubuhnya lemas dan ia pun tak sadarkan diri.