Nara mengeratkan genggaman tangannya pada Daffa. Lidahnya kelu tatkala Farhan menghampirinya dengan Rama.
"Nara?" Panggil Farhan lirih.
Nara tak menjawab, ia semakin mendekatkan Daffa dengan dirinya.
"Nara dia anak-kita?" Tanya Farhan
Nara menggeleng, "bukan! Dia bukan anak kamu! Dia anakku, dan selamanya akan tetap begitu!" Ucapan tajam Nara serta nada yang tak slow membuat Farhan sedikit terkejut. Pasalnya Farhan tak pernah mendengar suara Nara yang seperti ini.
"Maksud kamu apa Ra?"
Nara tersenyum sinis, "Daffa memang bukan anak kamu. Dia anakku. Kami permisi." Dan dengan itu Nara pergi meninggalkan Farhan dan Rama.
"Ram bilang sama Bayu gue gabisa ketemu sama dia. Gue harus nyusul mereka." Farhan menepuk bahu Rama lalu berlari kencang keluar dari rumah sakit.
Farhan mengikuti Nara dan Daffa yang pergi menggunakan Grab Car. Farhan menggunakan mobil yang sudah disewakan oleh pak Nadimin.
Mobil Farhan berhenti didepan rumah kontrakan milik Nara. Ia melihat Nara turun dari sana bersama Daffa. Dan langsung masuk ke rumahnya. d**a Farhan bergemuruh dengan kencang, jantungnya berdetak tak karuan. Ini adalah momment yang dia nantikan selama hampir 4tahun ini. 4tahun ia mencari Nara dan anaknya, dan baru ia temui sekarang.
Air matanya menetes melihat putranya. Betapa tega ia membiarkan Nara sendirian berjuang untuk melahirkan anak mereka.
"Maafkan aku Nara," lirih Farhan sambil mencium cincin yang menjadi kalung di lehernya.
***
Nara masuk ke kontrakannya dengan sedikit gemetar. Ia takut. Ia takut Daffa akan diambil oleh Farhan. Ia tidak mau Farhan mengambil Daffa begitu saja.
Daffa memperhatikan Nara, lalu menatap jendela yang gordennya tertutup.
"Bunda kenapaa?" Tanya Daffa, anak itu duduk disebelah Nara sambil menggenggam tangan bundanya.
Nara tersenyum, "bunda gapapa dek. Bobok siang yuk?" Ajak Nara.
Pun Daffa menurut. Nara membuatkan s**u botol untuk Daffa. Daffa menerima s**u botol itu sambil tangannya masuk ke dalam baju Nara. Daffa memang senang memainkan nipplesnya.
"Ayok bobo," ajak Nara.
Nara menepuk-nepuk p****t Daffa sambil menyenandungkan lagu twinkle twinkle little star.
***
Nur menghela nafasnya, ini adalah pesan ke-4 yang sudah ia kirimkan ke Farhan. Tapi tak satupun dibalas oleh sang empunya.
Viko melirik Nur yang sedari tadi tetap memperhatikan layar ponselnya.
"Tunggu sini ya sayang," kata Viko ke Reya yang sedang memakan pudding buatan Viko. Viko mencium rambut Reya dan langsung menghampiri Nur.
"Kamu kenapaa?" Tanya Viko sambil merangkul bahu Nur. Nur berjenggit kaget, lalu melepas rangkulan Viko dibahunya.
"Farhan gaada kabar."
"Dia gak telfon kamu?"
Nur menggeleng. Matanya sudah memanas, dan ia yakin pasti sebentar lagi air mata itu akan keluar dengan sendirinya. Viko menghela nafasnya, lalu tanganya mengambil ponsel milik Nur dan mengantonginya.
"Udah sekarang gausah mikirin dia dulu. Fikirin aja Freya sama diri kamu ya"
"Gak bisa vik, aku gabisa."
"Kenapaa nur?"
"Aku khawatir dia bakalan nemuin Nara dan balik lagi sama Nara. Aku gak bisa Vik. Gabisa." Tangis Nur pecah.
"Aku gak tau mesti nanggepin hal itu gimana. Kalopun emang Farhan udah berhasil nemuin Nara, kamu gausah khawatir. Aku bakalan tetep disini sama kamu nur,"
***
Farhan turun dari mobil. Jam sudah menunjukan pukul 19.27 malam. Tapi Nara tetap saja tak keluar-keluar membuat Farhan juga tak mau beranjak dari sana.
Farhan berjalan ke area depan pintu kontrakan itu. Ia sedikit miris, hatinya seperti tercubit ketika membayangkan anak dan wanita yang dicintainya harus tinggal di tempat seperti ini. Bahkan teras kontrakannya saja hanya sepertiga dari teras rumahnya bersama Nur.
Farhan mengetuk pintu rumah Nara. Tak ada jawaban, membuat Farhan menghela nafasnya.
"Assalamualaikum, nara!"
"Nara bisa kita bicara?"
Tak ada jawaban lagi.
"Nara?" Panggil Farhan lagi.
Nara yang mendengarnya dari dalam pun tetap diam dan tak menjawab.
Farhan akhirnya duduk dibangku kayu yang ada di teras itu. Ia menunduk dalam. Ingatannya berputar ke kejadian 4tahun yang lalu. Ketika ia meminta Nara untuk mengkonsumsi pil KB agar ia tidak mengandung. Namun, semesta berkehendak lain.
Ingatan-ingatan itu terus berputar dikepala Farhan. Membuat Farhan merasakan sesak yang berkepanjangan.
Flashback
Farhan membuka pintu rumah nya dengan kasar. Dilihatnya Nara tengah meringkuk diatas sofa akibat menunggu Farhan untuk pulang.
Farhan berdecak sebal, selalu seperti ini. Ia menghampiri Nara dengan langkah yang lebar. Lalu menarik lengan baju Nara hingga Nara terbangun setelahnya.
"Kakak? Kenapa kak?" Tanya nara.
"Kamu ngapain disini?! Saya udah bilang kan? Saya gak suka kamu nungguin saya gini!" Sentak Farhan keras. Nara menunduk takut.
"Maaf kak... Nara hanya menjalankan tugas Nara aj--" belum sempat Nara melanjutkan ucapannya Farhan lebih dulu menyelanya.
"Halah! Saya udah pernah bilang kan kalo kamu gak perlu repot-repot bertingkah selayaknya istri di depan saya! Saya gasuka!"
"Maaf kak.." cicit Nara pelan.
"Maaf-maaf! Maaf doang kamu bisanya!"
Nara tak menjawab.
"Kamu tuh ngerepotin tau gak sih! Kamu udah bikin saya hancur!"
Nara tetap diam. Ia masih setia menjadi pendengar atas ocehan Farhan padanya.
"Satu hal yang harus kamu tau! Kalo saya gak pernah suka apalagi sayang sama kamu dari dulu!"
Nara menengadahkan kepalanya tatkala Farhan berujar seperti itu. Ia tersenyum kecil, "Aku tau. Aku juga gak minta kamu buat sayang sama aku Kak."
Nara menahan pedih itu sendiri. Farhan tertawa sinis.
Flashback end.
Farhan mengusap wajahnya. Ia melirik jam tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 21.13 malam tapi Nara tak kunjung membukakan pintu.
"Nara aku mohon sekali ini sajaa. Aku pengen ketemu kamu, aku pengen bicara sama kamu ra," pinta Farhan.
Nara menghela nafasnya. Belum pergi juga rupanya. Dengan sangat terpaksa dan dengan didorong oleh rasa kemanusiaan Nara membuka pintu itu. Membuat Farhan tersenyum lebar.
"Nara akhirnyaa"
Nara diam. Ia lebih memilih duduk di kursi. Dan menatap ke depan.
Farhan duduk dikursi tepat dihadapan Nara. Ia mengembangkan senyumannya.
"Nara bagaimana kabar kamu?"
"Baik."
"Aku minta maaf ra!"
Nara tersenyum miring. "Gausah minta maaf. Aku udah baik-baik aja," bohong, han. Bohong. Nyatanya Nara gak baik baik aja.
"Aku minta maaf. Aku gak tau kalo kamu hamil juga waktu itu. Aku cuma kalut, aku gak bisa memilih ra," mata Farhan menatap mata Nara.
"Gaperlu, han. Semuanya udah terjadi. Toh aku emang gapernah ngasih tau kamu soal keberadaan Daffa kan?" Nara tertawa miris, lalu melanjutkan lagi. "Aku hanya takut. Kamu pernah bilang bahwa kamu gaakan pernah sudi untuk punya anak dari rahimku!"
Ucapan Nara tadi sukses menampar Farhan. Farhan diam.
"Masalah kamu lebih memilih kak Nur dibanding aku itupun gak papa. Aku sudah belajar untuk menjadi pilihan, namun nyatanya tak dipilih."
"Nara aku minta maaf. Aku bisa menceraikan Nur dan kembali kepada kamu."
Nara menajamkan matanya kearah Farhan, "apa kamu bilang? Kamu gak puas hanya dengan menyakitiku dulu?! Lalu sekarang kamu ingin menyakiti kak Nur? Kamu gila, Farhan!"
"Bukan begitu maksudku Nara, aku hanyaa--"
"Aku tak ingin mendengar apapun lagi. Silahkan pergi dari sini. Jangan pernah temui aku atau Daffa lagi,"
Nara sudah ingin beranjak dari duduknya. Tapi diurungkannya ketika Farhan menahan pergelangan tangannya.
"Nara aku mohon.. izinkan aku untuk disini sebentar sajaa."
"Gak bisa, silahkan pergi!"
"Nara aku janji aku akan pergi tapi nanti.. jika rinduku sudah selesai."
Nara kembali duduk. Tangannya saling tertaut dan saling meremas. Ia gugup dan juga takut akan goyah.
"Tanggal berapa Daffa lahir?" Tanya Farhan. Nara mengehela napasnya sebelum menjawab.
"Sebentar aku ke dalam dulu," Nara beranjak masuk ke dalam. Lalu kembali lagi sembari memegang sebuah map coklat ditangan kanannya.
Ia membuka map itu lalu mengeluarkan foto ia dan dua bayi yang dibedong dengan kain bedong berbeda warna. Yang satu biru, dan yang satu pink.
Tangan Farhan bergetar hebat, "Apa ini Nara?"
Nara menghela nafas sambil menguatkan hatinya agar ia bisa menceritakan semuanya kepada Farhan.
"Daffa itu kembar. Ia lahir 5 menit lebih dulu sebelum adiknya. Daffa menangis dengan kencang, sementara Diffa gak. Aku panik pada saat itu. Bu bidan yang menangani aku, sudah melakukan berbagai cara agar Diva menangis. Tapi tetap nihil, Diva gak menangis sama sekali."
Nara menarik napas lalu melanjutkannya kembali, "mereka berdua lahir dengan selamat. Hanya saja bu bidan memvonis bahwa Diffa gak bisa berbicara,"
Farhan mendengarkan dengan seksama. Meski nyatanya hatinya tercubit sangat keras. Hingga ia sendiri lupa bagaimana caranya bernafas malam ini.
"Aku sedih saat itu. Aku masih berharap bahwa kamu ada disamping aku waktu itu. Aku masih berharap bahwa kamu bakalan ada disisi kami. Tapi aku ketampar sama realita, nyatanya kamu gak ada."
"Siapa yang meng-adzani anak anak kita?" Tanya Farhan
"Putranya bu bidan. Dia yang meng-adzani Daffa dan Diffa,"
Nara menggigit bibirnya dalam, "Diffa benar-benar gak bisa berbicara. Pertumbuhannya pun sangat lambat dibanding anak-anak seusianya."
"Lalu dimana Diffa sekarang?"
"Dia sedang bersama orang tua Dela. Orang tua Dela menyayanginya seperti cucunya sendiri."
Farhan tidak bisa menyembunyikan air matanya lagi. Ia menangis. Bersimpuh dihadapan Nara sambil menggenggam erat tangan wanita itu.
"Nara maafkan aku. Maafkan aku ra, aku mohon. Aku salah, aku b******k, aku menelantarkan kalian, aku b**o, aku tak pantas dimaafkan!"
Nara hanya diam, ia tak berani menjawab. Karna ia sedang sibuk dengan air matanya sendiri.
Nara memandang langit Yogyakarta yang mendung lagi malam ini dan hujan turun dengan deras.
Hujan kali ini menjadi saksi atas hancurnya hati Farhan dan leganya hati Nara atas beban-beban yang ditanggungnya selama 4tahun ini sendirian.