Cinta dalam diam itu sakit, memendam rasa selama bulanan atau tahunan itu tidaklah mudah. Apalagi jika yang dicintai sudah memiliki tambatan hati.
•||•
Mobil Farhan memasuki pelataran rumah minimalis berlantai dua dengan aksen eropa yang sedikit mencolok itu. Ia memarkirkan mobilnya di sana dan langsung turun tanpa menunggu Nara dan koper mereka di belakangnya.
Nara mencoba tersenyum. Ia turun dari mobil. Ketika turun, seorang lelaki tua berumur 45 tahunan datang menghampirinya sambil menunduk. Membuat Nara buru-buru memegang bahu pria itu agar tetap berdiri tegak di depannya. "Bapak nggak usah seperti ini, pak. Ayo bangun, jangan menunduk."
Si bapak di depan Nara tersenyum. "Enggeh, mbak Nara. Kopernya boleh saya bawain ndak?"
"Boleh, pak, boleh sekali. Tolong bawain ya pak."
"Siap 45, mbak!" Si bapak berjalan ke arah belakang mobil Farhan, lalu mulai menurunkan dua koper besar dari sana. Sementara Nara berjalan masuk ke dalam.
Pemandangan yang pertama kali Nara lihat ketika ia masuk ke dalam rumah adalah Farhan yang sedang duduk di atas sofa ruang tamu dengan map di tangannya. Perlahan namun pasti, Nara menghampiri suaminya.
"Kamar kamu sama saya pisah, saya di lantai satu. Kamu dilantai dua." Ucap Farhan santai. Wajahnya terlihat datar.
"Pisah kamar?" Tanya Nara lirih.
"Iya," jawab Farhan. Tangannya mulai membuka tutup map itu, lalu mengeluarkan kertasnya dari sana.
"Tapi----"
"Tapi apa? Kamu berharap tidur sama saya, iya?" Farhan tertawa kecil, "Mimpi kamu ketinggian, Nara. Sampai kapanpun, saya nggak pernah mau mengakui pernikahan ini ataupun mengakui kamu sebagai istri saya."
Nara terdiam. Merasakan perih di hatinya. Nara sibuk dengan pemikirannya sendiri hingga tanpa sadar bahwa Farhan sudah menyodorkan pulpen ke arahnya. "Tanda tanganin disini," ujarnya.
Nara menghela napasnya. Ia tak apa, ia tak apa. Mencoba menguatkan dirinya sendiri dengan berucap seperti itu. Di tatapnya kertas berisi ketersediaannya untuk pisah kamar selama mereka menikah. Nara kembali menarik napas. Ya Tuhan. Ia bingung. Ia tidak ingin menyetujui ini, tapi..
Ah. Nara memejamkan mata, berusaha meminta ampunan yang maha kuasa atas apa yang dia lakukan sekarang. Setelah membubuhi kertas itu dengan tanda tangannya, Farhan tersenyum kecil, lalu menepuk puncak kepala Nara beberapa kali. "Good girl!"
Setelah mengatakan itu, Farhan pergi ke kamarnya sendiri. Meninggalkan Nara dengan air mata nya yang mengalir.
Bahkan setelah apa yang kamu pinta pun, aku tetap mencintai kamu, mas.
***