Farhan senang karna mengetahui Nur hamil. Tapi disisi lain? Ia memikirkan Nara. Entahlah, dirinya pun tak tahu.
Ia menghela nafas panjang, "Rumit banget astagfirullah! "
Sejujurnya Farhan tidak mengerti sama perasaanya sendiri. Farhan nyaman bersama Nara. Tapi dia juga sayang sama Nur. Apalagi Nur lagi hamil sekarang.Saat ini ia sedang duduk di balkon apartemen Nur. Ia merokok diatas sana sambil memandangi jalanan ibu kota yang padat setiap harinya.
Ia membuang puntung rokoknya, "Sial kenapa gue jadi mikirin cewek itu sih?" Ia mengacak-acak rambutnya kasar. Ia menoleh ke belakang berjaga jaga takut Nur bangun dan melihat ia di sini.
"Nara itu manis, good looking juga. Tapi gue gabisa cinta sama dia, Ya Allah.."
***
Nara menatap pantulan dirinya dicermin pagi ini. Ia tersenyum samar sambil mengelus perutnya..
Disana ada bayinya. Iya bayi, bayi Farhan juga Nara. Nara dinyatakan positif hamil sejak 3 minggu yang lalu. Ia senang bukan main. Tapi Farhan belum tau soal kabar ini.
To be honest, Nara takut untuk jujur kepada Farhan. Takut Farhan tak menerima bayinya.
"Kalau pun nanti ayah gabisa nerima kehadiran kamu, kamu jangan sedih ya Nak. Ada bunda disini. Bunda sayang kamu. " Gumam Nara.
Nara menurunkan kembali pakaiannya. Ia keluar dari kamarnya menuju kamar Farhan. Entah mengapa ia ingin sekali masuk ke kamar Farhan..
Akhirnya dengan keberanian yang ia punya, ia masuk kesana. Harum laki laki itu langsung menyerbak ke indera penciuman Nara.
Ia tersenyum, sembari jalan tepat ke arah ranjang milik Farhan. Namun matanya menangkap satu foto yang dibingkai besar dikamar itu. Foto pernikahan. Tapi bukan pernikahan mereka.
"Itu pernikahan siapa?" Batin Nara lirih. Ia berjalan mendekati foto itu. Seketika itu pula matanya perih dan air mata pun tak segan-segan untuk keluar dari pelupuk matanya yang indah.
"Apa maksud ini semua?"
"Farhan menikah? Dengan Nur?" Nara membekap mulutnya sendiri sembari bibirnya merapalkan kalimat istighfar.
"Ya Allah.. kenapa mereka sejahat ini?" Nara mendudukan tubuhnya di ranjang king size milik Farhan. Ia memeluk perutnya sendiri. Ia semakin terisak.
"Maafkan bunda Nak, maafkan bunda. Jika setelah ini bunda gabisa nemuin kamu sama ayah kamu."
***
Farhan pulang ke rumah tak ada sambutan khusus seperti biasa. Ia membuka pintu, lalu matanya mencari-cari sosok Nara.
"Nar!"
"Nara!"
Ia mencari Nara. Hingga dirinya menemukan Nara tengah duduk sendirian di kursi dekat pohon mangga. Farhan mendudukan dirinya di samping Nara. Nara menghapus air matanya. Lalu kepalanya menoleh kepada laki laki disaampingnya ini.
Nara mengulas senyum tipis, tapi itu membuat Farhan ketar ketir.
"Ada apa?"
Alih alih menjawab Nara justru menggelengkan kepalanya. "Nara boleh nanya sama kakak?"
Farhan menggangukkan kepalanya. "Iya boleh.." katanya ragu.
Nara menghirup udara sebanyak banyaknya. "Kamu dan Nur sudah menikah?" Farhan langsung mengangkat wajahnya. Terkejut. Ia tak bisa berkata kata.
Nara tersenyum getir, "Bilang aja kak gapapa. Nara siap mendengarkan kok," katanya.
Farhan menggenggam tangan Nara, ada getaran-getaran disepanjang hatinya kala ia melakukan hal itu. Ia sedikit mengelus punggung tangan Nara.
"Maafkan aku Nara."
Telak.
Jawaban tadi menampar Nara pada kenyataan yang dihadapinya. Air matanya mengalir seiring Farhan menceritakan semuanya.
"Jadi? Kamu dan Nur menikah setelah kamu menikahi aku?" Tanya Nara lirih. Farhan mengangguk samar.
"Aku minta maaf Nara, tapi aku mencintai dia."
"Lalu kenapa kamu mau menerima perjodohan ini, Kak? Kamu tau nggak risiko apa yang harus aku hadapi ketika kamu memutuskan untuk tetap melanjutkan pernikahan ini?"
Farhan merasa sesak, ia nelangsa melihat perempuan ini menangis. "Nara, jangan nangis.." tangannya terulur untuk menghapus air mata Nara, tapi Nara menolak.
"Nara aku salah.. aku minta maaf. Tolong jangan seperti ini. Aku---gakuat, Ra. "
"Lalu aku harus seperti apa kak?"
"Jadilah seperti Nara yang aku kenal jaman sekolah dulu," kata Farhan.
Nara tersenyum sinis, tapi setelahnya air matanya semakin turun dengan deras.
"Kakak ingin aku mencintai kakak secara diam diam lagi?"
Farhan diam.
"Jika dulu aku bisa mencintai kakak diam-diam, tapi sekarang tidak kak. Aku tidak sanggup. Aku tidak sanggup berbagi suami dengan orang lain."
"Apa maksudmu Nara?"
"Maaf jika aku egois, tapi kakak harus memilih salah satu diantara aku dan Kak nur. "
Farhan mengusap wajahnya kasar, ia tak bisa. Nur sedang mengandung anaknya. Mana mungkin ia menelantarkan anaknya?
"Nara aku gabisa memilih. Nur sedang hamil, anakku. "
Tangis Nara semakin pecah, inikah jawaban Farhan? ia akan melepaskan Nara, juga melepaskan bayi tak berdosa ini.
"Ini sebuah jawaban?"
"Buk-bukan seperti itu Nara, maksudku--"
Ucapan Farhan terpotong karna pelukan Nara ditubuhnya. Nara memeluk Farhan dengan kencang, meluapkan segala yang dia rasa di d**a lelaki itu.
Farhan sedikit meneteskan air matanya, sedih dan merasa nelangsa melihat perempuan di depannya ini.
Sejak dulu Farhan tak pernah melihat perempuan ini menangis. Bahkan, jarang. Sekalipun ia dalam posisi terpuruk ia takkan mau menumpahkan air matanya jika tidak sedang bersama sahabatnya dan tuhan-Nya. Tapi lihatlah sekarang?
Farhan menyakitinya..
Nara melepas pelukannya ditubuh Farhan. Ia menghapus air matanya. Lantas tersenyum.
"Aku akan melepaskan kakak. Aku akan mengembalikan kakak pada kak Nur juga anak kalian. "
Nara meremas tangan Farhan. Meraba cincin dijari manis suaminya. Ia juga meraba cincin dijari manisnya. Lalu melepas nya perlahan.
Farhan memperhatikan gerak gerik Nara, "Nara kamu mau apa?"
Nara memandang cincin itu sekali lagi sebelum menaruhnya ditelapak tangan Farhan.
"Aku menyerah kak, terimakasih, ya? Sudah mau menjadikan aku sebagai istri mu selama hampir satu tahun ini. Aku mencintai mu, kak. Berbahagialah dengan mbak Nur. Jangan sakiti dia seperti kamu menyakiti aku, ya."
Nara tersenyum sambil menutup telapak tangan Farhan dengan jari-jarinya.
"I think that's enough. Selamat malam kak. "
Nara mencium pipi Farhan setelah dirasa lelaki itu tak memberi respon apapun kepadanya.
Nara berlari ke kamar, dan menagis sejadi-jadinya di sana. Ia membereskan seluruh pakaiannya ke dalam koper hitam besar.
Ia bertekad akan pergi dari sini dan membiarkan Farhan bersama Nur. Ia sudah cukup merusak kebahagiaan mereka berdua. Biarlah bayi ini ia yang mengurus.
"Kamu jangan sedih ya, nak. Bunda will be there for u always and forever." tangannya terulur mengelus permukaan perutnya yg masih datar.
Tangisnya mengencang, ia duduk diranjang dan mengambil secarik kertas. Ia menulis sebuah kalimat yg ditujukan untuk Farhan malam itu.
Dear lovely husband, Farhan..
aku hanya ingin mengucapkan terimakasih atas segala yang udah kamu lakuin ke aku. Entah itu buruk atau baik. Terimakasih karna t'lah mengajarkan aku arti dari kesabaran juga berjuang.
Kamu tau?
Aku mencintaimu sejak pertama kali aku melihatmu sebagai kaka kelasku. Waktu itu aku hanya bisa diam dan memendam rasa itu. Pada awalnya aku berpikir, jika rasa ini akan hilang dan berganti seiring jalannya waktu... namun, sekali lagi aku salah kaprah. Karna setelah bertahun tahun pun rasa-ku pada mu tak hilang hilang.
Hingga pada malam itu, aku bertemu bunda Fatma. Dan beliau ingin sekali aku menjadi menantunya, kamu tau apa yang rasakan saat itu? Well, i'm happy. To be honest.
Tapi seneng itu ga bertahan lama apalagi setelah tau kalau kamu masih mencintai dia. Hehehe..
Tak usah mencariku, ya? Ah geer banget sih aku minta dicari. Intinya, jika suatu saat kamu mengetahui sesuatu tentang ku jangan pernah mencariku, ya?
Oiya, selamat sekali lagi. Karna kamu akan memiliki 2 anak sekaligus. Tapi kamu tak usah khawatir. Biarkan anak ini menjadi milikku. Maaf karna aku belum sempat bilang ke kamu hehehe.
Ilove u, my husband.
From, Nara.
Your bad wife.
Setelah itu Nara menaruh sebuah testpack yang dibungkus dengan pita tepat diatas kertas tadi..
Ia tersenyum pedih. Tengah malam nanti ia akan pergi dari rumah ini.
Bissmillah..