Karyawan yang berlalu-lalang, suara keyboard komputer, printer dan mesin fotocopy menjadi ciri khas suasana kantor di pagi hari.
Sudah seminggu ini Randi menduduki meja kerja Alin yang kosong. Ini salah satu cara mengurangi rasa rindunya, saat dirinya sedang sibuk.
"Loh, Ran, meja kerja kamu pindah?" tanya seorang supervisor mekanik yang sedang mengurus ijin cuti.
"Lagi kangen sama Mbak Alin, makanya dia duduk di sini," Ledek Pak Yono.
"Ha ... ha ... ha, sekarang Randi jadi bucinnya Mbak Alin, tho." Mereka tertawa puas.
"Ya, Pak. Sang Playboy akhirnya bertekuk lutut di hadapan seorang Alina Salsabila," ucap Icha mendramatisir.
Mereka tertawa puas, sedangkan Randi tertunduk malu.
"Jadi, kali ini serius atau main-main?" tanya Bapak itu.
"Pasti serius, Pak. Soalnya dapetin Alin itu nggak semudah dia dapetin yang lain," beber Icha sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Tumpis!" umpat Randi lirih.
"Bapak pernah liat Mas Randi cemburu, nggak?"
"Cha!" tegur Randi.
"Kalau pengen liat dia cemburu, godain aja pacarnya, Pak," kata Icha mengabaikan teguran Randi.
Mereka kembali mentertawakan Randi.
"Puas-puasin ketawa," ucap Randi kesal.
Randi mengalihkan pembicaraan, mereka membahas masalah unit yang sedang breakdown.
"Ini, Pak. Nanti serahkan sama orang HR." Icha memberikan selembar kertas yang sudah di tandatangani oleh atasnnya.
"Oke. Makasih ya, Mbak."
"Duluan, Ran," pamitnya pada Randi.
Randi hanya mengacungkan jempolnya.
"Wow, seksinya Alin," puji Icha saat melihat postingan Alin di akun i********:-nya.
Randi langsung merebut Hp Icha. Matanya terbelalak saat meliat foto Alin yang sedang berada di pantai.
Alin mengenakan dress model sabrina, dengan belahan rok yang jaraknya hanya sejengkal dari pinggul. Bahu dan paha mulus Alin terekspos sempurna.
"s**t!" Randi mengumpat lirih.
Segera dia mengambil ponselnya dan menelepon sang pacar. Randi gelisah menunggu Alin menjawab panggilannya.
Icha yang berada di sampingnya terkikik geli melihat Randi yang sedang terbakar cemburu.
"Halo, Yang! Kamu di mana?" tanya Randi saat Alin mengangkat teleponnya.
"Bali. Kenapa?"
"Hapus foto-foto kamu!" perintah Randi.
"Foto yang mana?"
"Yang barusan kamu upload di i********:. Buruan hapus!"
"Kenapa dihapus?"
"Aku nggak suka liat kamu pake baju kurang bahan kayak gitu."
"Kalau nggak suka, nggak usah dilihat," ujar Alin santai.
"Sayang ... kamu ––"
"Bentar," potong Alin.
"Dah, buka pesan aku barusan!" pinta Alin.
Randi menuruti Alin.
"Wow," ucap Icha kagum saat ikut melihat foto yang dikirim Alin.
Kali ini foto Alin lebih seksi. Alin mempertontonkan perut ratanya.
"Jangan macam-macam, Yang." Randi panik, seperti sedang kebakaran jengkot.
"Bagus, gak? Kalau bagus, aku upload sekarang."
"Posting aja, Lin!" seru Icha.
Randi berdecak sebal, sambil melirik Icha tajam.
"Posting, ya?" tanya Alin
"Terserah!" ucap Randi kesal, kemudian mematikan teleponnya.
Randi kembali ke ruangannya dengan wajah cemberut.
Icha langsung mengirimi Alin pesan memberitahukan kalau Randi sedang marah.
[Lakimu ngambek.]
[Bentar juga baik lagi.]
***
Hingga malam tiba, Randi tidak menghubungi Alin. Ternyata pacar posesifnya itu benar-benar marah.
Alin kembali memposting sebuah foto, kali ini foto Randi yang sedang serius menatap layar laptopnya. Alin menuliskan caption 'Kalau ngambek nanti aku ganti sama bule, Loh.'
Alin tersenyum setelah memposting itu. Dia yakin sebentar lagi pacarnya itu akan menelepon.
Benar saja, tidak sampai lima menit ponselnya berdering. Panggilan video dari Randi.
Alin tersenyum saat melihat wajah kesal Randi.
"Lagi di mana?" tanya Randi ketus.
"Kamar, tapi sebentar lagi mau keluar."
"Mau ke mana malam-malam gini?" Randi mengernyitkan dahinya.
"Jalan-jalan aja, siapa tau kecantol sama bule. Soalnya pacarku lagi ngambek, jadi aku mau cari yang baru," jawab Alin santai.
"Yang!" bentak Randi.
Alin tidak dapat menahan tawanya saat melihat telinga Randi yang sudah memerah, pertanda dia sedang menahan emosi.
"Ck, malah ketawa,"
"Masih ngambek?" tanya Alin setelah menghentikan tawanya.
"Harus banget ya, ke pantai pakai baju kayak gitu?"
"Ya ampun, Sayang. Masa aku harus pakai sweater."
Hati Randi berbunga-bunga, ini pertama kalinya Alin memanggilnya dengan sebutan 'sayang'.
"Tapi 'kan, nggak harus yang kelihatan paha sama bahu," protes Randi.
"Eh, tunggu dulu. Kamu nggak jalan pakai baju crop top tadi, kan?" selidiknya.
Alin terlihat ragu menjawab pertanyaan dari Randi. Karena, dia sempat keluar untuk mencari cemilan dengan pakaian seperti itu.
"Mmm ... aku tadi sempat keluar sebentar pakek baju itu, tapi dilapisi cardigan, kok," akunya.
Awalnya Alin hanya berniat untuk menggoda Randi, sekarang malah jadi bumerang buat dirinya sendiri.
"Astaga, Sayang. Kamu pamerin perut, paha, bahu ke orang lain. Aku aja belum pernah liat," gerutu Randi.
"Jadi, kalau kamu sudah liat, aku boleh pakai baju itu?"
"Nggak boleh juga. Harusnya cuma aku yang boleh lihat."
Alin hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah pacarnya yang posesif.
"Kapan pulang?" tanya Randi lembut.
"Pulang ke mana? Kalau ke Balikpapan, besok siang. Kalau ke Berau, mungkin empat hari lagi," jelas Alin.
"Lama. Aku sudah kangen."
"Cuti periodik kan memang 14 hari."
"Dari Bali langsung ke Berau aja, nggak usah mampir ke Balikpapan," desak Randi.
"Nggak bisa gitu, Sayang. Aku masih ada urusan di sana."
"Urusan apa? Berkunjung ke makan mantan kamu itu," ucap Randi sinis.
"Kamu bilang apa?"
Alin terkejut mendengar perkataan Randi. Seketika raut wajahnya berubah menjadi dingin, sorot matanya menyiratkan kekecewaan.
Alin memejamkan matanya, dan menarik napas panjang. Berharap gemuruh di dadanya akan berkurang.
"Sayang, Ak–"
"Sebelum menerimamu, bukankah aku sudah mengatakan jangan pernah mengungkit apapun tentang masa laluku." potong Alin.
Tidak ada bentakan, Alin mengatakan itu dengan suara lirih, tetapi mampu membuat lawan bicaranya terdiam.
"Yang, ak–"
"Aku perlu waktu untuk sendiri. Selamat malam," ucap Alin sebelum mematikan panggilannya.
Randi menyesali ucapannya. Dia mencoba menghubungi Alin lagi, tetapi nomer Alin tidak aktif.
Randi mengerang frustasi, mengutuk mulutnya yang selalu lepas kontrol ketika sedang cemburu.
***
Selama tiga hari ini, Randi terlihat tidak bersemangat, karena belum mendapatkan kabar apapun dari Alin.
Dia sudah berusaha menghubungi Alin, tetapi sang kekasih menutup semua akses komunikasinya
Keadaan Randi yang sedang kacau, diperparah dengan sikap ibunya yang memaksa untuk berkenalan dengan wanita pilihannya.
Beberapa hari lalu, Bu Wati memperkenalkan seorang wanita bernama Lisa.
Sepertinya Lisa tertarik pada Randi. Wanita 24 tahun itu, sering menelepon atau sekedar mengirimkan pesan, walaupun terkadang diabaikan oleh Randi.
Seperti malam ini, saat sampai dirumah selepas bekerja, Randi dikejutkan dengan kehadiran wanita itu.
"Ran," panggil Bu Wati saat Randi melewati mereka.
Randi menghentikan langkahnya, dan membalikkan badan.
"Kok nyelonong aja. Ini ada Lisa," ujar ibunya ramah.
Randi menautkan alisnya. "Hubungannya sama aku apa? Dia kan tamunya ibu."
Setelah memgatakan itu, Randi pun meninggalkan mereka.
Senyum diwajah Lisa sirna, setelah Randi mengabaikannya.
"Bentar, ya. Ibu nyusul Rando dulu."
Lisa mereson dengan senyuman dan mengangguk.
Bu Wati menyusul Randi ke kamarnya. Dia geram melihat sikap cuek putranya pada Lisa.
"Kamu apa-apaan sih, Ran? Lisa itu ke sini mau ngajak kamu makan malam."
Randi baru saja membuka bajunya, saat Bu Wati datang dan mengomelinya.
"Aku lagi malas keluar, Bu."
"Jangan gitu, dong. Kasian Lisa undah nungguin kamu dari tadi."
"Itu urusannya, aku nggak pernah minta dia buat nunggu." Randi berjalan menuju kamar mandi.
"Ran!" hardik ibunya.
Randi membalikkan badan, dan mendesis sambil berkacak pinggang.
"Dari awal aku sudah bilang, kalau aku nggak mau di jodohkan dengan siapapun! Aku sama sekali nggak tertarik dengan Lisa."
"Itu karena kamu belum kenal sama dia. Ibu yakin, kalau kamu sudah mengenalnya, kamu pasti jatuh cinta sama Lisa."
Randi mengacak rambutnya, kesal.
"Kenapa sih, Ibu terobsesi punya menantu seorang PNS?" tanya Randi.
"Dia bukan sekedar PNS, bapaknya salah satu pejabat penting. Kalau kamu nikah sama dia, itu bisa menaikan derajat kita," jelas ibunya.
Randi tertawa sinis, ternyata status sosial lebih penting untuk ibunya, daripada kebahagiaannya.
"Jadi hanya karena status sosial?" tanya Randi meremehkan. "Kalau begitu, Alin jaug lebih tinggi derajatnya, daripada Lisa ... karena Ayah Alin merupakan salah satu pengusaha mini market terbesar di Balikpapan."
"Jangan ngarang. Kalau memang orang tuanya sekaya itu, untuk apa dia kerja sebagai karyawan biasa?" tanya ibunya, tidak percaya dengan apa yang dikatakan putranya.
"Karena Alin berbeda. Dia tidak memanfaatkan kekayaan orang tuanya untuk berfoya-foya. Itu yang buat Randi cinta sama dia," tegas Randi.
"Ibu nggak mau tau, pokoknya malam ini kamu harus makan malam sama Lisa!"
Bu Wati keluar dari kamar Randi. Randi membanting pintu kamar mandinya. Masalahnya dengan Alin saja belum selesai, sekarang dianharus berhadapan dengan Lisa.
Lisa tersenyum saat melihat Randi sudah siap dengan pakaian kasualnya, sedangkan Randi hanya membalas senyuman itu dengan decakan.
"Nah, itu Randi sudah siap," kata Bu Dewi Ramah.
"Ayo!" ajak Randi, dengan ekspresi datarnya.
"Jalan dulu, Tante," pamit Lisa.
"Iya, hati-hati."
Randi berjalan mendahului Lisa. Sampai di samping mobil, Lisa menyerahkan kunci mobilnya pada Randi.
Randi mengernyitkan dahi melihat uluran kunci dari wanita itu.
"Kamu yang ngajak, berarti kamu yang nyetir." Randi masuk kedalam mobil.
Melihat itu, Bu Dewi menggerutu sendiri.
Dengan terpaksa Lisa menuruti Randi, dia memutari mobil dan duduk di belakang kemudi.
"Mau makan di mana, Mas," tanya Lisa lembut.
"Ck ... kamu yang ngajak, kenapa tanya aku." Randi membuang pandangannya keluar jendela.
Seperti inilah sikap Randi terhadap wanita-wanita pilihan ibunya. Sepertinya Lisa bukanlah wanita yang mudah untuk disingkirkan.
Lisa membawanya ke salah satu kafe. Tidak begitu ramai, karena ini bukan malam minggu.
Randi merasa risih, karena Lisa duduk di sampingnya.
"Kenapa nggak duduk di situ?" tanya Randi, sambil menaikkan dagunya menunjuk kursi yang ada hadapan mereka.
"Di sini aja, biar dekat sama kamu," jawab Lisa sembari merapatkan tubuhnya
Randi memutar bola matanya jengah. Kenapa sekarang banyak wanita uang banting harga.
***
Alin baru tiba di Berau, siang tadi. Dia sengaja tidak memberitahu siapapun tentang kepulangannya.
Malam ini dia berencana untuk makan di luar. Setelah berkeliling, akhirnya dia memutuskan untuk makan di kafe yang teletak di daerah tepian.
Setelah memarkirkan mobilnya, dia masuk ke kafe dan duduk di salah satu meja di dekat jendela.
Matanya menyisir setiap sudut kafe, pandangan Alin berhenti pada seorang pria yang duduk di sebuah ruangan yang hanya di batasi dengan kaca bening. Walaupun Alin hanya bisa melihat punggungnya, tetapi dia tahu siapa sosok itu.
Alin memicingkan matanya saat pria itu menoleh ke arah wanita yang duduk di sebelah kanannya.
Alin tersenyum sinis. 'Wah, sepertinya sang playboy sudah kembali," gumamnya.
Alin bangkit dari duduknya, dengan santai dia menghampiri sejoli itu.
"Selamat malam, Pak Randi," sapa Alin saat dia sudah berdiri di samping meja.
Dua sejoli itu menoleh saat mendengar suara Alin.
Lisa tersenyum pada Alin, sedang wajah Randi sudah memucat.
'Ya, Tuhan. Masalah apa lagi ini,' Randi membatin.