Penjelasan

1677 Kata
Saat di kafe, Randi tak mengacuhkan Lisa. Dia sibuk dengan ponselnya, mencoba menghubungi Alin. Seingatnya masa cuti Alin akan berakhir besok. Randi menarik tangannya yang dirangkul Lisa, risih dengan perilaku wanita di sampingnya. "Nggak usah rangkul-rangkul! Kita nggak punya hubungan apa-apa." Randi memperingatkan Lisa. "Tapi kita sudah dijodohkan, kamu harus terbiasa aku rangkul kayak tadi," ucap Lisa dengan percaya diri. Randi mendengus. "Dijodohkan?" Randi menyeringai. "Kita baru tahap perkenalan, dan aku nggak pernah setuju dijodohkan dengan siapapun!" ucap Randi tegas. "Selamat malam, Pak Randi," sela seseorang. Randi sangat mengenali suara dan aroma parfum ini. Mereka pun menoleh ke samping kanan. Mata Randi terbelalak, terkejut melihat sosok wanita yang berdiri di samping Lisa. "Alin," gumamnya lirih. Wajahnya berubah pucat, masalah kemarin saja belum selesai, sekarang Alin malah memergokinya sedang bersama wanita lain. "Dia siapa, Mas?" tanya Lisa. Dia menatap Alin penuh selidik, kemudian beralih memperhatikan Randi yang terlihat seperti orang ketahuan selingkuh oleh pasangannya. "Kenalkan, aku Alin, adminnya Pak Randi." Alin mengulurkan tangannya pada Lisa. "Lisa, tunangan Randi,"ucap Lisa bangga sembari menyambut uluran tangan Alin. Perkataan Lisa membuat Randi geram, dia menatap Lisa tajam, kemudian beralih menatap Alin yang terlihat biasa saja. Alin menanggapi ucapan Lisa dengan senyuman. Dia tidak terkejut apalagi marah. Sangat tenang untuk seseorang yang melihat kekasihnya berselingkuh. "Wah, Pak Randi pintar sekali memilih calon istri, cantik. Pasangan serasi," puji Alin sambil melirik Randi yang masih setia menatapnya. Sikap Alin ini, semakin membuat Randi gelisah. Alin memang bukan tipe gadis yang akan meledak-ledak ketika sedang marah. Dia hanya akan menunjukkan wajah datar dengan sorot mata tenang. Alin termasuk salah satu orang yang sulit di tebak. Dia sangat pandai mengontrol emosinya. "Sendiri?" tanya Lisa. "Eh, iya, Mbak." Lisa memperhatikan Randi yang terus menatap Alin, dia yakin pasti ada sesuatu diantara mereka. "Gabung sama kita aja," tawar Lisa ramah, sembari meragkul lengan Randi, dan bergelayut manja pada pundak pria yang masih diam membisu. "Makasih, Mbak, tapi aku harus segera pergi karena masih ada urusan," tolak Alin halus. 'Hebat sekali kau, Randi,' batin Alin. "Kalau gitu, aku duluan, Mba, Pak. Selamat menikmati kencannya. Jangan lupa undangan buat aku." Alin memperlihatkan senyum manisnya. Randi sangat menyukai senyuman Alin, tetapi tidak kali ini. Senyuman Alin seperti sebuah belati yang menancap tepat di dadanya. "Hati-hati," kata Lisa. Alin keluar dari ruangan itu menuju kasir untuk membayar makanan yang dia pesan. Alin menyerahkan selembar uang seratus ribuan pada seorang wanita yang duduk di meja kasir. "Makanannya mau dibungkus, Mbak? tawar kasir tersebut setelah menerima uang dari Alin. "Nggak usah, Mbak. Kembalian sama makanannya buat Mbak aja." Kasir tersebut langsung mendongak, menatap Alin yang sudah melangkah pergi. Alin bergegas masuk ke mobilnya. Dia ingin segera menjauh dari tempat ini. Alin meluapkan amarahnya di dalam mobil. Dia mengumpat dan memaki. Napasnya memburu, air mata pun tidak terbendung lagi. Baru saja dia mampu keluar dari kesedihannya, sekarang dia kembali terjebak di tempat yang sama. Cinta yang mulai tumbuh untuk Randi, harus mati karena pengkhianatan. Kecewa? Tentu saja Alin sangat kecewa. Apalagi Randi sama sekali tidak menampik pernyataan Lisa. Diamnya Randi, membuat Alin menyimpulkan, bahwa apa yang dikatakan Lisa adalah sebuah kebenaran. Alin memutuskan untuk menginap di hotel. Dia tidak mungkin pulang ke kosan, karena Randi pasti akan mencarinya. Alin sudah berada di sebuah kamar hotel, membaringkan diri pada kasur empuk. Matanya mengerjap berkali-kali, kemudian menghembuskan napas kasar. Hari ini bukan hanya tubuh Alin yang lelah, tetapi juga pikiran dan hatinya. Mata Alin hampir terpejam saat ponselnya berdering. "Mbak Darti? ... Ah, pasti Randi dari sana," gumamnya." Alin menjawab panggilan dari menantu pemilik kos-kosannya. "Ya, Mbak." "Kamu di mana, Al?" Mbak Dari memang memanggilku 'Al', lebih simple katanya. "Lagi jalan, kenapa?" "Tadi, Randi nyariin kamu, tapi Ibu bilang kamu lagi keluar." "Ini sudah hampir tengah malam, kenapa belum pulang?" tanya Mbak Darti. Keluarga dari pemilik kos, sudah dianggap Alin seperti keluarganya sendiri. mereka sangat dekat, terutama hubungan Alin dengan Mbak Darti. "Tolong kasih tau Ibu, malam ini Alin nginap di hotel. Alin lagi malas ketemu Mas Randi." "Oke. Hati-hati ya, Al." "Iya, Mbak." Alin memejamkan mata, dia sudah sangat lelah. *** 'Tok ... tok ... tok.' "Alin, Sayang buka pintunya!" Randi terus mengetuk pintu kamar Alin. "Sayang," panggil Randi. Randi mengamati halaman kosan Alin, Mobil Alin tidak ada di sana. Randi melangkah menuju rumah Pemilik kosan. "Bu, Alin sudah pulang belum, ya?" tanya Randi pada wanita paruh baya yang membukakan pintu untuknya. "Kayaknya belum, mobilnya aja nggak ada," jawabnya. "Emm ... kalau Alin pulang, tolong kasih tau saya nyariin dia, soalnya ponselnya nggak bisa dihubungi. Randi pulang dengan perasaan yang semakin kacau. Di mengeluarkan Hp dari saku jaketnya, mencoba mengirimkan pesan untuk Alin. Berharap Alin akan membalasnya. [Kamu di mana? Dengerin penjelasanku dulu.] Randi mengendarai motor sport-nya dengan kecepatan tinggi, tidak perduli dengan keselamatannya. *** "Sayang," panggil Randi, dicekalnya pergelangan tangan Alin Alin memejamkan matanya sejenak sebelum membalikkan badan. Sebenarnya dia enggan bertatap muka dengan pria yang mengkhianatinya. "Dengerin penjelasanku," ucap Randi penuh permohonan. Alin tersenyum, melepaskan tangannya yang dicekal. "Maaf, tapi aku harus induksi." Alin berlalu memasuki ruang meeting untuk mengikuti induksi, salah satu prosedur yang wajib dilakukan setelah cuti atau meninggalkan lokasi tambang lebih dari empat hari. Setelah mengikuti induksi dari pihak Safety dan HRD, Alin harus menghadap pada atasannya, dan sialnya hanya ada Randi di ruangan itu. Randi yang sedang fokus pada laptopnya mendongak setelah mendapat uluran sebuah kertas dari Alin. "Tolong di tandatangani, Pak," ucap Alin dengan bahasa formal Randi menerima kertas itu, menuliskan sesuatu dan menandatanganinya. Dia menatap Alin yang duduk di hadapannya. "Yang, tolong dengerin penjelasanku," pinta Randi. "Profesional. Kita sedang berada di lingkungan kerja, rasanya kurang pantas jika membahas masalah pribadi," ucap Alin datar. "Oke." Randi menjalankan tugasnya, menjelaskan perubahan data apa saja yang terjadi selama Alin cuti. "Lin, kita perlu bicara," ucap Randi setelah dia selesai menginduksi Alin. "Makasih, Pak. Saya permisi." Alin mengabaikan ucapan Randi, dan keluar dari ruangan. Setelah selesai dengan segala urusan administrasi yang sedikit ribet, Alin mendudukan diri di kursi kerjanya. "Lin, kamu ada masalah sama Mas Randi?" tanya Icha setengah berbisik. " Nggak, kok. kenapa?" "Mukanya Mas Randi kok keliatannya kusut banget." "Lagi banyak kerjaan kali." "O ... bisa jadi." Icha kembali mengerjakan pekerjaannya. *** Alin menyerahkan beberapa berkas yang harus di tandatangani oleh Planner, kebetulan hanya ada Randi di ruangan itu. Randi menahan Alin yang hendak keluar ruangan. "Kita perlu bicara," ujarnya. "Mau bicara apa?" tanya Alin "Tolong dengerin penjelasanku." Randi mendudukkan Alin di depannya. "Lisa bukan tunanganku. Kami nggak punya hubungan apa-apa, dia hanya perempuan pilihan ibu," jelas Randi. "Lalu?" tanya Alin dengan alis bertaut. Randi menatap Alin. Rindunya sudah membuncah, seharusnya dia bisa memeluk bahkan memagut bibir manis yang menjadi candunya itu. "Ibu memang berencana menjodohkanku dengan dia, tetapi aku menolaknya karena aku sudah punya kamu." "Menolak? Kalau menolak, kenapa kamu diam saja waktu dia memperkenalkan diri sebagai tunanganmu?" Tidak ada teriakan atau bentakan, Alin mengucapkannya dengan suara datar, tetapi cukup untuk membungkam mulut Randi. Randi merutuki kebodohannya. Saking terkejutnya dengan kehadiran Alin waktu itu, dia sampai tidak bisa berbicara. Lidahnya seperti tertarik ke dalam. "Sejak kapan?" Alin bertanya, matanya menatap lurus pada mata Randi. "Ibu mengenalkan kami sehari setelah kamu pergi." "Sejauh mana?" "Kami nggak punya hubungan apa-apa, Yang. Aku hanya menuruti permintaan Ibu, termasuk makan malam waktu itu," jelas Randi. Alin terkekeh. "Jadi semua karena ibumu?" "Iya, aku tidak mungkin membatahnya." Randi menundukkan kepala. "Termasuk jika beliau memintamu menikahi wanita itu?" Randi mendongak, menatap Alin. Dia tidak mampu menjawab pertanyaan Alin. Dia begitu mencintai Alin, tetapi dia juga tidak mampu membantah sang Ibu. Alin tertawa. Dia merasa bodoh karena berfikir Randi akan memperjuangkannya. "Oke, berarti semuanya sudah selesai, nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi." Alin keluar dari ruangan Randi. Dadanya terasa sesak, sepeeti ada bongkahan batu yang mengganjal. Namun, dia berusaha bersikap biasa dan tidak menunjukkan kesedihannya. Randi menatap kepergian Alin sampai pintu ruangan itu tertutup. Dia mengusap wajahnya kasar, baru pertamakali merasakan indahnya jatuh cinta, sekarang harus kandas karena ketidakmampuannya menolak keinginan sang ibu. *** "Lin, sebenarnya kita mau makan di mana, sih? Dari tadi muter-muter nggak jelas," protes Icha. Mereka sudah mengelilingi pusat kota sebanyak tiga kali. "Bawel!" Alin membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan yang terkenal demgan ayam kremes-nya. "Makan di sini?" tanya Icha sambil membuka seat belt-nya. "Mau nggak?" Alin mengurungkan niatnya untuk membuka pintu. Menunggu persetujuan dari sahabat bawelnya ini. "Sembarang aja, cacing di perut sudah demo." "Kak Alin!" seru seorang gadis saat mereka baru saja keluar dari mobil. Alin menoleh ke samping kanannya, kemudian mendengus saat melihat orang yang menyapanya. Kenapa dia harus bertemu dengan mereka di sini? Gadis itu menghampiri Alin, dengan beberapa orang di belakangnya. "Seneng banget ketemu sama kakak di sini," ucap Rena sambil memeluk Alin. "Hai Kak," sapanya pada Icha. Icha memperhatikan orang-orang yang ada di belakang Rena. Terlihat Randi, ibunya dan seorang wanita yang menggandeng tangan Randi. Icha menatap Alin yang masih dipeluk Rena, seolah meminta penjelasan. Alin hanya mengedipkan matanya. "Hai, Lin. Ketemu lagi," sapa wanita yang menggandeng tangan Randi. "Kak Lisa, kenal sama Kak Alin?" tanya Rena yang masih merangkul pinggang Alin manja. "Kenal, pernah ketemu di kafe waktu makan malam sama Mas Randi," jelas Lisa. Rena menatap kakaknya, kemudian mendongak menatap Alin. Alin hanya tersenyum dan mengelus punggung Rena. "Kenalin, ini Icha," ucap Alin memperkenalkan Icha pada Lisa. Icha dan Lisa saling berjabat tangan. "O, Iya, kenalin ini Tante Wati, ibunya Mas Randi," ujar Lisa. Alin menjabat tangan wanita paruh baya itu. "Alina," ujar Alin sambil tersenyum. Bu Wati memperhatikan Alin dari ujung Rambut sampai ujung kaki. 'Sepertinya bukan gadis biasa,' batin Bu Wati. "Mobil kamu?" tanya Bu Wati sambil menunjuk mobil hitam di samping Alin. "Iya, Tante." Icha terus menatap Randi yang sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia kecewa, bukankah pria itu sudah berjanji untuk tidak menyakiti sahabatnya. "Berdua aja 'kan?" tanya Lisa. Alin dan Icha hanya mengangguk. "Gabung sama kita aja, biar rame. Nggak papa 'kan, Tante?" Lisa meminta persetujuan dari Bu Wati. "Nggak papa," jawabnya singkat, matanya tidak lepas dari Alin. Randi, Lisa dan Bu Wati berjalan di depan, sedangkan Alin, Icha dan Rena membuntuti di belakang mereka. "Kamu utang penjelasan sama aku," bisik Icha.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN