Alina Salsabila
“MAMAAAAAAH,” teriakan Alin saat memanggil mamanya terdengar hingga kesegala penjuru rumah. Sontak saja hal ini membuat seluruh penghuni rumah itu kaget. Mereka semua tergopoh menuju ruang tamu, di mana terikan alin berasal.
“Ada apa sih, Dek! Teriak-teriak kayak tarzan aja. Mama sampai panik tau nggak, kirain kamu kenapa-kenapa,” ucap Bu Dewi dengan nafas yang masih tersengal akibat berlari dari dapur. Dia pikir anak gadisnya yang ajaib ini kembali terluka akibat hobi bermain skateboard.
“Tau nih si Alin teriak-teriak kayak di hutan aja,” kali ini Andre, kakak Alin yang melayangkan protes, sambil mendudukkan diri di sofa bersama orang tua dan istrinya.
“Mah, Alin diterima kerja di perusahaan batu bara,” kata Alin sambil memeluk mamanya.
“HAH!” Mama, Papa, Kak Andre, dan Mbak Sarah berseru dengan kompak. Mereka sangat terkejut dengan apa yang barusan mereka dengar. Pasalnya, mereka tidak tahu-menahu tentang hal ini.
“Jangan ngarang, mana ada perusahaan mau nerima cewek modelan kayak kamu,” ledek Andre.
“Mah .., liat nih kak Andre ledekin aku terus,” rengek Alin pada sang Mama.
Alin memang sedikit tomboy, hobi bermain skateboard, penampilan yang jauh dari kata feminin seperti anak gadis seusianya. Dia lebih nyaman menggunakan celana jeans, kaos oblong dan sneakers, jangan lupa rambut sebahu yang selalu dikuncir kuda. Meskipun perangainya jauh dari kata anggun, tetapi jika sedang berada di rumah, Alin tetaplah seorang tuan putri yang dimanja keluarga.
“Ndre, sehari aja nggak ganggu adik kamu, bisakan?” pinta Mamanya
“Nggak bisa mah, gangguin Alin itu udah jadi hobi Andre yang mendarah daging.”
“ Yang, kasian Alin kamu ledekin terus,” bela Sarah sambil mengelug perut buncitnya.
Andre ikut mengelus perut sang istri, “Amit-amit, semoga kamu nggak niru kelakuan Tantemu ya, Dek,” ucapnya sambil mendekatkan kepalanya pada perut Sarah.
“Semoga, mirip,” sahut Alin.
Pak Rudi, hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku anak-anaknya. Anaknya hanya dua orang, tapi dia merasa rumahnya seperti taman kanak-kanak, selalu ramai dengan ulah Andre dan Alin.
Suasana seperti ini yang membuat Pak Rudi meminta Andre dan Sarah untuk tetap tinggal di rumahnya setelah menikah.
“Sekarang Alin cerita dulu, bagaimana bisa Alin diterima di perusahaan. Kapan Alin masukin lamaran? Kok papa nggak tau,” tanya Papah Alin menuntut penjelasan putrinya.
“Jadi gini, Pa, Alin waktu itu ngantar teman ke Disnaker buat liat-liat lowongan pekerjaan. Terus teman Alin mau masukin CV-nya ke salah satu perusahaan batu bara. Karena penasaran, Alin juga coba-coba ikutan masukin CV. Nggak taunya malah Alin yang diterima,” Jelas Alin.
“Memangnya kamu masukin di perusahaan mana?” Kali ini Mamanya yang bertanya.
“Di PT BARA MAKMUR, Mah. Di sini ada kantornya, tapi Alin ditempatkan di ..., emm ....” Alin tampak ragu menyebutkan lokasi penempatannya.
“Dimana?” tanya Mama Alin penasaran.
“Di Berau, Ma,” jawab Alin dengan suara lirih.
Hening, tidak ada yang bersuara. Semua orang masih syok dengan apa yang dikatakan Alin. Pak Rudi memijat pelipisnya, Andre terdiam dengan mulut yang sedikit terbuka, Sarah menghentikan elusan pada perut buncitnya, sedangkan mata Bu Dewi sudah mulai berkaca-kaca.
“Boleh ya, Pa, Ma? Alin memohon.
“Nggak! Mama nggak ijinin kamu kesana. Itu jauh banget, Dek. Kita nggak punya keluarga di sana. Siapa yang mau jagain kamu? Kurang apa sih dek kamu di sini? Uang bulanan kamu kurang, Mama tambahin, tapi nggak usah pergi jauh-jauh, di sini aja.”
“Alin pengen kerja, Ma. Alin juga pengen dapat uang dari hasil kerja keras Alin sendiri.”
“Kalau kamu mau kerja, kamu bisa bantu mama di toko kue Mama, atau di mini market Papa. Nggak perlu jauh-jauh pergi ke kampung orang.”
“Pa, boleh ya,” kali ini Alin merengek pada Papanya.
“Nggak, Lin, Papa juga nggak ijinin kamu pergi,” tolak Papanya.
“Pa, Alin cuma mau belajar mandiri. Alin juga pengen bisa beli sesuatu pakai uang yang Alin hasilkan sendiri. Kalau Alin kerja di toko Mama atau Papa, itu sama aja Alin nggak kerja. Alin pengen ngerasain jadi karyawan biasa, yang kerjanya di bawah telunjuk atasan. Jadi, kalau nanti Alin sudah siap buat ngurus usaha mama, Alin bisa perlakukan karyawan Alin dengan baik,” jelas Alin.
“Boleh ya, Ma. Alin janji nggak macam-macam. Alin pasti bisa jaga diri,” kata Alin sambil memeluk Mamanya.
“Kamu anak perempuan, sayang. Mama nggak akan tenang kalau kamu jauh dari Mama.” Air mata Bu Dewi kembali menetes.
“Kalian Cuma perlu percaya dan doain Alin. Alin pasti jaga diri, Alin nggak akan melakukan hal yang bikin keluarga malu. Lagian jaraknya nggak terlalu jauh kok, kalau naik pesawat palingan nggak sampai 1 jam.”
“Nanti kita bicarakan lagi. Sekarang kamu istirahat dulu,” perintah Pak Rudi, kemudian beliau beranjak dari ruang tamu menuju kamarnya.
Makan malam keluarga Alin kali ini tidak seperti biasanya. Mereka fokus pada makanan masing-masing. Belum ada keputusan apapun dari orang tua Alin. Orang tua Alin perlu membicarakan masalah ini dengan serius, Alin adalah anak perempuan terlalu beresiko jika membiarkannya merantau tanpa pengawasan secara langsung.
Orang tua Alin tidak mungkin mengikuti Alin untuk pindah, ada usaha yang harus mereka urus. Mengandalkan Andre juga tidak mungkin, mengingat kandungan Sarah yang sudah memasuki bulan kedelapan.
“Pa, gimana?” tanya Alin memcah keheningan di meja makan.
“Papa belum bisa ngasih keputusan, Dek. Papa harus diskusi sama Mama,” jawab Papa Alin.
“Tapi lusa Alin sudah harus tanda tangan kontrak.”
“Besok pagi ya, Dek. Malam ini Papa pikirin dulu.”
“Alin harap Mama sama Papa ngijinin Alin.”
Suasana kembali hening sampai makan malam selesai. Jika biasanya setelah makan malam mereka akan bersantai bersama sambil berbagi cerita, tetapi malam ini mereka langsung masuk ke kamar masing-masing.
Alin membuka laptopnya, dia harus mencari tahu segala sesuatu tentang kota itu. Mulai dari makanan khas, tempat nongkrong, dan lokasi tempatnya bekerja. Dia dibuat terkejut dengan salah satu tulisan pada salah satu blog yang dia baca, ternyata di Berau nyaris tidak ada angkot, dan aplikasi transprtasi online pun belum ada.
“Gimana aku mau jalan buat cari tempat tinggal kalau di sana nggak ada angkot? Masa iya aku langsung beli kendaraan, bisa-bisa aku nyasar,” Alin bermonolog.
Alin membuka akun media sosialnya, dan mencari akun komunitas warga Berau. Alin membuka akun salah satu grup jual beli, dia mengirimkan permintaan untuk bergabung. Di akun jual beli tersebut Alin bertanya tentang alat transportasi dan lokasi kost-an untuk wanita yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan terminal bus karyawan. Tak perlu menunggu lama, dalam waktu singkat ada banyak balasan yang memberikan rekomendasi. Alin mencatat nomer kontak beberapa taksi online dan alamat kostan yang direkomendasikan oleh anggota grup tersebut.
Saat sedang asik dengan kegiatannya, pintu kamarnya diketuk seseorang.
“Dek, boleh kakak masuk?” suara Kak Andre.
“Masuk aja kak, nggak Alin kunci,” sahut Alin.
Andre masuk dan duduk di ranjang adiknya.
“Dek, kamu yakin mau nerima kerjaan itu? Kamu yakin mampu hidup sendiri? Di sana kita nggak punya keluarga loh, Dek,” tanya Andre.
“Alin yakin, Kak. Alin sudah mantap dengan keputusan Alin.”
“Di sana kamu mau tinggal di mana? kamu mau tinggal di mess karyawan?”
“Nggaklah, Kak. Alin sudah cari-cari informasi tempat tinggal di sana. Alin pilih nge-kost aja kak. Alin juga sudah dapat beberapa rekomendasi lokasi kost-an untuk cewek yang deket sama terminal bus karyawan.”
“Kakak sama Kak Sarah juga sudah nyari beberapa informasi dari teman-teman kuliah Kami, menurut informasi dari beberapa teman, angukatan umum di sana langka. Ada sih, tapi mayoritas sudah dikontrak sama perusahaan buat transportasi antar jemput karyawan.” Andre menjeda ucapanya, dipandanginya sang Adik, rasanya berat jika harus melepaskan Adiknya untuk merantau. Namun, dia bisa melihat keyakinan pada diri Alin.
“Kebetulan ada temen kuliah Kak Sarah yang tinggal disana, dia punya usaha taksi online, jadi Kak Sarah minta tolong sama dia buat jemput kamu dibandara dan bantu kamu buat cari tempat tinggal. Cuma ini yang bisa kami lakukan buat bantu kamu. Sebenernya Kakak pengen banget ngantar kamu kesana, tapi kamu tau sendiri Kak Sarah lagi hamil jadi nggak mungkin Kakak tinggal,” lanjutnya.
Walaupun sering bertengkar tapi Andre sangat menyayangi Alin. Sejak mengetahui keinginan sang Adik untuk bekerja di luar kota, dia sibuk mencari berbagai informasi yang bisa membantu adiknya. Dia dan istrinya menghubungi teman-teman sekolah dan kuliah mereka. Untung saja ada salah satu teman kuliah sang istri yang menetap di kota itu. Mereka meminta bantuan untuk dicarikan alat transportasi dan tempat tinggal untuk Alin.
Sebenarnya Andre tidak yakin jika Alin akan mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya, mengingat Alin adalah anak bungsu yang dimanja. Ijin untuk liburan saja susah didapat oleh Adiknya, apalagi sampai menetap di kota orang tanpa pengawasan langsung dari mereka. Andre hanya berjaga-jaga saja, Siapa tau Orang tuanya tiba-tiba berubah pikiran.
“Makasih ya Kak.” Alin memeluk Kakaknya, Alin terharu dengan apa yang dilakukan Kakak dan Kakak iparnya.
“Ini pasti berat banget buat Mama sama Papa, kamu tau gimana posesifnya mereka. Kamu mau liburan aja susah dapat ijin, apalagi sampai tinggal di kota orang tanpa pengawasan mereka. Apapun keputusan Papa nanti kamu harus terima, jangan membantah. Kalau seandainya Papa sama Mama ijinin kamu buat kerja di sana, tolong jaga kepercayaan yang sudah mereka kasih, jangan aneh-aneh di kota orang, jaga diri baik-baik, jangan terjerumus sama hal-hal yang nggak baik, dan yang paling penting jangan temakan gombalan buaya darat,” pesan Andre untuk Adik tersayangnya.
“Pasti, Kak, Alin janji nggak akan macem-macem, Alin pasti jaga diri, Alin nggak akan bikin malu keluarga. Makasih ya, Kak, sudah bantuin Alin,” ucap Alin sambil terisak.
“Ya elah, dia nangis. Gimana mau tinggal jauh dari keluarga kalau masih cengeng gini,” ledek Andre. Sebenarnya dia juga ingin menangis, tapi dia berusaha menahan agar air matanya tidak menetes. Kalau sampai ketauan Alin, bisa gawat. Dia akan jadi bahan bully-an sang Adik.
“Ihh ..., Alinkan terharu kak,” ucap Alin sambil mencubit pinggang Andre.
“Doain semoga Papa ngasih ijin ya, kak.”