Ada hal mendadak yang membuat Reyhan harus meninggalkan pertemuan lebih awal. Rekan bisnisnya ingin melakukan pertemuan virtual meski Reyhan ingin mengantar Dinda pulang. Ia yakin jika mereka sering berinteraksi, lama ke lamaan Dinda akan luluh dengan permintaan ibunya. Ia tak sabar mempersunting karyawannya itu.
" Din, aku tidak bisa mengantarkan kamu pulang, nanti aku pesankan taksi ya " ucap Reyhan sebelum pergi meninggalkan pertemuan. Jodi menghampiri mereka.
" Dinda akan pulang denganku " kata Jo tegas. Reyhan memandang adiknya, bibirnya mengungkai senyum tapi sorot matanya mengatakan ia tak suka ucapan Jo.
" Baik, aku pergi dulu " ucap Reyhan sambil menepuk bahu Jo berkali kali. Jodi menepis tangan abangnya, Dinda salah tingkah dinatara kakak beradik itu. Tatapan mereka menandakan kalau seteru itu baru dimulai. Isyarat mata Reyhan mengatakan ia tak akan mengalah pada adiknya, begitupun sang adik tak ingin miliknya direbut abangnya.
Malam itu Dinda memang pulang diantarkan Jodi, tapi bukan ke rumah kontrakan Dinda melainkan ke rumah Maudy. Jodi beralasan, ada keterangan yang harus Dinda dengar tentang kesehatannya.
Maudy mempersilahkan dua teman akrabnya itu duduk di teras rumah. Kebetulan di luar langit langit sedang dipenuhi bintang.
" Din " Panggil dokter sneior itu sambil memandang adik juniornya yang memandang langit malam. Maudy menghela nafas panjang, ia harus memenuhi permintaan juniornya agar Dinda tak mengingkari perasaannya lagi.
" Aku tahu Dy, makin buruk kan ? " tebak Dinda. Ia sudah memperkirakan, stadium kanker itu meningkat.
" Bukan itu yang ingin ku bicarakan " bantah Maudy. Ia menggenggam tangan Dinda, sementara Jodi beranjak dari tempat duduknya. ia memasukkan tangan ke saku celana sambil mencari posisi di belakang Dinda.
" Sekarang, katakan bagaimana perasaanmu pada Jodi ? " Dinda memandang laki laki di belakangnya yang juga memandangnya penuh arti.
" Jujur Din, sampai kapan kamu lari dari kenyataan. Jodi bersedia menerima apapun masalah yang kamu hadapi. Mungkin karena itulah kalian dipertemukan kembali " todong Maudy dengan wajah serius. Dinda gelagapan, ia menunduk dalam.
" Jujur kamu masih cinta sama Jodi ? " tanya Maudy sekali lagi. Dinda masih tertunduk. ia meremas ujung bajunya. Ia sama sekali tak mau membuka suara itu, meski hatinya ingin berkata ya.
Dinda merasakan tiga buah jari mengangkat dagunya. Ia kira itu jari Maudy tapi ia salah ketika melihat sepasang mata yang menatapnya teduh.
" Hmmm..? " tanya sebuah suara yang membuat darah Dinda berdesir. Laki laki yang ia cintai berada di depan matanya.
Dinda kembali menghela nafas, matanya sudah berkaca kaca.
" Jangan sembunyikan cinta itu lagi, percayalah padaku Din, akan aku lakukan apapun agar kamu bisa bertahan hidup " ucap Jodi sungguh sungguh. Ia meraih tangan Dinda. Dinda merasa ia tersudut. Tak ada alasannya untuk mengatakan tidak. Ia membalas tatapan laki-laki yang sudah menemani menjalani hari harinya saat pertama kali menjejaki karir seraya mengangguk.
" Ya.., aku terima lamaranmu "
Senyum haru terbit di bibir dokter muda itu, ia mengusap kepala Dinda penuh sayang.
" Thank You "
" Eiiit " Maudy menghalangi juniornya itu ketika menggeser kursinya agar berdekatan dengan Dinda. Dua insan sedang mabuk cinta itu belum bisa melewati batas selain pegang tangan.
" Belum halal " tegur Maudy ketika Jodi hendak meraih tengkuk Dinda. Jodi kontan berdiri dan mengusap wajahnya yang memerah.
" Kita akan menemui mama, bang Rey harus terima kenyataan ini. Kami milikku Din " ucap dokter muda itu sambil meraih jaketnya.
Keesokannya Jodi menjemput Dinda di rumah Maudy, kesepakatan mereka semalam membuat dokter itu bersemangat menjalani hari harinya. Inilah yang ia tunggu selama ini, kesediaan kekasih menerima lamarannya. Meski terpaut usia cukup jauh. Baginya Dinda adalah gadis kecil yang harus ia lindungi.
Sepasang mata dari kejauhan mengamati prilaku dua orang yang saling melempar senyum itu. Ia mengeram kesal. Dengan tergesa ia melajukan sepeda motornya meninggalkan perumahan yang semalam ia cari tahu dari temannya. Hermita, sejak semalam terus menghubungi dokter Jodi namun laki-laki itu tak kunjung mengangkatnya. Ia pun melacak keberadaan dua orang yang ia curigai sedang berada di tempat yang sama. Tidak salah lagi, kakaknya dan dokter Jodi berada di sebuah perumahan.
Reyhan yang baru sampai di kantor terkejut ketika adiknya membukakan pintu mobil untuk seorang perempuan yang semalam ada dalam pikirannya. Ia mulai mencurigai sesuatu, ada sesuatu yang disembunyikan adiknya dan mantan karyawannya. Mereka terlihat bukan sekedar teman biasa, junior dan senior. Ia melihat lambaian tangan adiknya dengan senyum terukir dibibir. Hati Reyhan serasa ditikam. Tapi sebagai pimpinan yang terkenal bijak sana, ia tak mungkin bersikap impulsif di depan kantornya.
" Pagi Din " sapanya ketika Dinda memasuki lobi. Dinda menoleh seraya mengungkai senyum canggung.
" Pagi pak "
" Berkas berkas kontraknya sudah saya siapkan "
" Langsung di kantor saya " titah Reyhan seraya mendahului Dinda. Dinda menatap punggung tegap itu, sorot mata yang ia lihat tadi mengisyaratkan sesuatu yang membuatnya tertuduh jadi orang yang telah berbuat salah.
Dinda masuk lift bersama karyawan lainnya, ketika pintu hendak menutup sebuah tangan menghambatnya. Semua karyawan saling menatap, mereka terkejut ketika CEO perusahaan mereka mau masuk lift karyawan bukan lift khusus pimpinan. Ia mengambil tempat di samping Dinda. Sikapnya yang dingin membuat karyawan yang ada di lift merasa terintimidasi termasuk Dinda. Sikap ini yang biasa ia terima ketika masih menadi karyawan Reyhan.
Dinda mengikuti langkah Reyhan. Hari ini sesuai janjinya, ia akan menyelesaikan draft kontrak antara perusahaannya dan perusahaan Reyhan. CEO itu hanya menjawab sapaan karyawannya dengan anggukan. Sekretarisnya menyambutnya dengan senyum manis, ia memindai Dinda yang berjalan di samping bosnya. Dinda mengangguk hormat pada wanita dalam balutan blazer peach itu.
Reyhan masuk setelah sekretaris cantik itu membukakan pintu.
" Bapak mau dibuatkan kopi ? " tanya sang sekretaris hati hati. Sikap dingin Reyhan membuat karyawan selalu bertingkah gugup jika berhadapan dengannya. Hal itu juga pernah dihadapi Dinda.
" Kamu bisa buatkan saya kopi ? " Reyhan mengarahkan pandangannya pada wanita yang ada di depannya. Dinda terpana, ia menunjuk dirinya.
" Iya kamu " tegas Reyhan. Ia mengibas tangannya agar sekretarisnya keluar.
" Baik " jawab Dinda sambil berdiri. Ia merapikan jilbab dan blazernya.
" Kamu bisa tanya dimana pantry sama sekretaris saya "
Dinda mengangguk lalu keluar dengan perasaan campur aduk. Ia tahu CEO itu sedang kesal padanya, pasti ia melihat Jodi mengantarnya ke kantor. Bagaimanapun ia harus jujur pada hatinya kalau dokter muda itulah yang memenang hatinya sejak dulu. Meski laki-laki itu auh lebih muda darinya bagi Dinda, Jodi adalah laki-laki yang telah menjadi sandaran kerapuhannya. Di depan Jodi ia bisa menangis, ia bukanlah wanita mandiri seperti dilihat banyak orang.
Sekretaris itu tidak hanya menunjukan dimana pantry, ia langsung menuntu Dinda kesana sambil mengajari Dinda kopi seperti apa yang disukai bosnya.
" Gulanya satu setengah sendok, kopinya harus diaduk rata "
Dinda berhenti mengaduk dan menatap tak senang wanita di sampingnya.
" Saya sudah tahu mbak, sebelum mbak jadi sekretarisnya saya dua tahun mendampinginya " ketus Dinda. Wanita itu ngacir pergi dengan hentakan kaki.