Meskipun firasatnya buruk dan benaknya menyimpan banyak pertanyaan, Alin tetap berjalan mengikuti pria itu. Pria tinggi dengan badan yang atletis. Sangat manly. Dilihat dari arah belakang saja, tampak sangat nyaman untuk dipeluk, tapi jika mengingat betapa judesnya pria itu, Alin kembali tersadar dari lamunan gilanya.
Tunggu, sebenarnya ke mana Dewi? Bisa-bisanya Alin disambut oleh pria asing yang tidak ada ramah-ramahnya begini. Ya, sekalipun misalnya pria ini merupakan adik Dewi, tetap saja bagi Alin sangatlah asing. Parahnya lagi, Rio tidak bilang apa-apa tentang ada orang lain yang juga tinggal di sini.
Di ruang tamu, tampak ada seorang wanita yang jika Alin tebak sepertinya berusia akhir dua puluhan. Wanita itu memakai rok mini berwarna hitam, juga kemeja putih yang sedikit transparan dengan dua kancing atas terbuka.
Tunggu, apa-apaan ini? Mungkinkah rumah ini dijadikan tempat berkumpulnya orang omes selagi Rio dan Dewi tidak ada? Jika iya, benar-benar parah. Alin harus melaporkan ini nanti.
"Wah, Sona ... tadi pergi sendirian, bisa-bisanya pulang jadi berdua begini," kata wanita seksi itu seolah mereka sudah sangat akrab. "Nemu cewek di mana nih?" kekehnya kemudian.
"Jadi namanya Sona," batin Alin.
Sona tidak menjawab, pria itu malah mengambil dua kaleng minuman yang baru saja dibelinya, lalu meletakkannya di meja. Setelah itu, ia menyerahkan kantong belanjaannya pada Alin. "Simpan di kulkas."
Jujur saja Alin tercengang. Ia bahkan baru saja tiba, alih-alih disambut atau disuguhkan minuman, atau minimalnya ditunjukkan letak kamarnya agar bisa beristirahat, Alin justru disuruh melakukan sesuatu.
Tunggu, kenapa Alin tidak kepikiran sampai sini sebelumnya? Mengingat hubungan antara dirinya dengan Dewi yang kurang baik, seharusnya Alin curiga sejak awal kenapa Dewi menyetujui dirinya tinggal di rumah ini. Ya, mungkinkah secara tidak langsung ia akan dijadikan pembantu oleh Dewi?
"Malah ngelamun, sana ke dapur!" kata Sona lagi, judesnya masih konsisten.
"Eh, iya." Bodohnya, kenapa Alin mau-mau saja. Sekarang, ia sedang berjalan ke arah yang Sona tunjuk sebelumnya.
Di dapur, Alin langsung membuka kulkas dan memasukkan minuman dan camilan yang ada dalam kantong belanjaan. Alin semakin berfirasat buruk, mungkinkah ia akan dibuat tidak betah sehingga diperlakukan seperti pembantu di sini?
"Astaga. Nyusun minuman aja lama banget."
"Eh?" Alin agak terkejut, secepatnya ia menyelesaikan apa yang dilakukannya. Setelah itu, ia menutup kulkas dan menoleh pada Sona. Bersiap mendengarkan jika pria itu hendak menunjukkan letak kamarnya.
"Newbie ya?" tanya Sona yang membuat Alin mengernyit.
Sona lalu menunjuk bak cuci piring. "Lo nggak lihat itu?"
Tentu saja Alin terkejut. "Aku? Cuci piring?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Pakai nanya segala. Harusnya lo ngertilah apa dulu yang harus dikerjain. Lihat itu bak cuci piring hampir penuh."
"Hah? Gimana, gimana?" Alin masih belum bisa mencerna ucapan Sona sepenuhnya. "Oke, aku tahu cucian piring numpuk banget, tapi serius ... kenapa aku yang harus nyuci itu semua?"
"Astaga, tel-mi banget! Terus lo ke sini ngapain kalau bukan buat itu?"
Alin berusaha berpikir keras, sepertinya dugaannya benar bahwa Dewi pasti sengaja membiarkan dirinya tinggal di sini untuk dijadikan pembantu.
Sial, sial, sial! Belum ada sepuluh menit berada di sini, Alin serasa ingin kabur. Dewi pasti sengaja tidak menemuinya dan sengaja membiarkan Sona yang mengerjainya!
Sekarang, Alin memperhatikan bak cuci yang begitu menumpuk piring dan gelas kotor, seolah penghuni rumah ini sengaja tidak mencucinya berhari-hari. Ini benar-benar sambutan yang kejam menurutnya.
"Mbak Dewinya ke mana, sih?" tanya Alin, tapi tidak ada tanggapan karena saat menoleh, rupanya Sona sudah tidak ada di sana. Sial.
Apakah Alin akan melakukan yang Sona perintahkan? Tentu tidak. Alin lebih baik menunggu sampai Rio pulang dan mempertanyakan kenapa ia harus melakukan semua ini.
Menurut Alin, menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah saat dirinya bahkan baru saja tiba setelah berjam-jam perjalanan dari rumah ke sini adalah hal yang sangat tidak masuk akal untuk ukuran sebuah keluarga.
"Oke, aku memang pengen mandiri, tapi nggak gini-gini juga dong!" keluh Alin seraya kembali ke ruang tamu, tidak ada Sona dan wanita tadi. Pintu ruang tamu pun sudah dalam keadaan tertutup. Entahlah, Alin rasa mereka pergi atau mungkin ... sedang bermesraan di kamar?
Alin akhirnya memilih duduk di sofa, ternyata di meja masih terdapat dua kaleng minuman yang satunya masih utuh. Alin yang memang merasa haus, langsung membuka kaleng yang masih utuh itu. Setelah minum seteguk, Alin meletakkannya kembali di meja.
Mengambil ponselnya dalam tas, Alin harus mengabari orangtuanya kalau dirinya sudah sampai dengan selamat. Sepertinya ia juga harus mengabari Rio agar kakaknya itu tidak mampir ke mana-mana dulu jika sudah selesai bekerja. Rio harus melihat bahwa adik satu-satunya diperlakukan seperti ini.
Namun, belum sempat melakukannya, tiba-tiba Alin dikejutkan dengan pintu ruang tamu yang dibuka dari luar. Seorang pria dengan pakaian rapi, bahkan memakai jas, tampak berdiri di ambang pintu.
Pria itu agak mirip dengan Sona, sama-sama tampan dan tinggi. Bedanya pria ini lebih dewasa. Mungkinkah mereka bersaudara?
Tentu saja Alin juga terkejut. Kenapa banyak sekali pria di rumah ini? Apa Dewi memboyong semua keluarganya untuk tinggal di sini? Benar-benar aneh!
"Maaf, kamu siapa?" tanya pria itu. Sungguh, nada bicaranya sangat berbanding terbalik dengan Sona. Pria ini sangat sopan dan lembut.
Alin secepatnya berdiri, untuk memberikan salam hormat. Jika tadi Sona adalah adik Dewi, pria ini pasti bagian dari keluarga ini juga.
"Kamu pacarnya Sona? Sonanya ke mana?" tanya pria itu lagi. "Anak itu ganti lagi ceweknya," lanjutnya bergumam yang sepertinya tidak akan terdengar oleh Alin.
"Hah? Bu-bukan."
"Terus? Kamu nggak mungkin dari The Clean, kan? Barusan saya dapat telepon, katanya datangnya besok."
"Hah?" Alin merasa seperti orang bodoh. Sebenarnya apa maksudnya, sih? Ia benar-benar kebingungan.
"Tunggu, tunggu ... saya masih nggak bisa memahami ini. Kamu siapa dan kenapa bisa ada di rumah ini?"
"A-aku Alin. Adiknya Mas Rio," jawab Alin cepat.
"Apa? Maksudnya Rio suaminya Dewi?"
Alin spontan mengangguk. Meski dalam hati bertanya-tanya, kenapa bisa-bisanya dalam satu rumah tidak saling memberi tahu kalau akan kedatangan penghuni baru di rumah ini.
Pria itu berjalan menghampiri Alin lalu duduk di sofa yang letaknya berseberangan dengan yang tadi Alin duduki. Alin pun kembali duduk, bersiap mendengarkan apa yang pria di hadapannya hendak katakan.
"Saya nggak ngerti kenapa kamu ada di sini, tapi ini bukan rumah Rio sama Dewi."
Seketika mata Alin membelalak. "Gi-gimana, gimana?"
"Rumah mereka tepat di sebelah rumah ini," jawab pria itu sambil menunjuk ke sebelah kanan.
Sumpah demi apa pun Alin sangat malu. Kenapa hal konyol seperti ini bisa sampai terjadi?
Andai bisa, detik ini juga Alin ingin menenggelamkan diri di rawa-rawa.
Memalukan.