Bab 1 - Firasat Buruk
Kata orang, menjadi anak sulung tidaklah mudah. Kenyataannya, menjadi anak bungsu pun tidak sepenuhnya menyenangkan. Apalagi Alinda Lestari adalah gadis bungsu dari dua bersaudara di mana kakaknya adalah seorang laki-laki.
Bayangkan, di usianya yang tahun ini menginjak 24 tahun, Alin hanyalah gadis kecil bagi orangtuanya dan Rio, sang kakak.
Image manja juga cenderung melekat pada anak bungsu. Hanya saja, bukankah yang membuat anak bungsu terlihat manja justru orang-orang terdekatnya?
Mungkin tidak semua orang begini, tapi setidaknya inilah yang Alin rasakan. Karena di mata keluarganya, ia hanyalah anak kecil sekalipun sudah berusaha se-mandiri mungkin.
Mandiri? Tentu saja Alin menginginkannya. Untuk saat ini, harapannya sangat sederhana, yakni tinggal sendiri. Entah itu menyewa flat atau tinggal di rumah indekos sekalipun tidak masalah.
Sungguh, Alin bukan ingin menjauhkan diri dari keluarganya, ia hanya ingin merasakan tinggal sendiri dan menjadi wanita bebas yang sibuk bekerja lalu menghabiskan akhir pekan di tempat sederhana, di mana hanya ada dirinya sendirian yang tinggal di sana. Itu saja. Sederhana, bukan?
Namun, harapan sederhana itu sulit diwujudkan karena orangtuanya tidak setuju kalau Alin tinggal sendiri. Hal itu menjadi semakin kacau saat Rio memberikan saran yang sangat tidak Alin sukai. Bagaimana tidak, Rio mengatakan lebih baik Alin tinggal di rumahnya.
Tentu saja Alin keberatan, tinggal di rumah Rio pasti akan membuat geraknya jadi semakin terbatas. Kalau begini, kapan ia bisa punya pacar? Belum lagi, pindah ke luar kota pasti membuat Alin tidak bisa lagi sering-sering bertemu teman-temannya.
Selain itu, mana mungkin Alin tinggal serumah dengan pengantin baru? Baiklah, Rio dan Dewi memang sudah menikah sekitar satu tahun. Namun tetap saja, di mata Alin mereka adalah pengantin baru!
Hal yang lebih gawat adalah ... Alin tidak terlalu akrab dengan Dewi karena suatu alasan. Mana bisa ia tinggal di sana? Pasti sangat tidak nyaman baik bagi Alin maupun kakak iparnya itu.
Sayangnya, pertempuran tidak seimbang ini jelas dimenangkan oleh orangtuanya dan Rio. Ya, Alin tidak ada pilihan selain 'menumpang' di rumah Rio dan Dewi. Alin diwajibkan tinggal di sana paling tidak sampai enam bulan bekerja. Setelah itu, barulah Alin diperbolehkan tinggal sendiri.
Bagi Alin, itu waktu yang sangat lama karena dirinya bahkan belum resmi mendapat pekerjaan. Itu artinya, ia akan tinggal di rumah Rio selama menjadi pengangguran sampai benar-benar ada perusahaan yang memperkerjakannya. Setelah mendapat pekerjaan pun, ia harus menunggu sampai enam bulan lagi untuk bisa pergi dari sana. Ah, andai Alin bisa kabur saja. Sayangnya ia tidak mau menjadi anak durhaka.
Sampai pada akhirnya di sinilah Alin berada. Perumahan Latansa nomor 20. Sambil menggendong ranselnya, Alin berdiri di depan gerbang rumah yang baru pertama kali ini ia kunjungi. Sejak Rio menikah dengan Dewi, satu kali pun Alin belum pernah datang ke rumah pengantin baru ini karena biasanya merekalah yang berkunjung.
Sumpah demi apa pun Alin masih tidak habis pikir, sekarang ia benar-benar pindah dari rumah orangtuanya ke rumah kakaknya.
Alin sering mendengar kalau tinggal dengan mertua sebaik apa pun orangnya pasti tetap tidak nyaman, lalu bagaimana dengan kakak ipar? Ditambah lagi tidak akur? Haruskah Alin bersikap sok akrab? Alin tidak tahu harus bagaimana sehingga hanya berdiri di depan gerbang. Untuk menekan bel pun rasanya berat.
Mungkinkah ada Rio di dalam? Bagaimana jika kakaknya itu masih bekerja, haruskah Alin menunggu sampai Rio pulang atau memberanikan diri berhadapan dengan Dewi saja? Sial, Alin jadi bingung sendiri!
Benar, sebaiknya Alin menunggu sampai Rio pulang saja. Ia pun memutar tubuh dan refleks membelalak terkejut saat mendapati pria tinggi ada di hadapannya. Pria itu mengenakan kaus santai dan celana pendek, juga sandal jepit. Tangannya pun menenteng tas belanja ramah lingkungan khas minimarket.
Jika Alin boleh menebak, pria itu sepertinya lebih tua antara dua sampai tiga tahun dengannya.
Tunggu, siapa pria ini? Alin merasa pria itu hendak masuk ke rumah Rio. Mungkinkah tamu atau teman Rio? Ah, seharusnya tidak mungkin mengingat Rio sepertinya tidak ada di rumah.
Lagi pula tamu macam apa yang berpenampilan seperti ini? Meski tidak bisa dimungkiri, berpenampilan begini saja pria yang jauh lebih tinggi dari Alin itu sudah masuk kategori tampan. Kelewat tampan malah.
Jika bukan tamu, kemungkinannya hanya dua. Entah Alin salah rumah atau Dewi ternyata memiliki adik yang juga tinggal di sini. Namun, kenapa Alin tidak diberi tahu kalau ada satu orang lagi yang juga penghuni rumah ini?
"Astaga. Kenapa lo lama banget?! Ditungguin loh dari tadi."
Sebelumnya Alin lebih condong memercayai kemungkinan pertama, yakni salah rumah. Namun, setelah mendengar kalimat pertama yang pria di hadapannya katakan barusan, Alin rasa Dewi memang membawa adiknya tinggal di rumah ini. Lagi pula, nomor rumahnya jelas-jelas nomor 20. Tidak mungkin salah, bukan?
Mungkinkah ada konspirasi tertentu? Sangat tidak masuk akal jika ada perjodohan antara ipar. Tidak, tidak ... Alin rasa dirinya terlalu konyol hingga berpikir sampai sejauh itu.
"Minggir," ucap pria itu lagi.
Secepatnya Alin bergeser ke samping sehingga pria itu bisa membuka gerbang yang ternyata tidak dikunci. "Gara-gara nungguin lo, gue sampai nggak bisa ke mana-mana!"
"Ma-maaf." Hanya itu yang bisa Alin katakan. Lagian memang apa lagi? Ini bahkan bukan salahnya!
"Gue hampir aja nelepon kakak gue karena lo nggak datang-datang." Gerbang pun sudah terbuka. "Masuk," lanjutnya.
Dengan ragu, Alin pun mengikuti pria itu.
Tunggu, kenapa Alin jadi deg-degan?
Anehnya lagi, Alin justru berfirasat buruk.
Ada apa ini?