Bab 3 - Ketulusan atau Palsu?

1220 Kata
Saking malunya, Alin langsung berdiri bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Namun, pria di hadapannya langsung menahannya. "Tunggu sebentar!" "A-ada apa?" balas Alin. "Kamu masih belum menjawab pertanyaan saya, gimana caranya kamu bisa masuk ke sini?" Sungguh, Alin sendiri bingung bagaimana menjelaskannya. Wajahnya pun sudah memerah. "Apa Sona yang mempersilakan kamu masuk ke sini?" tanya pria itu lagi yang kali ini direspons anggukan ragu-ragu Alin. "Astaga, dia pasti ngira kamu karyawan The Clean." The Clean? Dari namanya saja, sepertinya Alin sudah tahu apa maksudnya. Pantas saja pria bernama Sona tadi langsung menyuruh Alin ini dan itu. Sungguh, Alin masih malu sekaligus kesal sendiri. "Kenapa timing-nya pas banget ya," katanya lagi. "Maaf ya, saya sama adik saya memang tinggal berdua di rumah ini. Seminggu dua kali, kami biasa memanggil jasa kebersihan. Dan saya sempat berpesan agar Sona jangan ke mana-mana, mungkin pas lihat kamu depan rumah ... dia jadi ngira kamu yang mau bersih-bersih. Sekali lagi maaf, ya." "Sona emang nggak ada akhlak! Bisa-bisanya nggak nanya dulu, langsung asal suruh-suruh saja!" ucap Alin dalam hati. "A-aku juga salah, sih. Enggak mastiin dulu apakah ini rumah Mas Rio atau bukan," jawab Alin canggung, tidak mungkin ia marah-marah apalagi menyalahkan Sona di depan pria ini, terlebih faktanya ia juga salah. Alin hanya ingin semuanya selesai tanpa meninggalkan jejak masalah. Itu saja. Pria itu tersenyum. "Maaf juga ya kalau Sona bersikap yang membuat kamu nggak nyaman." "Namanya juga salah paham, mari lupakan tentang ini. Aku juga berharap Mas Rio dan Mbak Dewi jangan sampai tahu tentang ini, ya," pinta Alin. "Ngomong-ngomong saya bukan tukang gosip, kok. Kamu tenang aja. Cuma lain kali hati-hati ya, untungnya kamu salah rumahnya ke rumah ini ... coba kalau ke rumah orang jahat, gimana?" Haruskah Alin bersyukur dan merasa beruntung dalam situasi seperti ini? Ah, ia akhirnya hanya bisa tersenyum kikuk. "Oh ya, kalau begitu aku pamit dulu. Terima kasih minumannya," kata Alin sambil berdiri. Pria itu pun ikut berdiri. "Astaga, sampai lupa kenalan. Saya Nino," ucapnya sambil menyodorkan tangan, mengajak bersalaman. Dengan ragu, Alin membalas uluran tangan pria di hadapannya. "Alin, Pak." "Pak?" balas Nino sambil terkekeh. "Saya masih seumuran sama Rio." "Ah, iya, maaf kalau begitu." Tentu saja Alin sebenarnya tahu kalau Nino tidak cocok dipanggil 'Pak', hanya saja ia merasa canggung sendiri jika tiba-tiba memanggilnya dengan sebutan 'Mas atau Kak'. Itu sebabnya Alin sengaja memanggil seperti tadi. "Mas Nino," kata Nino sambil tersenyum. "I-iya, Mas Nino," balas Alin. "Kalau begitu aku permisi ya, Mas." "Mari ... saya antar ke depan." "Eh, nggak usah Mas." "Enggak apa-apa, sampai depan doang." Alin tidak ada pilihan selain mengiyakan. Apalagi Nino sudah berjalan beriringan dengannya. "Terima kasih, Mas," ucap Alin lalu berjalan keluar dari gerbang rumah Nino. Nino yang masih berdiri di ambang gerbang berkata, "Jangan sungkan kalau ada apa-apa ya, sekarang kita tetangga." Alin kembali berterima kasih. Sampai kemudian Nino pun menutup gerbang dan masuk ke rumahnya. Sedangkan Alin kembali memperhatikan nomor rumah 20 dan 21. Ia yakin Rio menuliskan angka 20 di chat-nya. Bisa-bisanya kakaknya itu lupa pada nomor rumah sendiri, atau mungkin Rio sengaja mengerjainya? Pucuk dicinta ulam pun tiba, Alin yang kini sudah berdiri di depan gerbang rumah nomor 21 tiba-tiba merasa ponselnya bergetar. Ia memang belum sempat menekan bel, lebih baik mengangkat teleponnya dulu. Terlebih sang penelepon adalah biang keladi yang membuat dirinya salah rumah. "Lin, kamu nyampe di mana sekarang?" tanya Rio di ujung telepon sana, tanpa mau repot-repot menyapa adiknya dulu. "Kenapa?" balas Alin jutek. "Mas baru lihat chat terakhir kita tadi pagi, dan ternyata Mas salah typo. Harusnya nomor 21, bukan 20." "Astaga, begitu doang sampai typo! Fatal banget tahu, Mas. Gimana kalau aku salah rumah?!" Ya, tentu saja Alin tidak mau kekonyolan dirinya barusan diketahui sang kakak. Ia sangat malu meskipun itu bukan kesalahannya. Lagipula jika Rio tahu tentang ini, kakaknya itu akan semakin menganggapnya tidak pantas tinggal sendiri. Ya, Rio juga pastinya akan mengomel, "Kenapa nggak memastikan dulu kalau itu rumah Mas atau bukan? Padahal yang memberi sambutan adalah orang asing. Bisa-bisanya kamu se-teledor itu!" Lalu, bisa-bisa Rio juga akan mengeluarkan kalimat andalannya, "Begitu aja sampai salah, gimana kalau nanti tinggal sendiri coba?" Itu sebabnya Alin merasa sebaiknya Rio maupun Dewi tidak tahu tentang tragedi salah masuk rumah. "Tapi untungnya belum nyampe, kan?" Suara Rio membuyarkan segala lamunan Alin. "Ini udah masuk perumahan, tinggal cari nomor 20," bohong Alin. "Eh ... 21 maksudnya." Sial, bisa-bisanya salah sebut nomor. "Kalau gitu Mas mau telepon Mbak Dewi dulu, ya. Dia ada di rumah, kok. Nungguin kamu dari tadi." "Mas pulang jam berapa?" "Sekitar jam tujuh malam. Kamu harus akur sama istri Mas, oke?" "Tergantung Mbak Dewinya ngajak ribut aku atau nggak." Terdengar tawa Rio di ujung sana. "Mbak Dewi bahkan setuju kamu ikut tinggal, dan mau belajar akrab sama kamu." "Percaya deh percaya. Ngomong-ngomong, aku udah depan rumah nomor 21 nih." "Serius? Cepet banget!" "Ngapain lama-lama? Aku tinggal tekan bel doang, nih. Mas mau nelepon terus?" Alih-alih menjawab, Rio malah memutus sambungan mereka secara sepihak. Kebiasaan. "Dasar Mas Rio kebiasaan," keluh Alin seraya menatap layar ponselnya yang sudah tidak ada tulisan tersambung lagi dengan Rio. Setelah itu, Alin perlahan menekan bel. Menunggu dengan sabar sampai gerbangnya dibuka. Jika diingat-ingat, terakhir ia bertemu Dewi tahun lalu, saat Rio membawa istrinya itu berkunjung ke rumah orangtua mereka. Sejujurnya beberapa bulan lalu Rio dan Dewi juga berkunjung, tapi kebetulan Alin sedang liburan bersama teman-temannya. Ia merasa beruntung saat itu, karena tidak harus bertemu Dewi. Pintu gerbang pun terbuka, tampak Dewi tersenyum hangat menyambut Alin. Tumben sekali, Alin yakin kalau Dewi hanya pura-pura ramah. "Eh, Alin ... Mbak nungguin loh dari tadi," sapa Dewi sangat ramah. "Ayo masuk." Jujur saja, Alin malah merasa canggung. "Tunggu, kamu cuma bawa ransel aja?" "Barang-barangku yang lain aku kirim pakai jasa ekspedisi." "Ah iya, kalau bawa sendiri pasti ribet banget." Kenapa Dewi jadi sok ramah begini, sih? Apa kakak iparnya itu memang ingin membina hubungan baik? Entah kenapa Alin masih merasa ada ketidaktulusan dari nada bicara Dewi. Astaga! Alin baru ingat tentang barang-barangnya. Ia memang mengepak sebagian besar pakaian dan barang-barangnya ke dalam dus, lalu tadi pagi sebelum berangkat, ia mengirimkannya melalui ekspedisi pengiriman dengan layanan kilat. Mereka menjanjikan akan sampai besok, dan Alin baru ingat kalau alamat yang tertera di sana adalah nomor 20. Sepertinya Alin akan kembali berurusan dengan tetangga sebelah. Padahal, sejak meninggalkan rumah itu beberapa saat yang lalu, Alin bergumam dalam hati tidak akan terlibat secuil pun urusan dengan dua pria itu lagi. Jujur saja Alin masih malu. Sangat malu. Alin berjalan mengikuti Dewi ke lantai dua. Dewi kemudian membuka pintu dan berkata, "Ini kamar kamu." "Terima kasih." Alin pun masuk, memperhatikan suasana kamar barunya yang tidak terlalu buruk. Justru sepertinya lebih nyaman dari kamar yang ia tempati di rumah orangtuanya. "Dapurnya ada di bawah, ya. Di meja makan ada makanan kalau kamu lapar. Hmm, pokoknya kalau perlu apa-apa tinggal bilang, oke?" "I-iya, Mbak." Dewi tersenyum. "Mbak tahu seberapa kacau hubungan kita, dengan kamu tinggal di sini ... Mbak harap kita jadi lebih akur dan akrab. Mari lupakan masalah yang udah berlalu." Alin tidak langsung menjawab, membuat Dewi langsung mendekat untuk memeluk adik iparnya itu. "Maafkan Mbak ya, sebagaimana Mbak juga udah memaafkanmu sejak lama." Sejujurnya Alin terkejut saat Dewi memeluknya seperti ini. Namun, alih-alih merasa lebih baik, Alin justru merasa takut. Ini ketulusan atau memang ada yang sedang direncanakan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN