Shazia berjalan ringan di samping jalan raya, beruntung tempat ini terjaga karena tidak adanya pengendara motor yang memarkirkan motornya di atas trotoar dan memudahkannya untuk berjalan tanpa hambatan.
Dia bersyukur karena perutnya kenyang dan tidak menyesal menolak ongkos yang di berikan cuma-cuma oleh Azril yang merupakan pelanggan restoran tempatnya bekerja.
Shazia sebarnya sedikit malu karena menumpang makan bersama Azril, tetapi dia mengenyampingkan rasa malunya itu karena sudah sangat kelaparan dan tidak memiliki uang.
Selembar uang hijau di dompetnya untuk membayar preman ketika dia akan memasuki lorong rumahnya. Itu sudah menjadi keseharian Shazia ketika tinggal di kota ini.
Bali merupakan tempat yang bagus untuk turis, tetapi di sisi lain kehidupan sangat sulit apalagi di perumahan padat penduduk yang keamanannya di kuasai oleh preman dadakan yang mencari uang dari memalak.
Saking senangnya, Shazia tidak memperhatikan jika ada tiga orang pria yang menatapnya dengan seringaian nakal. Mereka menunggu Shazia sampai melewati jalanan yang sedikit gelap dan tidak akan di perhatikan oleh orang yang melintas.
“Hei, manis.” Ucap salah satu pria mendekatinya.
Shazia melebarkan mata lalu berjalan mundur, berusaha lari dari padangan mereka. Tetapi, ketika berusaha kabur, sebuah tangan langsung memegang lengan Shazia dari arah belakang.
“Mau kemana gadis cantik? Dingin-dingin enaknya di hangatkan pelukan, bukan?” tanya seorang pria lain di belakangnya.
Shazia menenguk ludahnya susah payah, dia berpikir cepat dan melihat sekeliling. Shazia merasa ingin mengubur dirinya ketika jalanan itu sudah sangat sepi dan Cuma ada beberapa pengendara motor yang melintas tetapi tidak memperdulikannya.
Yah, masa aku harus mati di perkosa? Nggak keren-lah. Batin Shazia.
Dia berusah memberontak ketika mereka mulai menyentuh bagian tubuhnya. “Heh, beraninya kroyokan. Nggak pernah mandi ya?”
“Dasar murahan, masih mending kami mau sama kamu. Sudahlah, ngak usah pura-pura nolak, sebentar lagi juga kamu pasti bakalan seneng.” Ucap salah satu dari mereka.
Shazia tetap memberontak, “Aduh, gosok gigi dulu gih sana. Mulutnya bau banget, abis makan bangkai?”
Mereka bertiga terlihat tersinggung dengan ucapan Shazia dan itu malah membuatnya senang karena ucapannya memancing amarah mereka. Shazia berekspresi seolah-olah jijik ketika berdekatan dengan mereka.
Shazia sudah hafal daerah ini memiliki banyak preman yang seperti ini, kadang membuat ulah dan tertangkap polisi. Sebenarnya, dia juga sangat takut tetapi harus memberanikan diri karena tentu saja tenaganya kalah jauh di bandingkan mereka bertiga.
Tetapi, beberapa detik kemudian bukannya melepaskannya preman itu malah menarik paksa tubuhnya. Shazia bedecak ketika pancingan kata-katanya tidak berhasil, besok-besok kalau lewat jalan ini harus punya ide baru, batin Shazia sembari berpikir untuk lolos dari preman yang sedang menariknya.
“Berhenti! Lepaskan dia!”
Shazia langsung menoleh dan melihat seseorang menendang salah satu preman yang sedang menariknya. Dia terkejut ketika melihat Azril berusaha melepaskannya dari cengkraman kedua preman yang lain.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Shazia setengah panik.
Azril mendengkus, “Apa lagi? menyelamatkanmu gadis mungil!”
Shazia terpana, dia tidak percaya Azril yang akan menyelamatkannya padahal sudah hampir setengah jam mereka berpisah dan dia sudah berjalan cukup jauh dari restoran tadi.
“Kalau saya bilang ayo, kamu langsung lari ya. Mobil saya ada di seberang jalan!” ucap Azril sembari beradu pukulan dengan ketiga preman itu.s
Shazia mengangguk cepat, ketiga preman itu sudah melepaskannya dan sedang berusaha melawan balik Azril. Dia bersembunyi di belakang pria itu sembari memegang ujung kemejanya yang sudah kusut.
“Ayo!” ucap Azril lalu berlari kencang.
Shazia yang terkejut karena tidak mendapat aba-aba langsung mengikuti Azril susah payah. Dia bahkan tersandung kakinya sendiri ketika berusaha mengejar Azril yang langsung berbalik badan lalu berlari.
Azril menoleh ke belakang dan melihat jika Shazia tertinggal jauh di belakang sementara preman itu satu-persatu sudah mulai bangkit dan mengejar mereka. Terpaksa, Azril kembali lalu meraih tangan Shazia untuk segera menuju mobilnya yang masih menyala.
Shazia terkisap ketika tangan Azril menggenggam tangannya, dia mengerjap ketika tangan besar dan dingin itu melingkupi tangan mungilnya. Waktu seolah berjalan lambat untuk Shazia dan dia menikmati moment itu.
Beberapa detik kemudian, Azril langsung menyentakkan tubuhnya lalu menariknya untuk kembali berlari. Mereka sampai di mobil beberapa detik kemudian dengan napas terengah.
“Ayo, buruan!” ucap Shazia ketika melihat para preman itu hampir sampai.
Azril menginjak gas dengan kaki gemetaran karena berlari. Mobilnya langsung meluncur di tengah jalan meninggalkan ketika preman itu. Setelah sampai di tempat aman, Azril menghentikan mobil dan mengatur napasnya.
Dia menyandarkan punggung di kursi mobil lalu bernapas melalui mulut dengan susah payah.
“Kamu, ngapain disana?” tanya Shazia mengulangi pertanyaannya yang tadi.
Azril hanya bergumam, “Kebetulan ada yang mau kubeli sebelum pulang.” jawabnya berbohong.
“Beruntung kamu lewat, hampir aja aku masuk tv besok.” Ucap Shazia berusaha mencairkan suasana.
Azril mengerjabkan matanya, “Hah?”
“Iya, masuk tv. Kan mereka berdua mau yang ‘iya-iya’ tadi.” ucap Shazia merinding.
Azril melotot, sikap dingin dan cueknya menguap ketika dia bersama perempuan itu. Seorang perempuan yang sepertinya tidak mengetahui siapa dia sebenarnya.
Azril menghela napas, dia menahan beberapa pertanyaan yang sudah ada di ujung lidahnya. “Rumah kamu di mana?”
“Oh, mau nganterin? Di arah tadi, harus puter balik dulu.” Jawab Shazia.
Shazia memandu Azril sampai di depan rumahnya, dia lega ketika sudah sampai di depan gang yang merupakan jalan masuk ke rumahnya. Shazia membuka sabuk pengaman, ketika ingin membuka pintu mereka melihat ada dua orang preman yang mengetuk kaca jendela Azril.
“Udah jangan di buka, kalau preman yang ini aku kenal kok. Dia penjaga kompleks.” Ucap Shazia ketika Azril ingin menurunkan kaca mobil.
Selanjutnya, Azril hanya melihat Shazia turun, dia melihat perempuan itu berbicara sedikit dengan preman yang tadi mengetuk kaca mobilnya lalu setelah di beri uang, mereka langsung pergi.
Shazia melangkah mendekati mobil Azril, “Rumahku jauh di dalam, harus jalan kaki lima belas menit dulu. Makasih ya tadi sudah tolong aku.”
“Oke.”
Shazia mengerutkan kening ketika mendengar jawaban Azril lalu melihat pria itu membawa mobilnya pergi. Dia hanya mengangkat bahu tak acuh lalu mulai masuk ke dalam gang sempit.
Dia terbantu cahaya lampu dari rumah warga dan bisa terus berjalan dengan tenang. Karena wilayah ini memiliki preman maka situasinya sangat aman walaupun saat dini hari, tetapi ya mereka harus membayar lebih.
Bagi Shazia itu tidak masalah karena itu upah yang di aberikan atas perbuatan mereka yang membuat lingkungan aman. Walaupun ada beberapa orang yang tidak ingin membayar.
Rumah Shazia terletak di belakang, sebenarnya tidak bisa di sebut rumah karena dia mengontrak sebuah petak kecil untuk di jadikan tempat tinggal selama dia bekerja di sini.
Walaupun kecil, itu sudah Shazia syukuri karena cukup untuk dirinya sendiri. Dia membersihkan diri lalu beristirahat agar besok bisa bekerja maksimal di restoran.
…
Prang!
Oh, jangan terjadi lagi.
“Zia! Sekarang masih pagi, apa lagi yang kamu pecahkan?” teriak koki yang sedang memasak.
Shazia hanya bisa membeku di tempatnya, tangannya tadi sangat basah dan memegang piring yang masih basah jadi piring itu sempurnah jatuh dan pecahannya berserakan di sekitar kakinya.
Dia hanya bisa menatap koki itu dengan tatapan tidak bersalah dengan cengiran lebar menghiasi wajahnya. Koki itu pun ikut menghela napas sembari mengelus d**a pelan karena harus bersabar menghadapinya yang hampir setiap hari membuat darah tinggi.
“Saya cuma jatuhin piring.” Ucap Shazia dengan suara kecil.
Koki itu mendekati Shazia, “Kamu bilang ‘cuma’ itu piring, harganya lumayan Zia!”
“Pak, kali ini maafin saya. Jangan di kasih tau bos, saya bisa di pecat sama potong gaji.” Ucap Shazia memelas.
Koki itu berdehem, “Saya bisa mati cepat kalau punya pramusaji kayak kamu. Sudah, jangan pegang-pegang piring kecuali ada pesanan makanan.”
Shazia meremas tangannya, koki itu terdengar sangat kecewa kepadanya padahal dialah yang paling di sayang oleh koki itu karena selalu mencicipi makanannya dengan jujur ketika sedang membuat hidangan baru.
“Maaf, Pak. Saya janji nggak akan mengulanginya lagi.” ucap Shazia sembari menundukkan kepala.
“Janji terus! Kamu di manja lama-lama ngelunjak ya! Ini restoran, bukan tempat bermain kamu, yang lain kerjanya hati-hati, harusnya kamu juga bisa kayak gitu.” Ucap Koki itu tegas.
Dia merasa ingin menangis, perasaannya sedih ketika dimarahi seperti ini walaupun memang karena kesalahannya sendiri.
“Janji terus! Sudah berapa kali Zia, kemarin sendok, garpu, sekarang piring. Besok apa lagi? kamu mau jatohin makanan pelanggan?”
“Nggak, pak.” Jawabnya cepat.
Jika Shazia menjatuhkan sepiring pesanan pelanggan, bisa-bisa dia langsung di pecat. Kalau kayak gini, bisa-bisa aku yang cepat mati, batin Shazia. Dia mengelus d**a karena terus kaget karena intonasi suara dari koki itu cukup besar.
“Heh, ngomong apa kamu?” bentak koki itu sudah kehabisan kesabaran.
Shazia menggeleng cepat lalu memukul mulutnya, “Nggak ada Pak. Ya sudah, saya bersihkan dulu pecahan belingnya.”
“Cepat, sekarang koki lain mau masak! Saya nggak mau mereka cedera karena menginjak pecahan piring.” Ucap Koki itu dengan suara menggelegar. “…kalau kamu sampai memecahkan barang atau apapun kekacauan yang kamu buat. Malam ini kamu akan membersihkan restoran sendirian!”
“Eh, tapi bukannya kemarin lusa saya sudah membersihkan restoran sendiri, Pak?” tanya Shazia berusaha agar koki itu memaafkan kesalahannya kali ini.
Ketika melihat koki itu menggeleng, tubuh Shazia lemas.
“Nggak ada toleransi, itu hukuman karena kecerobohan kamu. Eh, kenapa kamu jauh-jauh kayak gitu?” tanya Koki itu heran.
Shazia tidak menjawab lalu mengambil kotak sabun baru lalu membersihkan pecahan piring sampai benar-benar besih. Setelah itu dia mengepel lantai agar tidak licin.
Ya, harus jauh-jauh dong. Kan takut kena sembur, sudah mandi harum-harum masa basah kena air terjun, gumam Shazia sembari fokus membersihkan.
“Shazia!” bentak koki itu.
Shazia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Eh, masih di sini Pak? Saya kira sudah pergi.”
“Astaga, mimpi apa saya punya anak buah seperti kamu.” gumam koki itu lalu melangkah menjauhi Shazia yang sedang mengepel lantai.
Shazia mengerjakan pekerjaannya dengan cepat, berusaha untuk tidak membuat kesalahan dan dalam waktu sekejap lantai itu sudah besih kembali. Setelah itu, Shazia kembali bersiap-siap untuk bekerja karena restoran ini selalu saja ramai walaupun masih pagi karena terletak di tempat strategis di tengah kota Bali.
“Zia?” Nita, rekan kerja Shazia yang sangat akrab dengannya sejak bekerja di restoran ini memanggilnya dengan wajah beseri. “Sini deh, Mas Ganteng kemarin sudah datang.”
Shazia melihat arah yang ditunjuk Nita, dia melihat Azril sedang membuka buku menu sembari dilihat dengan ekspresi genit oleh salah satu pramusaji lain yang sedang berdiri di depannya.
“Mentang-metang kamu orang jawa jadi panggilnya Mas Ganteng ya?” tanya Shazia.
Nita tertawa, “Iya, aku nggak tahu bahasa balinya. Ah, yang penting orangnya memang ganteng. Lihat, lesum pipinya manis banget!”
Shazia menggelengkan kepala, dia ikut memperhatikan Azril. Setelah memesan makanan pria itu tampak duduk memandangi sekeliling restoran lalu bermain ponsel.
Jika dihitung dengan hari ini, maka Azril sudah akan kembali ke Jakarta besok hari. Jadi, inilah saat-saat terakhir dia bisa melihat pria itu karena dia tidak mungkin bisa pergi kemana-mana di saat pekerjaannya ada di Bali.
Azril membuat semua waitres termasuk Shazia melakukan undian, siapa yang menang akan mengantarkan makanan kepada pria itu. Undiannya dengan cara menarik sumpit kayu yang memiliki tanda berwarna merah akan menang dan ternyata Shazia pemenangnya.
Rekan-rekan Shazia tampak menatapnya dengan tidak rela, tetapi tidak ada yang bisa menghalanginya karena dialah pemenangnya. Shazia membawa troli makanan lalu menghidangkannya di atas meja dengan hati-hati.
“Selamat menikmati.” Ucap Shazia sembari tersenyum.
Azril melirik ke arah Shazia lalu mengalihkan tatapannya. Sikap itu membuat Shazia mengerutkan kening.
Sombong banget sih.
“Saya nggak sombong ya!” ucap Azril tanpa menatap Shazia.
Shazia menendang kaki Azril pelan karena kesal, padahal mereka belum seakrab itu tetapi setidaknya Azril sudah mengenalnya sedikit.
Mentang-mentang ganteng!
Sudut bibir Azril bedekut menahan senyum, “Saya memang ganteng. Itu fakta.”
Shazia terkekeh pelan. Dia menyelesaikan pekerjannya lebih cepat ketika melihat rekan-rekannya sudah menatapnya dengan pandangan cemburu. Padahal, dia masih ingin berlama-lama untuk membuat rekan kerjanya iri.
Ketika Shazia ingin pergi, lengannya di tarik oleh seorang pria yang juga pelanggan restoran yang sedang duduk tepat di depan meja Azril, lalu menyiramnya dengan minuman dingin. Shazia membeku di tempat dengan minuman yang menetes dari wajah dan rambutnya. Dia melotot menatap pelanggan itu dengan wajah syok.
“Dasar pelayan rendahan! Nggak sadar kalau badan kamu tuh bau, kenapa nggak cepat-cepat pergi sih! Selera makan saya jadi hilang!” ucap pelayan itu marah-marah.
Shazia bergerak cepat mencium tubuhnya, tetapi tidak ada bau yang bisa membuat pelanggan itu tidak selera makan. Bahkan dia tidak memiliki bau badan, bajunya juga baru di pakai dan wangi.
“Mulutnya sudah di sekolahin? Atau nggak lulus sekolah, cium bau diri sendiri dulu deh!” ucap Shazia tidak terima direndahkan.
Pelanggan restoran itu berdiri menampar wajah Shazia. “Berani ngelawan!”
“Ya, beranilah! Memang kamu siapa?”
Shazia balas menyiram pelanggan itu dengan minuman dingin yang di pesan oleh Azril tepat di wajah pelanggan itu dengan siraman kencang dan cepat. Pelanggan itu langsung mengusap wajahnya kasar, matanya merah karena terkena air dingin.
“Enak? Hah? Tubuh saya nggak bau ya! Hidung kamu yang koslet!” bentak Shazia geram.
Pelanggan itu langsung mendorong Shazia hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Suasana restoran yang masih sepi membuat hanya sedikit pelanggan yang melihat mereka.
Suasana menjadi tegang, apalagi Shazia mengeluarkan kata-kata hinaan yang tidak kalah sadis. Dia bangkit berdiri walaupun sudut bibirnya pecah setelah di tampar.
“Mana menajer restoran?!” bentak pria itu kehabisan kata-kata.
Shazia berdiri dengan tubuh gemetaran karena emosi, dia sama sekali tidak bisa terima ketika orang menginjak harga dirinya. Walaupun mungkin saja dia di pecat, itu urusan belakangan, dia tidak mau mengalah kepada pelanggan yang sudah menghina dirinya.
Seorang manajer baru bergegas datang sembari membungkuk, “Ada apa ya Pak?”
Shazia benci melihat manajer itu, bersikap rendahan di depan pelanggan yang terlihat kaya namun tidak memiliki otak. “Saya kecewa dengan pelayanan restoran ini, apalagi mempekerjakan pelayan yang bau seperti dia. Anda memungutnya dari tempat sampah mana?”
Bagi semua orang yang menyaksikan itu, kata-kata pelanggan itu sudah sangat keterlaluan. Shazia sudah tidak bisa lagi menahan sesak di dadanya, air matanya tumpah. Dia mengepalkan tangan hingga bukunya memutih.
“Sampah memang seharusnya cari tempat sampah. Begini kalau sampah busuk di kasih nyawa.” Ucap Shazia tajam menusuk.
Azril yang mendengar ucapan itu sempurna tersenyum, entah kenapa dia merasa bangga ketika mendengar ucapan Shazia. Perempuan cerewet itu tahu cara menyakiti orang tanpa bergerak.
“Pelac*r!”
Pria itu melayangkan tangannya kembali untuk menampar Shazia ketika Azril berdiri dan menahannya tepat sebelum telapak tangan pria itu mengenai pipi Shazia yang tidak terluka.