Azril menatap pria itu tajam, tatapannya sangat menusuk sampai membuat pria itu mundur satu langkah. Dia tidak melepaskan tangan pria itu sampai mencengkramnya terlalu kuat. Azril tidak menyukai kekerasan dalam bentuk apapun terutama apa yang dilakukan oleh pria di depannya ini.
“Saya percaya ini bisa di selesaikan tanpa kekerasan.” Ucap Azril tegas.
Pria itu menepis tangan Azril, “Sebaiknya anda jangan ikut campur! Ini bukan urusan anda!”
“Tentu saja ini urusan saya, anda teriak-teriak di depan meja saya dan kepada pramusaji yang sedang menghidangkan makanan saya!” ucap Azril tajam dan menusuk.
Pria itu menatap Azril remeh dari bawah ke atas lalu berhenti ketika menatap matanya. “Aku kenal pemilik restoran ini, jadi aku berhak melakukannya! Kenapa pula dia mempekerjakan orang kampungan seperti ini!”
Azril menghela napas pelan, lalu mengambil ponselnya. “Kalau begitu saya hubungi pemilik restorannya langsung supaya kamu bisa bertanya kepadanya.”
Shazia terperanjat, begitu juga semua orang di sana termasuk pria yang mengamuk itu. Tetapi terlambat, Azril sudah selesai menghubungi pemilik restoran ketika mereka sadar apa yang sedang dilakukan oleh Azril.
“Dia akan sampai sepuluh menit lagi, waktu yang tidak lama untuk menunggu.” Ucap Azril lalu kembali duduk di kursinya lalu melirik Shazia. “Tolong, buatkan saya minuman lagi.”
Shazia buru-buru mengangguk lalu berlari ke dapur. Sementara, pelanggan itu di bawa petugas keamanan ke sebuah tempat lain agar tidak memicu keramaian di dalam restoran.
“Hei, Zril. Kenapa deh?” tanya seseorang wanita yang baru datang.
Azril menoleh, “Orangnya ada di dalam, ke sana aja biar masalahnya selesai. Oh iya, anak dia sekalian.”
Wanita itu menoleh kepada Shazia yang baru saja menyajikan minuman yang tadi dia pakai untuk membalas pelanggan yang merendahkannya. Shazia hanya menunduk ketika di tatap oleh wanita pemilik restoran itu.
“Eh, Zia? Kamu buat masalah apa lagi?”
Shazia tidak tahu harus berkata apa. Azril mendengkus, “Aku tahu dia punya banyak masalah tapi kali ini bukan salahnya.”
Wanita itu gantian menatap Azril dengan kening bekerut. “Ya sudah, yuk Zia.”
Shazia hanya bisa menghela napas sebelum meninggalkan Azril yang mulai menyantap makan paginya. Dia mengikuti pemilik restoran itu masuk ke sebuah ruang makan VIP yang kosong. Di sana, sudah ada pria tadi yang masih melihatnya penuh permusuhan.
Shazia beruntung permasalahan itu ditangani dengan adil. Pemilik restoran itu malah menyalahkan pelanggan dan akan melaporkannya kepada polisi. Walaupun begitu, Shazia tetap tidak terselamatkan.
Dia terpaksa di pecat, selain karena mempertanggungjawabkan sikapnya yang menyiram pelanggan. Itu juga dilakukan agar pegawai yang lain tidak mengulangi sikap Shazia.
Shazia terduduk lemas, dia tidak percaya akan di pecat semudah ini. padhal dia telah bekerja dengan tekun dan berusaha meminimalisir perbuaatan cerobohnya tetapi tetap saja dia tidak bisa menolak karena dia memang salah.
“Zia…” panggil wanita itu lembut.
Shazia mendongakkan kepalanya, “Saya minta maaf atas kejadian yang menimpa kamu beberapa hari yang lalu. Saya baru tahu pas di kasih tau Azril, dia kebetulan kenalan saya.”
“Iya, Mbak. Untung ada dia yang nolong saya. Kalau nggak, pasti udah kejadian apa-apa.” ucap Shazia lirih.
Wanita itu tampak merasa bersalah, “Maafkan saya karena harus memberhentikan kamu. Saya tidak ada pilihan lain, kamu sudah saya pertahankan cukup lama di sini dengan toleransi yang sangat besar dan tadi merupakan terakhir kali saya bisa memaafkan kamu.”
“Iya, Mbak.”
Wanita itu lalu membuka tas dan memberikan amplop kepada Shazia. “Zi, ini pesangon kamu sama uang ganti rugi restoran ya. Nggak saya potong kok, walaupun tadi pagi kamu sudah pecahin piring.”
Pipi Shazia merona malu, dia menerima uang itu dengan hati perih. Sekarang, dia sudah resmi kembali menjadi pengangguran. Shazia memasukkan amplop itu ke dalam selipan seragam agar rekan-rekannya tidak melihat.
Dia tidak ingin mereka tahu, walaupun sedikit banyak yang bersyukur karena dia selalu membangkitkan suasana ceria di restoran tetapi ada yang diam-diam membicarakannya dibelakang ketka Shazia tidak ada.
“Ya sudah, kamu simpan uangnya di loker dulu. Kamu boleh kerja sampai malam.” ucap wanita itu lalu melangkah keluar dan meninggalkan Shazia sendiri di dalam.
Perlahan, Shazia mengusap air matanya. Dia menangis dalam diam, Shazia merasa dia sangat gagal sampai tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Sangat susah untuk mencari pekerjaan, ijazahnya hanya seperti kertas bias jika tidak ada perusahaan yang menerimanya.
Seperti biasa, Shazia kembali bekerja dengan menutupi kesedihannya. Tetapi tentu saja sikapnya terasa berbeda, Shazia tidak ceria dan hanya murung ketika tidak ada pekerjaan yang harus dia lakukan.
Tiba saat malam, Shazia sudah mengucapkan kata-kata berpisah kepada semua rekan kerja dan kepala koki yang selalu memarahinya. Walaupun sedih, mereka tetap melepas Shazia dengan pelukan hangat.
Sebelum pulang, kepala koki itu memasakkan hidangan spesial untuk semua orang dan penghibur agar Shazia tidak terlalu sedih. Tidak ada yang membahas apa saja kecerobohan yang dia lakukan, mereka semua berbicara dan mengenang sikap lucu Shazia.
Malam itu, walaupun Shazia sangat sedih. Dia merasa tidak sendiri, ada orang yang berbagi kesedihan dengannya hingga terasa ringan. Shazia pulang ke rumahnya dengan cepat agar tidak bertemu dengan preman kemarin.
…
Shazia mulai mengemas pakaiannya malam itu juga. Kebetulan masa kontrak rumahnya juga tersisa seminggu, dia mengontrak perbulan karena kebutuhan pemilik rumah yang menginginkan sewa bulanan.
Setelah semua barang-barangnya selesai di besihkan, Shazia hanya akan membawa dua buah koper dan satu tas kecil. sedangkan kasur busa dan beberapa alat benda lain akan dia tinggalkan di sini.
Shazia tidur beralaskan kasur, dia memejamkan mata dan ajaibnya langsung tertidur pulas. Perempuan itu bangun tepat pukul lima pagi karena mendengar suara ayam berbunyi.
Dia membersihkan diri lalu memasukkan pakaian kotor ke dalam tas pelastik lalu dia simpan di dalam tas ransel miliknya. Shazia langsung menghitung uang pesangon yang diberikan, jumlahnya sangat cukup untuk di pakai pulang ke Jakarta.
“Alhamdulillah, masih ada sisa.” Ucap Shazia lalu memasukkan sisa uang itu ke dalam koper.
‘Mau kemana?’
Shazia dikejutkan dengan sosok yang samar-samar muncul di sampingnya. “Mau pulang, aku pamit ya.”
‘Yah, terus nanti yang ajakin main siapa? Kakak beneran mau pergi?’
Shazia mengangguk, dia juga sedih meninggalkan sosok anak kecil itu. dia menyodorkan empat buah permen yang selalu dia beli ketika pulang ke rumah. “Kamu jangan nakal lagi ya, jangan iseng sama yang punya rumah.”
‘Iya, kak. Tapi, kayaknya aku juga mau pergi, dari kemarin malam ada nenek yang panggil-panggil. Aku nggak tau siapa, tapi kayaknya baik.’
Satu kelebihan Shazia yang selalu dia banggakan, dia bisa melihat makhluk tidak kasat mata. Itulah mereka, kadang datang dan pergi tiba-tiba. Shazia tidak pernah sekalipun merasa takut kepada mereka karena setiap makhluk itu punya cerita masing-masing walaupun lebih banyak yang menyeramkan.
“Ya sudah, tapi harus hati-hati.” ucap Shazia.
Sepertinya sosok anak kecil itu masih ingin berbicara tetapi karena sudah pagi, tubuhnya semakin transparan dan sosoknya pun seketika menghilang begitu juga dengan suaranya.
Shazia lalu naik untuk pamit kepada pemilik rumah, setelah perpisahan yang cukup emosional. Shazia diberikan uang lumayan karena telah membantu pemilik rumah itu selama tinggal disini.
Dia langsung pergi ke bandara menggunakan ojek online, salah satu transportasi nyaman dengan harga yang cukup terjangkau. Shazia sempat melewati restoran tempatnya bekerja dan hanya melihatnya sekilas.
Shazia sudah beruntung karena bisa bekerja di kota ini walaupun hanya beberapa bulan. Setelah sampai di bandara, Shazia langsung masuk boarding dan siap-siap untuk terbang ke Jakarta.
Dia sudah memilih menggunakan pesawat yang sangat murah untuk menghemat biaya. Beruntung Shazia bisa duduk di dekat jendela dan tidak ada orang di sampingnya ketika pesawat sudah lepas landas.
Tidak butuh waktu lama Shazia sudah tiba di Jakarta, bahkan dia merasa baru beberapa menit duduk di pesawat dan seketika sudah terdengar informasi jika mereka sudah akan mendarat.
Dia siap-siap, setelah pesawat mendarat Shazia menunggu giliran untuk turun. Kebetulan penumpang di pesawat itu tidak terlalu banyak jadi dia bisa cepat turun dan mengambil kopernya.
Shazia langsung disambut oleh hujan deras yang mengguyur seluruh bandara. Dia lansung mengecek ponselnya dan cemberut ketika melihat hujan tidak akan berhenti sampai dua hari kedepan.
Semoga saja tidak, bisa-bisa banjir lagi, gumam Shazia sembari mencari angkot tetapi itu hal yang tidak mungkin. Dia diberikan payung gratis lalu berusaha membawa koper menerjang derasnya hujan.
Butuh waktu setengah jam sebelum Shazia berhasil masuk ke dalam angkot yang dia dapatkan di pinggir jalan raya.
“Basah kuyup, neng?” tanya sopir mobil.
Shazia tersenyum, “Iya, Pak. Hujannya deras banget.”
“Iya, lagi musimnya sekarang. Nggak lama lagi pasti banjir.”
Shazia mengangguk dia menarik handuk dari koper untuk mengeringkan rambut dan tubuhnya. Di dalam mobil itu hanya ada tiga orang, sopir mobil, dia dan salah satu wanita paruh baya yang memakai pakaian dinas.
“Rencananya mau kemana, Neng? Biar saya antarin deh, bayarannya boleh sama. Kasian sekalian saya mau pulang juga takut kejebak banjir.” Ucap sopir mobil ramah itu.
Shazia langsung menyebutkan lokasi yang dia tuju. Dia sejak tadi sudah menghubungi ibu asuh yang mengelola panti asuhan tetapi panggilannya tidak kunjung di angkat.
“Loh, bukannya itu panti asuhan yang sudah di tutup kemarin ya?” ucap sopir itu terkejut.
Shazia melebarkan mata, “Eh, kok bisa Pak? Setahu saya masih ada.”
“Iya, Neng. Memang baru di tutup, belum seminggu kayaknya. Kemarin ramai di bicarain ibu-ibu, katanya tanahnya itu di ambil lagi sama anak yang punya. Padahal sudah wakafkan.” Ucap Sopir mobil menjelaskan.
Seluruh tubuh Shazia langsung berubah dingin, dia merinding. Setahunya memang lokasi panti asuhan itu tanah wakaf tetapi selama ini tidak ada yang ingin mengambil tanah itu.
Wajah Shazia langsung pucat, dia masih tidak percaya. Sopir mobil yang melihat wajah penumpangnya sedikit merasa bersalah dan berhenti berbicara. Setelah menurunkan wanita paruh baya itu, sopir mobil langsung berangkat menuju tujuan yang disebutkan Shazia tanpa bertanya lagi.
“Makasih, Neng.” Ucap sopir mobil ketika turun dari angkot.
Hujan sudah sedikit reda ketika dia sampai di ujung gang panti asuhan tempatnya dulu tinggal. “Eh, kembaliannya ambil aja Pak.”
“Alhamdulillah, terimakasih sekali lagi.”
Shazia mengangguk lalu menarik kopernya dan berjalan menuju panti asuhan itu. Perasaannya semakin buruk ketika ibu asuhnya berkali-kali tidak mengangkat panggilannya.
“Duh, kalau beneran ditutup. Aku tinggal di mana? Masa di emperan jalan lagi?” ucap Shazia lirih.
Dulu sewaktu kecil ketika Shazia masih di asuh oleh keluarga jauhnya dia kerap kali tidur di pinggir jalan karena dikuncikan pintu. Padahal, dia terlambat pulang karena menjual gorengan, hanya uangnya yang di ambil dan dia di suruh tidur di luar karena penghasilannya sedikit.
Shazia tidak tahan tinggal disana dan memilih untuk ke panti asuhan karena di ajak oleh salah satu teman yang sudah tinggal di sana sejak kecil. Dia mau-mau saja, daripada tidak terurus. Shazia tidak suka dikatai gembel atau peminta-minta padahal dia tidak melakukannya.
Sejak itulah, dia tinggal di panti asuhan itu hingga pindah saat dia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di salah satu kampus ternama. Shazia kuliah sampai mendapatkan gelar S2 dengan bantuan beasiswa.
Itu menjadi kebanggaan untuknya tetapi tidak lama karena ternyata sangat sulit untuknya menemukan pekerjaan.
“Neng, Zia?”
Shazia berbalik, dia tersenyum melihat wanita paruh baya yang dia kenal. “Tante Iin, kangen.”
“Yuk, singgah di rumah dulu. Hujannya makin deras.”
Setelah menimbang-nimbang, Shazia akhirnya mengangguk. Untuk sampai di panti asuhan dia harus berjalan lima belas menit lagi. Dia masuk dengan berhati-hati agar koper dan tasnya tidak terkena tanah becek.
“Nih makan dulu, kue sama teh hangatnya.” Ucap tante Iin sembari ikut duduk di sampingnya.
Shazia ingin menolaknya tetapi perutnya berbunyi keras sampai membuat tante Iin tertawa. Dasar perut laknat! Nggak tau situasi aja, seharusnya hujan-hujan begini enak makan mie sama telor, gumam Shazia dalam hati.
“Makasih tante.” Ucapnya dengan pipi merona.
Walaupun malu, tetap saja Shazia memakannya dengan lahap. Sedikit banyak karena memang dia lapar dan sedikit tidak tahu malu. Shazia mengangkat bahu, urusan itu belakangan karena dia juga sudah akrab dengan tante Iin.
Tante Iin adalah seorang ibu tunggal yang berjuangan kue sejak lama. Bahkan, beliau menjual dari saat dia masih kecil sampai sekarang. Shazia sangat kagum dengan perjuangannya karena usaha beliau, anak-anaknya sekarang sudah berhasil kuliah dan bekerja.
“Sama-sama, kamu mau ke panti ya?” tanya tante Iin serius.
Shazia mengangguk, “Iya tante, tapi tadi ada sopir mobil yang bilang kalau patinya sudah di tutup? Itu bohong kan?”
Ekspresi tante Iin berubah sendu, kepalanya mengangguk pelan dan itu membuat Shazia terperanjat. “Iya, beberapa hari lalu banguannya sudah roboh dengan tanah, Zi. Di robohkan oleh anak pemilik tanah itu, katanya mau dibikin kos-kosan atau rumah, nggak tahu juga.”
“Eh, bukannya tanah wakaf ya tante. Masa di ambil lagi?” protes Shazia.
Tante Iin mengangguk, “Iya, kebetulan beliau yang mewakafkan tanah sudah meninggal satu bulan yang lalu. Tiba-tiba anaknya datang marah-marah dan suruh kosongin panti. Sekarang, sudah rata sama tanah.’
Shazia menundukkan kepala, tanpa terasa bulir air matanya kembali keluar. “Terus, bunda sama adek yang lain pindah kemana, tante?”
“Maaf, Zi. Tapi, tante juga nggak tau mereka pindah kemana.” Ucap tante Iin sedih.
Tubuh Shazia langsung lemas, dia tidak tahu harus melakukan apa. Bahkan tempat tujuannya juga sudah tidak ada, keinginan untuk melepas kerinduan dan kembali ke kamar nyamannya yang dulu hancur seketika.
Shazia sekarang, benar-benar seorang diri. Dia sebatang kara.