Azril masuk ke dalam hotelnya di temani oleh Lea. Dia masih di dapur untuk meminum jus apel. Azril mencoba menenangkan diri dari apa yang baru saja terjadi. Dia tunduk lalu mengecek celananya yang sudah tertutup sempurna.
Rasanya malu sekali karena lupa menaikkan resleting celana. Azril menghela napas pelan lalu berjalan menuju kamarnya. Dia melirik kamar Lea yang sudah tertutup, adik kembarnya itu pasti masih mengurus pekerjaan dan akan tidur larut.
Azril berjalan pelan sembari melonggarkan dasinya, dia menghela napas untuk kesekian kalinya lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Bukannya naik ke tempat tidur, Azril memilih membuka pintu di dalam kamar lalu masuk ke ruang kerjanya.
Azril menyalakan komputer lalu mulai menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda. Dia baru tidur sekitar pukul tiga pagi, Azril hanya membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dan seketika tidur karena terlalu mengantuk.
Suara ketukan pintu membangunkan Azril, dia merasa baru saja tidur beberapa menit tetapi begitu membuka mata dia melihat cahaya matahari menyelinap masuk dari jendela.
Tiba-tiba Lea masuk lalu menarik selimut Azril lalu menindihnya.
“Engghh… kamu berat Lea!” protes Azril yang masih mengantuk.
Lea bangun lalu mencubit pipi Azril. “Kebiasaan banget sih tidur naked! Mana pakaiannya berceceran di mana-mana!”
“Biarin aja, Lea. Nggak ada orang juga di kamar hotel ini selain aku.” Ucap Azril sembari memulihkan kesadarannya.
Lea bangun lalu betolak pinggang, “Kalau Ayah sama Bunda datang gimana?”
“Kalau mereka datang ya terpaksa pakai baju pas tidur. Nggak mau cari gara-gara sama Mama, pedes banget cubitannya.” Gumam Azril teringat bunda kesayangannya itu.
Lea terkekeh, “Makanya jangan main-main dan coba kamu hilangin kebiasaan ini Zril. Gimana kalau ada yang pergokin kamu? Apalagi liat kamu shirtless, bisa ngiler.”
“Nggak ada orang yang berani masuk ke kamar ini. Ngomong-ngomong kenapa kamu pagi-pagi sudah rapih?” tanya Azril sembari duduk di kepala tempat tidur.
Lea duduk di pinggir tempat tidur, “Ada pekerjaan tiba-tiba. Aku harus kembali ke Inggris sekarang.”
“Eh, kakek nggak bisa ngurus?” tanya Azril.
Lea menggeleng, “Kliennya ngotot harus aku yang datang atau perjanjian kontrak batal.”
“Ah dasar merepotkan. Siapa orangnya?”
Lea membuka ponselnya lalu memperlihatkan seorang CEO muda yang baru saja naik daun. Azril berdecak lalu kembali memberikan ponsel itu kepada Lea.
“Penerus baru yang bisa mendongkrak perusahaan yang hampir bangkrut menjadi sangat sukses dalam sepuluh tahun terakhir. Dia cukup tampan…”
Perkataan Azril terhenti ketika Lea melemparkan bantal guling ke arah kakak kembarnya itu. “Aku pergi, kak. Oh ya, kakak sudah terlambat ke kantor hari ini. Jadi, nggak usah ke kantor sekalian. Sekali-kali libur sehari ya.”
Azril menoleh cepat ke arah jam dinding dan matanya membulat ketika melihat jarum pendek berada di angka sembilan. “Astaga, Lea! Kenapa nggak bangunin kakak? Ada meeting penting hari ini!”
“Bukannya meeting kakak sore ya?”
Azril yang hampir terjungkal karena terlilit oleh selimutnya sendiri menghentikan gerakannya. “Ah! Kenapa nggak diingetin? Kan masih bisa baring-baring sedikit!”
Lea mendengkus, “Mandi sana! Biar fikirannya fokus, jangan-jangan kakak keingetan cewek tadi malam ya? Yang liat daleman kakak yang imut itu?”
Giliran Azril yang melempar Lea dengan bantal setelah memperbaiki posisinya. Hal itu membuat Lea terbahak, dia berlari ke arah pintu. “Selamat mandi kak! Aku pergi ya.”
Setelah lambaian tangan singkat, Lea pergi dari kamar Azril dan tidak lama kemudian terndengar suara pintu terbuka dan tertutup yang mengindikasikan jika adiknya itu sudah pergi.
Azril menghela napas panjang, dia yang sudah hampir melupakan kejadian semalam malah teringat kembali dengan kejadian itu. Dia ingin mengutuk dirinya sendiri agar kepalanya berhenti memikirkan kejadian semalam.
...
Azril sedang mengemudi, dia baru saja menyelesaikan pertemuannya dengan klien. Hari ini menjadi hari terakhirnya bekerja di bali, lusa Azril akan kembali ke Jakarta untuk mengurus perusahaannya.
Tiba-tiba perutnya berbunyi dan sadar kalau sudah tepat pukul sebelas malam dan dia belum makan malam. Azril langsung mencari restoran cepat saji untuk mengisi perut sebelum pulang ke hotel.
Ketika ingin memarkir mobil, Azril melihat sosok perempuan yang seharian ini membuatnya kesal tetapi sekarang perempuan itu terlihat termenung di depan restoran cepat saji.
Azril keluar setelah memarkirkan mobil tetapi berniat untuk pura-pura tidak melihat perempuan itu. Tetapi rencananya gagal ketika perempuan itu mendekatinya.
“Hai… BAPAK GANTENG!”
Azril terkejut mendengar teriakan itu, dia seperti ingin kembali masuk ke dalam mobil dan melarikan diri. Dia mengusap wajahnya kasar, seharusnya dia menghindari perempuan ini ketika melihatnya tadi. Lihat! Karena teriakan perempuan pendek itu, semua orang yang sedang berlalu lalang di dekat mereka menoleh dan melihat mereka dengan tatapan ingin tahu.
“Ih, Pak. Jangan pura-pura nggak kenal! Saya kemarin lihat celana dalam bapak ada gambar…pffftt!”
Azril membungkam bibir gadis itu dengan telapak tangannya. Dia bahkan tidak sempat mengeluh jijik ketika perempuan pendek itu tidak sengaja menjilat jemarinya karena kaget.
“Diam! Atau saya cincang kamu!” bisik Azril penuh ancaman.
Tetapi, sebagai jawaban perempuan pendek cerewet itu malah melebarkan mata seolah ingin membantah kata-katanya. Azril tidak ingin melepaskan telapak tangannya, dia takut perempuan itu akan melanjutkan ucapannya tadi.
“Akan kuberi ongkos pulang…”
Azril belum menyelesaikan kata-katanya dan sudah melihat perempuan itu menatapnya dengan tatapan berbinar bahagia sembari mengangguk. Azril tersenyum miring, cih…dasar pencuri kecil.
Azril melepaskan tangannya dari mulut perempuan kecil itu. “Bapak janji kan?”
“Iya.” Ucapnya cuek.
Perempuan itu tersenyum lebar, “Saya sangat beruntung ketemu bapak di sini…”
Iya, saya yang kena sial!
“Perkenalkan, nama saya Shazia. Biasanya di panggil Zizi.” Ucap perempuan itu mengulurkan tangannya kepada Azril.
Nama yang cantik, batin Azril.
Azril menyambut uluran tangan Shazia dengan sopan, “Azril.”
Shazia menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa bapak tiba-tiba irit bicara? Sariawan?”
Azril ingin sekali menjitak perempuan cerewet yang selalu menempel kepadanya ini. Tetapi, dia tidak ingin kembali menjadi pusat perhatian. Azril hanya menghela napas lalu memesan makanan.
Di belakangnya, Shazia cemberut karena di abaikan. Dia keluar dari restoran cepat saji itu karena hanya membuatnya lapar. Sebenarnya, Shazia sudah sejak tadi berdiri di sini dan menunggu temannya. Tetapi, temannya itu meninggalkannya sendiri karena lupa menjemputnya.
Shazia menghela napas panjang sembari duduk di pembatas parkiran. Dia mengecek dompetnya yang hanya tersisa uang hijau satu lembar. Itulah alasannya dia menunggu di sini, temannya tadi mengatakan akan singgah makan dan mengantarnya pulang tetapi ternyata temannya itu tidak datang.
Shazia merasa kecewa dan sakit hati tetapi dia hanya bisa sabar. Dia memutuskan untuk berhenti berhubungan dengan temannya itu, selain pembohong, dia hanya di manfaatkan saat mereka membutuhkannya. Padahal dia sudah menunggu berjam-jam seperti orang bodoh di depan restoran cepat saji ini.
Shazia merasa ingin menangis tetapi dia tidak ingin menambah buruk keadaannya. Sekarang yang harus dia pikirkan adalah menagih janji Azril untuk memberikannya ongkos. Dia sangat membutuhkan itu karena tidak mungkin dia pulang dengan uang selembar ini.
“Hei, apa yang kau lakukan disitu? Seperti pengemis?” ejek Azril dengan membawa sebuah kantong pelastik beraroma lezat dari dalam restoran.
Shazia mengerucutkan bibirnya, “Enak aja! Masa cantik-cantik kayak gini dibilangin pengemis. Lagi nungguin bapak-lah, kan katanya mau kasih ongkos. Mana?”
Azril melihat tangan Shazia terlulur kepadanya. “Ck, nanti. Sekarang makan dulu, yuk.”
Shazia melebarkan matanya lalu berkaca-kaca, “Makasih Pak. Makan di mana?”
Bibir Azril bekedut karena menahan senyum, dia melihat tingkah Shazia sangat polos, alami dan tidak dibuat-buat. “Di taman dekat sini, kayaknya masih bisa makan di sana.”
“Kenapa nggak di dalam aja?” tanya Shazia.
Azril menggeleng, “Katanya sudah mau tutup. Yuk.”
Shazia berusaha mensejajarkan dirinya dengan Azril tetapi tetap saja pria itu tidak bisa di susul karena kaki pria itu sangat panjang. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya.
Mereka sampai di taman lima menit kemudian, Azril memang membeli dua porsi karena ketika dia berbalik tadi tidak menemukan Shazia dan dia sedikit iba ketika melihat perempuan itu hanya duduk sendiri di tempat parkir.
“Apa kamu juga kerja di sini?” tanya Azril.
Shazia menggeleng, perempuan itu lalu bercerita kenapa dia bisa berada di tempat ini. Azril hanya mendengarnya tanpa bertanya, dia melihat Shazia sangat kecewa dan sedih, belum lagi ketika melihat gadis itu makan. Mungkin dia sudah sangat kelaparan sejak tadi.
Azril sebenarnya tidak pernah seperti ini kepada perempuan asing, apalagi dia baru melihat Shazia kemarin. Perempuan ceroboh yang melayaninya dan melihat celananya.
Walaupun sangat cerewet dan belak-belakan, tetapi Shazia bisa menghiburnya. Rasa lelah dan penat seharian bekerja itu seperti menguap ketika mendengar celetukan lucu Shazia.
“Zia, asal kamu dari sini?” tanya Azril.
Shazia menggeleng, “Bukan, aku dari Sulawesi. Merantau ke sini karena di suruh tante, dapat kerjaan jadi pramusaji dari pada tinggal di sana jadi pengangguran.”
Azril mengangguk-anggukkan kepala, ketika serius, Shazia tampak seperti perempuan yang berpendidikan. Walaupun bibirnya itu akan selalu berceloteh apa saya yang terlintas di kepalanya.
“Bapak orang sini?”
“Bukan, dan bisa kamu berhenti memanggil saya ‘bapak’? Saya bukan bapak kamu!” ucap Azril penuh penekanan.
Shazia terkekeh, “Eh, udah kebiasaan. Kan bapak—eh, kamu pelanggan restoran ditempat saya bekerja.”
“Apa kita lagi di restoran?”
Shazia kembali menggeleng, “Bukan sih, tapi masa saya cuma manggil bapak… kamu.” Shazia tidak sengaja menggigit lidahnya ketika mendapat lirikan tajam dari Azril. “…pakai nama?”
“Itu lebih nyaman.” Ucap Azril.
Shazia mengangkat bahu, “Oke, Zril. Ih, aneh banget dilidah! Bapak aja deh ya? Lebih nggak belibet gitu. Punya nama susah banget sih, Pak?”
Azril menghela napas panjang lalu menatap Shazia skeptis, “KAMU!”
Shazia tertawa, tawanya sangat renyah sampai membuat Azril terpana. “Ampun, cuma becanda. Jadi, kamu cuma berkunjung disini?”
Azril menenangkan dirinya, “Lebih tepatnya bekerja, lusa saya sudah pulang ke Jakarta.”
Shazia mengangguk pelan, “Boleh ikut, Zril?”
“Ngapain? Saya bisa gila kalau bawa kamu balik ke Jakarta. Cerewetnya ngalahin bebek.” Ucap Azril sebal.
Shazia cemberut, “Kalau ngomong suka bener deh. Yah, tapi memang sudah kebiasaan begini, jadi nggak bisa tiba-tiba jadi pendiam. Kalau saya berubah jadi pendiam, berarti ada yang salah.”
Azril hanya menggelengkan kepala ketika mendengar penjelasan perempuan itu. Memang benar, ketika seseorang berubah dari apa yang biasa dia tunjukkan sebelumnya berarti ada yang salah, seperti apa yang dia lakukan sekarang.
Dulu, Azril sosok ramah dan periang. Dia sering bercanda dan berceletuk agar orang yang sedang bersamanya merasa nyaman. Seperti apa yang dia lakukan sekarang bersama Shazia.
Tiba-tiba, sekujur tubuh Azril terasa dingin. Dia baru saja bersikap biasa dengan Shazia. Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan selama beberapa tahun. Bagaimana dia bisa tidak mengontrol dirinya seperti ini?
Azril langsung berdiri lalu mundur satu langkah membuat Shazia yang sedang menjilat tangannya menatap Azril dengan kening berkerut. “Kenapa? Liat hantu?”
“Memangnya ada?” tanya Azril.
Shazia mengangguk polos dan itu membuat Azril kembali duduk di kursinya. “Serius?”
“Nggak, becanda. Zril, itu kulit ayamnya mau di buang?” tanya Shazia.
“Iya, nggak terlalu suka.” Jawabnya sembari mencuci tangan dengan air mineral.
Shazia mengambil kulit ayam itu, “Udah kenyang? Itu nasinya masih ada loh Zril.”
“Kalau mau ambil aja.” Ucap Azril masih berusaha membersihkan tangannya.
Azril tidak menduga jika Shazia benar-benar mengambil sisa nasi yang tidak dia habiskan. Dia langsung menahan tangan Shazia yang sedang mengambil nasi sisa miliknya.
“Mau ngapain?” tanay Azril dengan mata membulat.
Shazia menepis tangan Azril, “Mau makan, sisanya masih banyak. Nggak boleh buang-buang makanan. Masih banyak orang yang bahkan mau makan sisa dari pada nggak makan sama sekali, Zril.”
Azril membeku, dia melonggarkan cengkramannya dan membuat tangan Shazia lepas. Perempuan itu makan nasi yang dia sisa dengan lahap dan membersihkannya tanpa terlihat satu butir nasi pun.
“Makasih, traktirannya. Aku balas kapan-kapan ya.” Ucap Shazia.
Azril tidak berkata apa-apa, dia hanya memberikan sebotol air mineral kepada Shazia setelah gadis itu membersihkan sampah makanan mereka. Setelah semua selesai, mereka kembali ke mobil Azril.
Ketika Azril mengeluarkan dompet dan memberi Shazia lima lembar uang merah, gadis itu menahannya. “Jangan, kamu sudah traktir makan. Aku bukan mau malak kamu.”
“Eh, bukan itu maksudku..”
Shazia tersenyum, “Pokoknya terimakasih traktirannya. Setidaknya, aku bisa pulang dalam keadaan kenyang.”
Azril tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya mengangkat bahu lalu kembali memasukkan dompetnya ke dalam saku celana. “Terus kamu mau kemana sekarang?”
“Mau pulang dong, nggak mungkin saya bermalam di sini.” Jawab Shazia.
Azril mengangguk pelan, “Hati-hati.”
Shazia tersenyum, “Sekali lagi terimakasih, hati-hati di jalan.” Ucapnya lalu pergi dari hadapan Azril.
Azril masuk ke dalam mobil lalu memakai sabuk pengaman. Dia menghentikan bibirnya untuk menawarkan diri mengatar Shazia pulang. Tetapi, dia masih penasaran dengan gadis itu tingagl di mana.
Azril memutuskan untuk mengikuti Shazia dan menemukan ternyata gadis itu pulang dengan berjalan kaki. Shazia sesekali berjalan lucu dengan melompat, mungkin untuk menghibur diri karena harus pulang dengan berjalan kaki.
Azril ingin menghentikan perbuatannya ketika merasa Shazia pulang dengan aman dan gembira tetapi ketika dia ingin berputar arah, dia tiba-tiba melihat perempuan itu di hadang oleh tiga orang pria dengan tatapan berbahaya.
Azril langsung memutar arah mobilnya, tetapi pandangannya tidak berhenti menatap Shazia dan ketika dia sudah berada di arah sebaliknya Azril melihat perempuan itu benar-benar dalam bahaya ketika pria-pria itu mulai menyeretnya.
Azril mengambil keputusan cepat, dia meninggalkan dompet dan juga barang penting lainnya. Dia langsung berlari menyebrang jalan dengan kecepatan penuh, Azril tidak tahu kenapa Shazia membuatnya berbuat diluar akal sehatnya tetapi gadis itu benar-benar membangunkan sesuatu yang lama tertidur di dalam dirinya.
Azril sampai di seberang jalan dengan kecepatan kilat lalu berteriak, “Berhenti! Lepaskan dia!”