Semua murid kelas berbeda terdiam beberapa saat mengamati ekspresi guru muda yang baru saja melangkah masuk ke kelas mereka itu. Dan juga mengucap salam dengan ramah.
Jaya memandangi itu dengan sorot mata tajamnya, mengamati setiap gerak-gerik guru baru. Seperti ada sinar laser yang keluar dari kedua bola matanya. Pemuda itu tidak akan terpedaya lagi dengan kebaikan palsu.
"Bapak beneran guru baru yang ganti Pak Jaelani?" Hendrik membuka pertanyaan dengan alisnya yang bertautan membuat sosok jangkung di hadapan mereka itu mengangguk membenarkan.
"Pak Jaelani tidak bisa mengajar lagi karena ada hal penting yang harus beliau lakukan. Jadi, be––"
"Hal penting apa?" Semua sontak melotot kaget dan langsung menoleh ke belakang meja Jaya di sudut kiri. Pemuda itu barusan bertanya dengan suara dinginnya. Guru di depan pun nampak mengerjap samar sembari membalas tatapan Jaya lurus. "Jelasnya bapak tidak tahu," Jaya tersenyum miring sembari menggelengkan kepalanya heran. "Tidak perlu memaksakan diri. Kalau memang orang itu pergi kabur, bilang saja kabur. Gak usah beralasan karena ada hal penting, saya dan teman-teman tidak sebodoh itu," Jaya masih membalas dengan ekspresi keruhnya.
Tidak ada yang berani melerai, Lucas di bangkunya sudah menendang-nendang kecil ke arah Hendrik menyuruh pemuda itu untuk membuka suara.
"Orang itu?" Ulang guru tampan itu dengan alis terangkat tinggi, "iya, orang itu." Sahut Jaya masih dingin.
"Namanya Pak Jaelani, bukan orang itu." Balas guru itu lagi dengan menatap Jaya tenang, "dan satu lagi, saya tidak memaksakan diri. Saya ke sini memutuskan mengajar karena permintaan beliau. Pak Jaelani gak kabur seperti yang kamu maksud, jadi jangan sembarangan bicara." Jaya mengeraskan rahang mendengar balasan dingin itu. "Bapak membela diri sekarang?"
"Emangnya apa yang saya bela? Saya melakukan kesalahan?" Jaya makin menajamkan pandangannya membuat Azzam menguasai ekspresi wajahnya, masih bersikap tenang seperti biasa. "Bukannya sudah jelas, orang itu kabur meninggalkan tanggung jawabnya sebagai wali kelas dan sekarang malah digantikan oleh anda, kan? Tapi, masih mau beralasan ada hal penting yang harus dia lakukan." Jaya menggeleng tidak percaya, "terlalu lucu untuk dipercaya."
Azzam terdiam sesaat, belum menanggapi omongan Jaya. Tatapannya masih mengarah pada muridnya itu yang jadi jengah sendiri karena ditatap lama begitu.
"Ah, jadi kau yang bernama Jaya Mahesa. Yang selalu mengandalkan otot duluan daripada otaknya?" Jaya menegakan tubuh, merasa tersinggung.
"Eung ... bapak, sebaiknya ja––"
"Hendrik, bapak belum menyuruh kamu ngomong ya. Jangan dipotong dulu," Hendrik dan murid-murid lain menegak kaget mendengar itu. Padahal belum ada sesi pengenalan diri tapi sosok jangkung di hadapan mereka itu seakan mengenali mereka semua.
Hendrik jadi merunduk dan menganggukan kepala menurut, Jaya di meja sudut masih mengeraskan rahangnya dengan tatapan dinginnya.
"Jaya Mahesa, bisa jelaskan ... kenapa kamu seyakin itu kalau Pak Jaelani hanya beralasan saja meninggalkan tanggung jawabnya seperti yang kamu katakan. Kalau alasan kamu masuk akal, bapak akan kasih kamu pulang cepat hari ini." Semua kembali melotot, bahkan Niki yang sedari tadi mengantuk mendadak segar kembali mendengar tawaran menarik itu.
"Kenapa saya harus menjelaskan sama, anda?"
Azzam tersenyum samar mendengar nada tajam itu, "karena kamu sudah mencermarkan nama baik Pak Jaelani." Balas guru muda itu dengan tenang.
"Kapan saya mencemarkan nama baik Pak Jaelani?"
"Bukannya sudah jelas, orang itu kabur meninggalkan tanggung jawabnya sebagai wali kelas dan sekarang malah digantikan oleh anda, kan? Tapi, masih mau beralasan ada hal penting yang harus dia lakukan." Ulang Azzam meniru perkataan Jaya sembari tersenyum samar, "itu perkataanmu tadi, kan?" Jaya mengeraskan rahang jadi mati kutu sendiri.
Hendrik pun sudah meracau lirih dalam hati, merasa asing dengan suasana tegang di dalam kelas. Apalagi Jaya yang biasanya diam-diam saja mendadak membalas perkataan guru baru itu.
"Jadi, saudara Jaya Mahesa. Alangkah lebih baiknya anda sebagai ketua kelas, memikirkan omongan anda dulu sebelum bicara. Karena gak semua yang anda lihat di satu sisi, dengan satu mata anda... itu gak sepenuhnya benar." Jelas Azzam tersenyum tenang dengan melangkah ke arah mejanya sendiri, menaruh absen di dalam sana.
"Karena sekarang saya bertanggung jawab sebagai wali kelas kalian. Saya akan sedikit memberikan bocoran tentang alasan kenapa Pak Jaelani memutuskan mengundurkan diri." Azzam mengambil spidol hitamnya sembari berbalik dan menulis di papan putih di belakangnya.
Tanggung jawab.
"Kalian tau, Pak Jaelani diberi tanggung jawab sebagai wali kelas kalian tahun ini." Jelas Azzam setelah menuliskan dua kata itu pada papan, kembali berbalik menutup spidol dan memandangi semua muridnya satu-persatu. "Itu bukan karena dia adalah guru kompeten, tapi karena dia adalah guru honor. Guru yang tidak punya kuasa untuk menolak tanggung jawab besar ini." Lanjut Azzam masih menjelaskan lalu tatapannya terhenti pada salah satu bangku dimana ada sosok pendiam di sana.
"Kalian pikir menjadi wali kelas murid-murid bermasalah seperti kalian adalah sesuatu yang perlu dibanggakan?" Jeda Azzam masih tidak melepas tatapannya pada bangku sebelah kanan Jaya. "Pak Jaelani saat terpaksa menerima mandat dari kepala sekolah sampai jatuh sakit karena kepikiran."
Jaya menaikan alisnya mendengar itu, "beliau sekarang punya istri yang sedang hamil tua. Butuh banyak biaya untuk operasi melahirkan, tapi karena ada satu hal ... beliau akhirnya mengundurkan diri, bukan karena kemauannya sebenarnya. Tapi, memang itu hanya satu-satunya cara yang bisa beliau tempuh." Jaya mendecak mendengar omong kosong itu.
"Pak Jaelani memutuskan untuk berhenti karena masalah Satria Adipati." Jaya menegak kaget sembari menoleh pada Satria yang masih diam seperti biasa.
Murid-murid lain pun jadi saling pandang dengan ekspresi yang sulit mereka kendalikan.
"Satria Adipati, bisa dijelaskan?"
Satria memejamkan matanya sesaat, lalu mengangguk membenarkan membuat teman-temannya jadi saling pandang dengan ekspresi kaget.
"Kenapa Satria bisa kembali ke sekolah dan duduk bersama kalian sekarang. Itu semua karena Pak Jaelani, yang seorang Jaya Mahesa curigai kabur." Sindir Azzam dengan nada santainya, "bapak sama sekali gak berniat membuka aib Satria. Hanya ingin meluruskan saja. Agar tidak ada kesalahpahaman lagi di antata kalian dan juga Pak Jaelani." Sambungnya sembari mendudukan diri pada mejanya.
"Lebih jelasnya kalian bisa tanyakan sendiri pada Satria, kalau dia mau menjelaskan." Ujar Azzam lagi sembari membuka absen dalam tangannya. "Jadi, Jaya Mahesa."
Jaya menegakan tubuh saat mendengar panggilan guru di depan kelas. "Kamu kan paling tidak suka kalau guru-guru menjudge kalian dengan hal buruk. Lalu, kenapa kamu melakukan itu terhadap guru kalian sendiri?" Jaya terdiam lama, memandang lurus guru barunya itu yang baru hari pertama sudah berdebat dengannya.
"Kalau ingin dihargai, maka hargailah orang lain. Kalau tidak ingin orang lain melakukan hal yang tidak kalian suka, maka kalian pun harus bisa melakukan itu." Kata Azzam lagi tersenyum, "konsep hidup itu sederhana kan, manusianya saja yang terlalu ribet."
Azzam kembali beranjak berdiri dengan melemparkan senyum hangatnya. "Jadi, perkenalkan nama bapak Azzam Reyhan Reswara. Panggil saja Azzam." Ujarnya baru memperkenalkan diri.
"Semoga satu semester ke depan kita bisa akur-akur ya," senyumnya dengan mengamati ekspresi muri-muridnya. "Setelah bapak lihat sendiri dengan mata kepala bapak, kalian semua memang berbeda ya dari murid-murid lain." Lanjutnya dengan mengangguk-nganggukan kepalanya mengerti.
Jaya masih memasang ekspresi kaku, Hendrik juga masih tidak paham dengan guru baru mereka itu. Terkesan misterius dan sulit dimengerti eskpresinya seperti guru-guru kebanyakan.
Terkesan tenang tapi juga tegas. Seperti memarahi tapi terdengar lembut seperti menasehati.
Tatapannya juga tajam tapi di sisi lain juga meneduhkan. Ada hal aneh dari gurunya ini, yang membuat Hendrik dan teman-temannya penasaran. Sebenarnya apa isi kepala guru barunya itu.
Seperti ada tujuan lain kenapa guru bernama Azzam itu mau menjadi wali kelas mereka menggantikan Pak Jaelani.