Eternal Sunshine

1077 Kata
Kepala sekolah, Darwis Maulana tengah duduk bersandar pada kursi kebesarannya. Rahangnya mengeras memandangi surat pengunduran di di atas mejanya. Belum genap satu minggu, Jaelani si guru honor yang menjabat sebagai wali kelas anak-anak berbeda langsung memutuskan untuk keluar secara sepihak. Tanpa bertemu terlebih dahulu dengan kepala sekolah. Hanya mengirim surat melalui tukang ojek. Kurang tidak sopan bagaimana lagi itu. Padahal kepala sekolah sudah memberinya kesempatan untuk bisa menjadi orangtua anak kelas berbeda. Tapi, malah disia-siakan begitu saja. Tidak bersyukur sama sekali. Pria yang rambutnya sudah beruban itu memicingkan matanya saat mendengar pintu ruangannya diketuk dari luar. Ia pun membuang suara menyuruh orang di luar untuk segera masuk. Pintu terbuka lebar menampilkan sosok jangkung yang tingginya mungkin 182 cm. Punya wajah tampan dengan alis tebal yang membuat fitur wajahnya terkesan maskulin. Rahangnya tegas dengan dagunya yang terbelah. Sorot matanya teduh menenangkan. "Assalamu alaikum, pak." Kata sosok itu melemparkan senyum membuat Darwis menaikan alisnya tinggi. "Anda siapa?" Sosok itu mendekat dengan menyodorkan map cokelat berisi formulir lengkapnya. "Saya ke sini untuk menggantikan Pak Jaelani yang cuti untuk sementara waktu," ujar pemuda itu masih tersenyum sopan. "Jadi, Pak Jaelani menyuruh anda menggantikan beliau tanpa berbicara terlebih dahulu pada saya?" Ketusa kepala sekolah sudah mengomel. "Saya juga tidak tahu kalau Pak Jaelani belum membahas masalah sepenting ini dengan bapak. Tapi, memang sekarang Pak Jaelani sedang dilanda masalah. Ada hal yang harus beliau urus secepat mungkin." Jelas sosok itu dengan suara lembutnya, terdengar tegas tapi masih merdu di telinga. "Saya mau meminta maaf karena sudah lancang datang kemari. Tapi, kedatangan saya bukan karena permintaan Pak Jaelani." Jedanya sekilas menipiskan bibir. "Saya ingin bertemu dengan anak-anak kelas berbeda, pak." Darwis tersenyum miring seakan meremehkan. "Anda ke sini mencari penderitaan ternyata." Sindirinya sembari menutup kasar berkas milik sosok jangkung itu. "Yasudah, anda boleh mengajar mereka. Tapi, dengan satu catatan ... jangan sampai mereka kembali buat masalah. Kalau anda sampai kecolongan, anda akan langsung saya pecat." Ancam Darwis dengan menghela napas membuat perut buncit semakin mengembang. "Nama anda siapa?" Pemuda tampan itu tersenyum lembut, "Azzam Reyhan Reswara, panggil saja Azzam." Jelasnya menganggukan kepalanya sopan. "Kalau begitu anda sekarang temui mereka, semoga anda bisa betah setidaknya selama seminggu di sini." Azzam agak tidak paham, namun mencoba mengangguk saja lalu menarik diri keluar dari ruangan yang terasa sumpek itu walau berAC. Pemuda yang memakai kemeja dengan lengannya yang digulung itu melangkah ke arah mading. Mencari denah sekolah dan keberadaan kelas berbeda dimana. Sorot mata teduhnya menyapu semua denah sekolah Garuda itu beberapa menit, lalu kepalanya mengangguk pelan sudah paham. Ia pun melangkahkan kakinya dengan menuruni tiga tangga di teras ruang guru itu tenang. Kepalanya tergerak memandangi lapangan luas di sampingnya. Ada beberapa anak cowok di sana yang tengah bermain basket dengan ekspresi malas-malasan. Beberapa dari mereka juga sudah duduk selonjoran di pinggir lapangan mencari kesempatan untuk berteduh. Ketika seseorang melakukan olahraga, maka tubuh akan lebih cepat kehilangan cairan tubuh dan menyebabkan terjadinya dehidrasi. Itu mungkin menjadi alasan sebagian orang malas olahraga dan terkena cahaya matahari. Padahal sekarang waktu yang bagus untuk olahraga. Panas matahari bagus untuk pembentukan vitamin D yang berfungsi untuk kesehatan tulang. Sangat disayangkan kalau anak-anak di lapangan sana menyia-nyiakan itu. Azzam sudah melenggak masuk ke dalam kelas yang tertera nama Kelas Berbeda di papan pintu. Dinding kelasnya masih kosong. Belum ada gambaran struktur organisasi kelas. Denah kelas dan juga jadwal mata pelajaran. Benar-benar masih kosong. Jaelani belum melakukan tugasnya sepenuhnya. Azzam tidak tahu kenapa teman sekolah saat di sekolah menengah pertama itu memutuskan untuk berhenti. Katanya cuti, tapi ternyata mengundurkan diri secara sepihak. Bahkan, kepala sekolah saja belum menyetujui keinginan Jaelani itu. Bel pergantian jam pelajaran membuat Azzam melangkah keluar. Sudah puas juga melihat-lihat isi kelas berbeda yang belum ada hal spesial yang ia temukan di sana. Pemuda yang baru berumur 20 tahun itu merupakan pengajar di salah satu pondok yang bernama Cahaya Islam. Ia salah satu pengajar termuda di sana yang mengajar santri-santrinya dalam berbagai bidang yang dikuasainya. Ilmu agama dan dunia seimbang. Ia memiliki kedua poin penting itu dan semoga sedikit banyaknya bisa diajarkannya nanti pada calon murid-muridnya. Dan Azzam berharap kedatangannya ke sekolah Garuda itu bisa membuatnya jadi punya pengalaman indah bersama anak-anak kelas berbeda. ** Bastian memasukan seragam olahraganya asal ke dalam ransel. Tangannya berulang kali menekan-nekannya kasar, entah kenapa jadi emosi sendiri. Pemuda itu meraih ranselnya cepat lalu melangkah keluar kelas ingin bolos saja. Karena tidak ada hal menyenangkan lagi di sekolah, terlebih lagi di kelas. Bukan hanya sekolah yang memandang mereka dengan sebelah mata. Tapi, juga wali kelasnya sendiri yang sekarang pergi meninggalkan mereka. Bahkan, belum ada seminggu mengajar. Mungkin mereka sememuakan itu sampai tidak ada yang bisa bertahan lama untuk mengajar mereka. "Jadi, sekarang kelas kita gak ada wali kelasnya?" Mark lebih dulu membuka suara, kini berdiri di depan kelas dengan ekspresi bingungnya. Bastian yang hendak pergi jadi mengurungkan niat, duduk kembali di bangkunya. "Ya, mau dimana lagi. Pak Jaelani kesal kali karena kita udah bikin masalah aja." Sahut Bento sembari mengganti seragamnya malas-malasan membuat Yuta di sebelahnya sengaja mendorong pemuda itu sampai terjatuh. "Apanya yang buat masalah? Kita kan emang masih dalam prosesnya berbuat onar. Jadi, setidaknya dimaklumilah. Kenapa harus baperan begitu," sahut Bastian kali ini dengan santainya membuat Jaya di bangku pojok jadi berekspresi tajam. "Tapi, tenang ... sekarang ada guru pengganti." Yogi menambahkan berusaha serius kali ini. "Palingan juga tiga hari bertahan, habis itu kabur lagi, asu." Umpat Eric yang langsung di tabok Gilang kasar. "Bodo amatlah, gue kalau terus-terusan begini. Mau pindah sekolah aja, bokap juga pasti bisa bayarin sekolah yang lebih bagus dari ini." Mark sudah menyombongkan diri lalu merapatkan bibir saat pintu diketuk pelan dari luar. Semua murid kelas berbeda jadi menoleh ke arah pintu yang terbuka kecil, menampilkan sosok jangkung berwajah teduh itu yang kini mengucap salam sembari melempar senyum. Ya, senyum. Selama ini beberapa guru yang masuk mengajar tidak ada yang memperlakukan mereka dengan baik. Hanya basa-basi mengucap selamat pagi, lalu mulai mengabsen dan memberikan materi. Ekspresi mereka semua sama, air mukanya keruh dengan kening mengkerut berusaha menahan rasa lelahnya. Padahal baru beberapa menit duduk di dalam kelas berbeda. Jaelani juga sering senyum, tapi terkesan terpaksa. Seperti senyuman tidak tulus, hanya sebagai basa-basi saja. Tapi, sosok di hadapan mereka itu kini benar-benar tersenyum. Gerakan otot orbicularis oculi yang menyebabkan matanya menutup seperti membentuk bulan sabit. Dan juga ada kerutan pada ujung luar mata kanan dan kiri. Hendrik dan teman-teman kelasnya terdiam beberapa saat, dalam hati berharapa semoga guru di hadapan mereka itu berbeda dari guru-guru yang kabur meninggalkan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN