17-Pukul Nyamuk

1028 Kata
Mahesa menatap kesal ke arah Helen yang benar-benar tak tahu malu sekali kalau ia ingin ikut dengannya dan juga Dinda. "Ya, ya, gue ikut ya," pinta Helen dengan duduk di hadapan Mahesa dan menatap ke arah pria itu penuh minat. Sapa juga yang gak minat sama Mahesa? Mahesa adalah idaman para perempuan. Udah cool, pinter dan gak neko-neko. Mahesa hanya terkenal siswa yang sering sekali terlambat masuk kelas! "Sapa yang ngajakin lo?" Mahesa berucap tanpa rasa bersalah sama sekali karena telah menyakiti hati gadis itu di depan Dinda dan beberapa teman lainnya yang berada dekat mereka. Sebagai anak remaja perempuan yang cukup populer, mendengar penolakan dari Mahesa barusan benar-benar membuatnya sangat kesal karena belum ada satu orang pun yang berani menolaknya seperti sekarang ini, seperti yang dilakukan oleh Mahesa barusan. "Kenapa lo gak mau ngajak gue? Sedangkan lo mau ngajak Dinda?" tanya Helen tak terima. "Emang perlu gitu gue jelasin ke lo kenapa gue ngajak Dinda dan gak ngajak lo?" tanya Mahesa. "Iya, donk! Gue perlu tahu alasannya!" kata Helen. "Emang lo siapa gue? Kenapa gue harus ngomong sama lo tiap kali gue mau jalan?" tanya Mahesa balik. Helen menatapnya penuh kekesalan tapi Mahesa tak peduli sama sekali. Tapi bukan Helen namanya kalau ia tak bisa membuat Mahesa mengabulkan keinginannya untuk ikut serta. Helen pun menoleh ke arah Dinda yang memilih diam saja dari tadi dari pada ikut bicara dan membuat Mahesa marah, "lo keberatan, Din, kalau gue ikut lo dan Mahesa jalan? Kalian gak pacaran, kan?" tanya Helen dengan wajah polosnya. Ditanya seperti itu jujur saja membuat Dinda merasa bingung harus menjawab apa kepada Helen yang nampak sangat polos di depannya. Ia menatap wajah Mahesa, tapi sayang wajah Mahesa nampak kaku dari samping dan tak menoleh sama sekali ke arahnya. "Gue sih gak keberatan kalau lo ikutan kita. Masalahnya, gue yang diajak sama Mahesa bukan mau gue sendiri buat pergi," kata Dinda menjelaskan kepada Helen. "Dinda aja gak keberatan gue ikutan, masak iya lo keberatan gue ikutan, Hes?" tanya Helen dengan nada sedih yang dibuat-buat. "Lo punya kaki, lo bisa jalan sendiri kemanapun lo mau," kata Mahesa. "Dinda juga punya kaki dan dia juga bisa jalan sendiri. Kenapa lo ajak dia dan lo gak ngajak gue?" tanya Helen tak mau menyerah. Mahesa menghela napasnya cukup berat lalu menghembuskannya kasar. "Suka-suka gue mah kalau mau ngajak siapapun!" kata Mahesa kesal. Mahesa berdiri dari kursinya lalu menendang kursi itu sedikit keras hingga membuat Helen dan Dinda cukup kaget. Setelah kepergian Mahesa dari kelas meski jam istirahat telah berakhir dan waktunya pelajaran bahasa Indonesia dimulai, Dinda nampak sangat cemas karena Mahesa tak kunjung kembali ke kelas. Berulang kali ia celingukan keluar kelas. "Dia kalo lagi marah emang gitu, suka pergi gak jelas," bisik Sasi temen yang duduk di depannya di sebelah Helen. "Lo tahu dia pergi ke mana?" tanya Dinda. Sasi mengangkat bahunya "Ajakin gue jalan berdua sama lo dan Mahesa, donk," pinta Helen tiba-tiba lagi ke Dinda. "Lo bisa ngomong sendiri ke Mahesa, Len. Gue takut kena marah sama dia lagi," kata Dinda. "Mahesa suka sama lo ya, Din?" tanya Helen dengan mata yang berkaca-kaca. Seolah ia sedang bersedih hati karena sang pujaan hati lebih memilih temen barunya daripada dirinya. "Kok lo bisa mikir gitu?" tanya Dinda merasa tak enak hati setelah melihat Helen akan menangis. "Karena cuma lo yang mau diajak jalan, dia gak mau ngajak gue," kata Helen lagi ke arah Dinda. Itu karena dia punya janji ke gue. "Ya mungkin karena gue anak baru di sini dan gue juga baru di Malang makanya Mahesa pengen ngenalin Malang ke gue kayaknya, Len, " kata Dinda menjelaskan. "Tapi tetap saja kenapa gue gak diajak. Tolong bujukin Mahesa buat ngajakin gue donk. Lo kan tahu kalau gue suka sama dia," kata Helen pada Dinda. Dinda meragu dengan apa yang baru saja diminta sama Helen. "Maaf gue gak bisa," jawab Dinda. Helen kesal memohon terus ke Dinda. Ia pun kembali mengubah arah pandangannya ke depan dan mendengarkan guru bahasa Indonesianya menjelaskan pelajaran menulis cerita fiksi. Kalau gue gak bisa ikut ke mall, maka jangan harap lo juga bisa pergi, Din! Satu jam kemudian mata pelajaran bahasa Indonesia itu berakhir dan Mahesa sama sekali telah melewatkan mata pelajaran itu. Dinda mulai mencemaskan Mahesa dan ia berinisiatif untuk mencarinya. "Mau ke mana?" tanya Sasi pada Dinda yang berdiri dari kursi tempatnya duduk. "Mau cari ... Angin," kata Dinda. Ia hampir saja menyebut nama Mahesa di depan Sasi dan juga Helen. Dinda tak ingin Helen semakin cemburu kepadanya. "Ohh, ya udah sana gih," kata Sasi. "Keburu bu Metha masuk," imbuhnya dan Dinda mengangguk. Dinda keluar dari kelas dan ia menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat situasi apalagi kehadiran bu Metha sebentar lagi di kelasnya. Gue harus cari Mahesa ke mana coba? Kenapa juga dia harus kesel sama Helen. Tinggal jalan bertiga aja apa susahnya sih? Dinda kesal tapi ia juga masih peduli, terlebih karena gara-gara perjanjian yang mereka buat membuat Dinda tak enak hati sebab Mahesa harus ketinggalan satu mata pelajaran barusan. Sampai di perpustakaan setelah mengingat apa yang dikatakan teman-temannya soal Mahesa yang gemar membaca itu, Dinda akhirnya menemukan Mahesa di sudut perpusatakaan dan sedang membaca sebuah buku dengan serius. Tak ingin membuang-buang waktu, Dinda segera menghampiri Mahesa yang sedang duduk menikmati membaca buku tebal itu. "Lo di sini?" tanya Dinda kesal. Mendengar suara Dinda di dekatnya, Mahesa mendongakkan kepalanya dan heran melihat Dinda ada di perpusatakaan. "Lo ngapain ke sini?" tanya Mahesa dingin setelah ia kembali fokus dengan buku tebalnya. "Ya nyari lo lah!" jawab Dinda sebal. "Lo udah gak ikut mata pelajaran bahasa Indonesia masak iya lo mau lewatin pelajaran agama?" tanya Dinda. "Gue lagi sibuk! Gak lihat apa kalau gue lagi serius baca?" jawab Mahesa dingin. "Membaca kok sibuk? Lo aneh-aneh aja deh!" kata Dinda mengejek. "Trus mau lo ke sini apa?" tanya Mahesa. "Gue mau minta maaf karena gue lo jadi bertengkar sama Helen. Gue bener-bener gak masalah sama sekali kalau kita ngajak Helen buat jalan!" "Brakk!" buku tebal bersampul hardcover itu digebrak oleh Mahesa hingga membuat Dinda kaget bukan main. Dinda jadi takut. Ia belum pernah melihat Mahesa marah sebelumnya. "Dasar nyamuk sialan! Mati lo!" seru Mahesa. Eh? Dia pukul nyamuk? Bukannya marah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN