Mahesa menatap dirinya di cermin. Ia tersenyum kecil. Selain Mahesa sangat tampan, ia juga sudah wamgi. Setelah memastikan bahwa minyak rambut yang ia semprotkan ke tubuhnya sangatlah wangi akhirnya ia turun ke bawah untuk ikut sarapan bersama dengan mama dan papanya. Penampilan Mahesa yang semakin stylish dan bau harum wanginya yang semerbak itu membuat Safira dan sang suami saling pandang dengan tatapan heran satu sama lain. Mahesa tak pernah seperti ini sebelumnya dan tentu saja itu membuat Safifa dan suami melongo melihat sikap Mahesa yang menurutnya sangatlah aneh itu. Safira teringat tentang obrolan kecil mereka semalam tentang seragam Mahesa yang ditanyakan oleh Safira.
"Ke mana seragam kamu, nak? Sini mama cuciin," kata Safira lembut pada sang putra. Mahesa mendongak ke arah mamanya dan membalas tatapan sang mama dengan senyum nyengir.
"Sebulan ini udah ada yang nyuciin baju Mahesa, Ma," jawab Mahesa kepada Safira.
"Loh? Kok bisa gitu, nak?" tanya Safira dengan heran. Mahesa tak menjawab dan hanya tersenyum nyengir begitu saja lalu melanjutkan aktivitas belajarnya.
Safira memerhatikan Mahesa yang sarapan dengan lahap dan cepat padahal jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Biasanya Mahesa akan sarapan pukul enam lewat dan berangkat ke sekolah buru-buru karena waktu yang semakin mepet. Tapi kali ini Mahesa berbeda, ia sarapan lebih awal dengan cepat dan berangkat lebih pagi.
"Kamu mau ke mana pagi ini?" tanya Safira heran setelah Mahesa mencium punggung tangan sang mama tersebut.
"Ya, sekolah lah ma, emang mau ke mana lagi?" tanya balik Mahesa dengan senyum yang dimata Safira sangatlah aneh.
"Pulang sekolah langsung pulang, gak pake mampir-mampir segala!" perintah sang mama yang langsung disambut dengan tangan tanda hormat oleh Mahesa.
"Siap, ma!" jawab Mahesa seraya mendaratkan satu kecupan di pipi kiri Safira sebelum ia berlari keluar rumah dan menaiki motor besarnya lalu melesat menghilang cepat dari teras rumah.
"Kayaknya dia lagi jatuh cinta," papar lelaki paruh baya yang hanya tersenyum kecil melihat tingkah putranya itu. Safira menoleh ke arah sang suami dan menatapnya heran.
"Kok papa senyum-senyum gitu?" tanya Safira heran.
"Papa ingat masa muda Papa, Ma," jawabnya sembari mengerlingkan mata kirinya ke arah Safira. Safira menatap dengan geli sang suami.
***
Mahesa sudah duduk di bangku sekolahnya seorang diri. Hanya dia seorang yang datang ke sekolah sepagi ini di kelasnya. Beberapa siswa lain juga sudah datang, tapi rata-rata yang datang lebih pagi seperti Mahesa adalah siswa siswi yang berprestasi di sekolahnya. Beda jauh nilainya dengan Mahesa.
Mahesa celingukan di jendela kelasnya, ia sangat berharap bertemu dengan Dinda karena sudah menyusun rencana pembalasan dengan matang. Kekalahannya dalam mengerjakan soal kemarin di papan tulis membuatnya semakin giat belajar semalam, ia mencoba menyelesaikan soal-soal di buku tulisnya sembari menimer waktu. Ia yakin sekali untuk urusan soal-soal di papan tulis kelak, ia akan mengalahkan Dinda.
Cukup sering Mahesa menengok ke jendela kelasnya, menoleh ke kanan dan kiri mencari-cari sosok Adinda tapi tak juga datang. Suasana sekolah pelan-pelan ramai, begitupun dengan kelas Mahesa yang terisi satu per satu siswa.
"Tumben banget lo, Hes!" kata Surya yang kaget melihat kedatangan Mahesa di kelas. Beberapa teman satu kelas Mahesa dan Surya juga sudah datang dan menatap dengan heran Mahesa yang sudah duduk di kursinya dan memilih cuek dengan situasi yang ada.
"Air di rumahnya mati kale, makanya dia datang awal ke sekolah buat mandi," jawab siswa yang lainnya.
"Perumahan elit kok mati lampu," papar yang lainnya yang disambut gelak tawa.
"Kalee aja, apapun kan bisa terjadi," jawab siswa tadi.
Kelas semakin rame dan satu persatu siswa datang lalu duduk di bangku mereka masing-masing.
"Ya ampun bau apa ini?" pekik salah satu siswi yang datang dan duduk di dua bangku depan Mahesa bersamaan dengan datangnya Adinda yang sedari tadi ditunggu-tunggu oleh Mahesa. Mahesa terpaksa menahan senyum kala ia melihat Adinda sudah datang dan berjalan ke arahnya. Mereka masih duduk dalam satu bangku. Tapi langkah Adinda berhenti kala ia sudah tinggal tiga langkah lagi. Dinda menoleh ke arah siswi yang duduk di depan Mahesa sembari sesekali mengusap hidungnya.
"Kok bau menyan melati, ya, " kata Adinda yang langsung membuat Mahesa kehilangan senyumnya.
"Lo juga bau gitu, kan?" tanya siswi itu yang tak lain bernama Helen. Adinda mengangguk cepat ke arah Helen.
"Masak pagi-pagi gini udah ada setan nongol di sekolah?" tanya Adinda datar.
Sialan!
Mood bahagia Mahesa seketika ambyar mendengar ucapan Dinda.
Dinda menajamkan penciumannya dan mulai mencari asal muasal bau melati yang menyengat itu. Ia melanhkah pelan-pelan dan mengendap-endap seperti anjing yang sedang mencari Induknya.
"Ih! Bau apa ini? Kok kayak bau melati sih?" tanya siswa lain yang bernama Siska, teman sebangku Helen.
"Tuh, kan! Bener! Bau melati, tandanya ada setan di kelas kita!" seru Adinda berapi-api.
"Paan sih lo, Din! Setan itu cuma keluar malam, kalau pagi gini kata bokap gue mereka tidur!" papar Jojon yang membuat satu kelas tertawa mendengarnya.
"Trus Jon, bapak lo kalau pagi itu tidur dan kerjanya malam disebut apa? Sesepuhnya setan gitu?" timpal siswa yang lainnya yang membuat satu kelas kembali tertawa keras.
"Eh! Sialan lo! Nyamain setan sama bokap gue!" kata Jojon pada temannya yang hanya nyengir dan geleng-geleng kepala saja.
Dinda semakin mendekat ke arah Mahesa yang sudah memasang muka sebal dan juteknya. Muka dingin Mahesa terpampang jelas kala Dinda mengendus-endus bangku mereka. Dinda semakin dekat dan dekat ke arah Mahesa, dan ia mendelik lebar kala penciuman bau melati itu ia sadari berasal dari Mahesa.
"Lo pake parfumnya suzanna?" tanya Adinda serta merta yang langsung membuat wajah Mahesa merah padam karena teman-teman menoleh ke arahnya dan menatap heran. Mahesa yang terkenal cuek dengan penampilannya kini membuat para temannya itu menatapnya penuh tanya. Beberapa dari mereka mendekat ke arah Mahesa dan Dinda.
"Paan sih lo ngendus-ngendus gue!" kata Mahesa seraya menyingkirkan tubuh Adinda dari dekatnya.
Sialan sekali mbok Parmi!
Mahesa ingat, parfum yang dipakenya ini adalah pewangi yang diberikan oleh mbok Parmi tadi pagi. Mahesa memang meminta bajunya diberi parfum yang mengikat dan sensasional, tapi ia tak menyangka bahwa mbok Parmi akan memberikan wangi melati yang ditanggapi teman-temannya aneh seperti ini. Mahesa memang tak pernah menggunakan parfum ke manapun ia pergi, ia cukup menggunakan deodorant dan gel untuk rambut tebalnya.
"Gimana gue gak ngendus-ngendus tuh bau! Nyengat banget tahu!" seru Adinda. "Lo dapat parfum melati dari mana sih? Buat sendiri?" tanya Adinda yang membuat Mahesa sebal bukan main.
"Iya, Hes, baju lo ketumpahan menyan?" timpal Helen yang disambut gelak tawa siswa lainnya yang mendengar mereka.
Sialan!
"Ini kalo ada dupa, gue yakin setan bakalan datang," kata Siska. Mahesa kesal, ia berdiri dari kursinya dengan kasar dan menatap teman-temannya dengan tajam. Teman-temannya langsung diam ditatap seperti itu oleh Mahesa.
"Mana seragam gue!" pinta Mahesa secara langsung ke Dinda.
Dinda tersenyum nyengir, "Maaf, lupa dibawa," jawab Dinda yang langsung membuat Mahesa semakin geram.
Duh, Gusti!