Safira sedang menunggu Mahesa di teras rumahnya dengan hati yang gundah. Berulang kali ia menengok ke jalanan dan mencoba mencari Mahesa, tapi hasilnya benar-benar nihil, Mahesa belum kelihatan batang hidungnya. Safira menggigit bibir bawahnya sesekali seraya mondar mandir tak jelas di depan pintu rumahnya, atau Safira akan menggigit tangan kanannya dan menengok ke arah luar pagar rumahnya dan mengecek Mahesa kembali, tapi Mahesa tak terlihat sama sekali.
Bukan tanpa sebab Safira sang ibu melakukan hal ini kepada Mahesa, ia sangat cemas karena sedari pagi dadanya terus saja berdebar-debar tak karuan. Entah mengapa dadanya berdebar-debar, yang jelas seperti ada sebuah rindu yang ingin dituntaskan oleh Safira.
Safira menghela napas berat kala ia mendengar suara deru motor dan menoleh lalu ia tak melihat Mahesa, melainkan orang lain yang sedang mengendarai motor yang suara mesinnya kurang lebih sama dengan suara mesin mobil Mahesa.
"Den, ada telepon," kata Ijah yang tiba-tiba muncul di depan pintu yang membuatnya sedikit tersentak. Safira melihat jam di pergelangan tangannya dan segera masuk ke dalam rumah untuk mengangkat telepon rumahnya yang ada di atas nakas.
"Assalamualaikum," jawab Safira saat telepon rumah itu sudah menempel di telinganya.
"Waalaikumsalam, sayang, sedang apa?" jawab lelaki di seberang dengan sabar.
"Sedang menunggu Mahesa pulang, mas," jawab Safira.
"Tumben kamu nungguin Mahesa pulang?" tanya sang suami heran
"d**a Safira berdebar-debar terus mas, takut terjadi sesuatu kepada Mahesa, mas," jawab Safira dengan lemah.
"Sudah coba kamu hubungi?" tanya sang suami kembali.
"Sudah, mas," jawab Safira.
"Lalu apa tersambung?" tanya kembali sang suami dengan lembut.
"Nyambung, mas. Tadi Mahesa bilang ia mampir ke toko buku dan setelah itu aku gak bisa hubungi dia lagi," kata Safira melemah.
"Dia mungkin masih di jalan, sayang," tutur sang suami kembali yang membuat hati Safira masih tak tenang.
"Benarkah itu, mas?" tanya Safira kembali dengan wajahnya yang benar-benar terlihat sangat cemas.
"Iya, tunggu saja dengan positif thinking. Lagian jangan-jangan kamu berdebar itu karenaku, soalnya aku merasa ada orang yang sedang merindukanku," kata sang suami memggoda Safira.
"Mas, ini! Bisa-bisa aja sih!" seru Safira pada sang suami, di seberang sana sang suami hanya nyengir mendengar seruan sang istri.
"Udah dulu ya, sayang, sampai ketemu di rumah nanti petang," kata sang suami dengan sangat lembut.
"Iya, mas, hati-hati di jalan, ya, assalamualaikum," jawab Safira lalu ia mendengar suaminya juga menjawab salamnya di seberang sana dengan lembut tak lupa sang suami juga menyematkan kata 'aku mencintaimu' setelahnya, membuat wajah Safira bersemu merah karena merasa malu.
Setelah menutup gagang teleponnya, Safira mendengar suara deru motor memasuki halaman rumahnya. Gegas ia berdiri dari duduknya dan dengan setengah berlari ia menuju pintu rumahnya. Safira menghela napas lega saat melihat sang putra pulang ke rumahnya. Mahesa turun dari motornya dan menghampiri sang mama tercinta dengan pelukan hangat setelah mencium punggung tangan perempuan tersebut.
"Mama kenapa ada di luar rumah?" tanya Mahesa heran karena tak biasanya sang mama menyambut kedatangannya seperti sekarang ini.
"Nungguin kamu pulang, nak," jawab Safira jujur. Mendengar hal itu, Mahesa hanya nyengir.
"Tumben banget, kangen yaaa?" goda Mahesa dan Safira mengangguk ke arahnya. Mahesa memeluk sang mama untuk masuk ke dalam rumah. "Mahesa dari toko buku, kan tadi Mahesa udah pamit ke mama, makanya pulangnya telat," jawab Mahesa pada sang mama yang hanya tersenyum kecil mendengarnya.
"Pulang sedikit telat aja mama udah kangen banget sama kamu. Gimana nanti kalau kamu nikah?" tanya Safira dengan nada suara yang merajuk kepada Mahesa.
"Ya kita masih tinggal bareng donk," jawab Mahesa santai. Sang mama menatap sang putra dengan wajah tak percaya. "Iya, pasti," kata Mahesa lagi meyakinkan sang mama. Safira hanya tersenyum kecil meski hatinya sangat bahagia saat Mahesa mengatakan hal tersebut kepadanya. Seperti ada kupu-kupu kecil yang berlarian di perutnya. Ia sangat tahu bahwa sang putra sangat menyayanginya.
"Kamu mandi, terus makan, ya," kata Safira dan Mahesa mengangguk. Mahesa mengecup pipi kiri Safira dan meninggalkan perempuan itu untuk naik ke atas kamarnya. Safira menatap Mahesa hingga anak lelakinya itu menghilang di balik pinti kamarnya.
Safira berjalan ke arah kamarnya. Dadanya masih berdebar-debar meski Mahesa sudah pulang. Perasaannya masih tak tenang. Ia menatap dirinya baik-baik ke cermin.
Aku kenapa?
Safira kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat, berusaha mengusir perasaan gundah yang sejak tadi pagi menyerangnya. Safira menoleh ke arah nakas kamarnya, ia berjalan pelan ke arah sana dan membukanya, lalu tangannya mencari-cari sesuatu. Ia mendapatkan buku diarynya dan ia membukanya pelan. Di balik sampul buku diarynya ia mengeluarkan sebuah foto kecil yang tiba-tiba saja langsung membuat dadanya bergemuruh hebat saat ia memandang dengan seksama foto bayi kembarnya. Salah satu bayi dalam foto itu memakai bandana, Safira meraba bayi foto bayi tersebut dengan perasaan sesak yang menyerang jiwanya. Buru-buru ia menyembunyikan kembali foto itu di balik sampul buku diarynya saat ia mendengar deru suara mobil memasuki halaman rumahnya. Ia menghapus air matanya dan anehnya dadanya sudah tak berdebar-debar lagi.
Apa aku merindukanmu, putriku Adinda?
***
Adinda mematung di tempatnya duduk saat sang ayah menanyakan soal seragam sekolah yang dipandangi oleh Dinda tersebut.
"Punya siapa seragam itu, nak?" tanya sang ayah lagi pada Adinda.
"Ayah inget gak tadi pagi ayah nyuruh Adinda buat nyamperin cowok yang juga telat masuk sekolah?" tanya Adinda dan lelaki paruh baya itu mengangguk ke arahnya. "Nah, itu milik dia," lanjut Adinda berkata.
"Lah kok di sini?" tanya sang Ayah yang masih tak paham dengan jawaban sang putri.
"Iya, Adinda membuat kotor bajunya. Pertama Adinda menginjak punggungnya buat naik tembok sekolah biar gak telat, eh malah ketangkep guru BK, yah!" seru Adinda.
"Kok bisa?" tanya sang ayah heran. "Kan udah sembunyi-sembunyi?" Imbuhnya berkilah saat melihat tatapan sang anak yang menatapnya sengit, seolah mengatakan semua ini salah sang ayah.
"Ya, bisa! Orang gurunya udah siaga 86 di sana," jawab Adinda masih dengan tatapan sengit. Sang ayah hanya nyengir.
"Lalu?"
"Lalu kita ketangkep donk, dikasih hukuman bersihin kamar mandi pas istirahat sekolah," kata Adinda.
"Wahhh, maafin ayah, ya," kata sang ayah merasa bsrsalah. Adinda mengangguk ke arah ayahnya.
"Its oke, yang ketangkep bukan cuma Dinda dan Mahesa aja kok, ada beberapa teman cowok lainnya juga," papar Adinda santai tapi tidak dengan sang ayah yang mendadak langsung berwajah pucat pasi.
"Ma-he-sa?" tanya sang ayah dengan wajah terkejutnya. Dadanya berdebar-debar mendengar nama pemuda yang disebutkan oleh sang putri itu. Adinda mengangguk ke arah ayahnya.
"Iya, Mahesa. Mahesa yang punggungnya kotor karena kaki Dinda menginjaknya saat mau naik tembok, plus bajunya basah saat nolongin Dinda yang hampir jatuh di kamar mandi. Makanya sekarang bajunya Dinda yang nyuciin," jelas Adinda pada sang ayah yang hanya diam tertegun.
Mahesa?
Nama yang sama dengan nama putraku ...