Ijah mendekati motor Mahesa yang menunggu di depan gerbang sekolah. Ijah merasa ragu sejenak, tapi ia tak ingin Helen marah-marah lagi padanya. Baginya Helen lebih mengerikan dari pada tarian mistis badarawuhi.
Eits, apa hubungan Helen dengan tarian mistis itu?
Ijah menggeleng-gelengkan kepalanya. Membayangkan Helen berlenggak lenggok menarikan tarian itu saja membuatnya ngeri sendiri, apalagi kalau dia benar-benar menarikan tarian tersebut. Sungguh tak bisa dibayangkan.
Ijah sudah berada di samping Mahesa yang berkerut menyadari sosok Ijah yang berdiri di samping motornya sambil tertunduk itu. Karena Ijah berdiri di sampingnya pas, Mahesa merasa risih. Mahesa yang menduduki motornya itu akhirnya mendorong motornya dengan kedua kakinya sedikit menjauh dari Ijah berdiri. Menyadari Mahesa bergerak lambat, Ijahpun bergerak mendekat ke arah Mahesa lagi.
Nie anak kenapa sih? Ngintil mulu!
Mahesa kembali bergerak maju, pun begitu dengan Ijah yang pelan-pelan melangkah maju lagi. Mahesa menoleh heran pada gadis itu. Ia jadi ingat surat cinta acakadul yang pernah gadis itu berikan kepada Mahesa. Bagian yang paling ia ingat dari surat cinta yang isinya sepanjang jalan kenangan itu adalah 'Mahesa, cinta monyetku ... Maukah kau jadi pacar monyetku?'
Begitulah isi surat cinta yang Ijah berikan pada Mahesa, setelah selesai membaca isi surat cinta absurd itu, Mahesa serta merta menoleh ke arah Ijah.
"Ahh!" Mahesa menjerit kaget karena melihat Ijah memakai topeng monyet dan menoleh ke arahnya. Ijah melepas topeng monyet itu dan meringis aneh ke Mahesa. Setelah kejadian aneh itu, selama seminggu Mahesa bermimpi di kelilingi oleh monyet.
Ya Tuhan!
Ia tak ingin bermimpi soal monyet lagi. Mahesa pun memutuskan angkat suara. "Jah, lo ngapain sih berdiri di sini?" tanya Mahesa heran. Serta merta Ijah mengangkat wajahnya.
"Monyet ... Eh! Mahesa ..." Ijah gelagapan, sedang Mahesa semakin begidik ngeri dekat-dekat dengan Ijah. Bukan karena Ijah anak seorang dukun beranak atau karena ia lugu yang aneh, tapi karena dia gadis yang absurd. Mahesa juga kesal karena Ijah menyebutnya dengan 'monyet'
"Apaan?" tanya Mahesa dengan suara yang tertekan.
"Anu ... Ini ..." kata Ijah malu-malu seraya menyerahkan lipatan kertas itu pada Mahesa.
Ya Tuhan! Surat cinta lagi?
"Apaan tuh?" Mahesa mulai kesal. Apalagi matahari terasa sangat terik, belum lagi Dinda juga tak jua muncul.
"Kamu buka sendiri aja," kata Ijah seraya tersenyum malu-malu.
"Ogah! Simpen aja! Males gue!" seru Mahesa.
Siapa yang mau baca surat cinta dua ribu kata yang setara delapan atau sembilan kertas A4? Cukup sekali Mahesa membaca surat cinta yang isinya sangat absurd sekali. Bagaimana tidak absurd? Surat cinta dari Ijah itu diawali dengan bismillah dan ditulis secara latin, isinya sama persis seperti buku diary, di tengah-tengah surat cinta itu bahkan ada dalil tentang hukum pacaran dalam agama. Loh aneh, kan? Ngajak pacaran tapi ada hukum pacarannya dari segi agama. Setelah itu ada lirik lagu romantis bahasa inggris lengkap dengan artinya, setelahnya ada beberapa puisi Chairil Anwar yang dikutip dari buku 'Aku' yang sempat viral dalam film 'Ada Apa Dengan Cinta'.
Oh tidak, tidak. Mahesa tak ingin terjebak dalam situasi yang sama meski ia tahu kertas yang disodorkan oleh Ijah di hadapannya ini hanya selembar. Tapi siapa yang mau melotot membaca tulisan latin di buku halus dengan pensil?
"Tapi, Hes ..."
"Gue gak mau baca itu! Titik!" kata Mahesa dengan tegas seraya memalingkan wajahnya, ia hanya tak ingin melihat wajah Ijah bersedih. Bagaimanapun juga ia tak bisa melihat wanita bersedih.
Ijah tak bisa berbuat banyak. Jujur saja ia bingung saat ini, terlebih lagi ketika ia menoleh ke kiri dan mendapati Helen berada di balik pos satpam. Ijah menggeleng ke arah Helen tapi Helen malah melotot ke arahnya. Ijah takut, ia takut Helen membullynya lagi. Karena takut akhirnya Ijah menangis dan Mahesa mendengar suara tangisan Ijah yang pelan itu.
"Kenapa sih lo harus nangis di saat lo sama gue pas jam pulang sekolah lagi!?" tanya Mahesa kesal. "Gue kayak barusan jadi cowok b******k yang udah bikin lo patah hati, tahu!" kata Mahesa malas.
"Gue emang lagi patah hati ... Eh, patah semangat," jawab Ijah.
"Kalau gue terima surat itu, lo mau pergi, kan?" tanya Mahesa.
"Lo gak mau nebengin gue gitu?" tanya Ijah berharap.
"Menurut lo?" tanya Mahesa balik.
"Nggak!" jawab Ijah.
"Pinter!" kata Mahesa seraya mengambil surat yang telah dibawa oleh Ijah itu. "Udah, sana!" kata Mahesa lagi seraya meminta Ijah untuk segera pergi dari hadapannya tersebut. Dengan berat hati Ijah melangkah pergi dan menyempatkan diri untuk menoleh ke arah di mana Helen berada. Helen tersenyum ke arahnya dan dengan gerakan tangannya, ia meminta Ijah segera pergi dari Mahesa.
Helen masih mengamati Mahesa yang masih duduk di atas motornya. Seteleh Ijah sudah agak jauh, Mahesa membuang surat memo pemberian dari Ijah sebelum membacanya. Surat memo itu ia lemparkan ke sembarang arah dan membuat Helen benar-benar syok dengan apa yang baru saja Mahesa lakukan.
"Loh kok dibuang sih?" gerutu Helen. Ia menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal. Kini ia bingung harus berbuat apa lagi agar Mahesa batal mengantar Dinda jalan-jalan ke Mall.
Mahesa memutuskan turun dari motornya dan masuk kembali ke sekolah setelah ia parkirkan motornya di parkiran. Ia gerah. Ia berniat menyusul Dinda yang baginya sangat lama.
"Aduh! Gimana ini! Mampus gue!" kata Helen lagi seraya masih bersembunyi.
Sementara itu Dinda yang berada di dalam kamar mandi tengah berusaha sekuat tenaga untuk membuka pintu kamar mandi.
"Loh kok gak bisa dibuka?" gumam Dinda. Ia memutar kenop pintu itu berulang-ulang kali. Ia mulai cemas karena berulang kali ia mendorong pintu dalam kamar mandi, tetap saja tak berkutik sama sekali.
"Siapapun yang diluar sana, tolong bukain pintunya! Gue kekunci di dalam kamar mandi!" teriak Dinda seraya berusaha menggedor-gedor pintunya. Sayangnya suaranya terdengar sangat kecil di luar, ia berada di kamar mandi ujung, dan butuh melewati tiga kamar mandi lainnya untuk sampai di pintu utama yang juga sudah dikunci oleh Helen.
"Tolong bukain pintunya! Tolong!" teriak Helen. Ia mulai cemas, apalagi suara hingar bingar siswa siswi di luar sana sudah tak terdengar lagi saat ini.
Apa mereka semua sudah pulang?.
Mereka meninggalkan aku?
"Tolong! Tolong! Siapapun yang mendengarkanku tolong keluarkan aku dari kamar mandi ini!" Dinda masih berusaha berteriak. Ia kemudian menyadari bahwa ia punya ponsel. Dirogohnya seluruh saku yang ada di seragam sekolahnya, tapi sayang ia tak menemukan ponselnya. Ia kemudian menepuk jidatnya, baru sadar kalau ponselnya tengah ia cas di dekat wastafel tadi.
Dinda tak punya pilihan lain selain berteriak meminta tolong dan menggedor-gedor pintunya. Di saat yang bersamaan, Raditya dan Mahesa sama-sama berjalan ke arah toilet di mana Dinda berada.