7-?Beautiful Eyes?

1515 Kata
_***_ Tak selamanya apa yang kita anggap sepele, akan di anggap sepele juga oleh orang lain. Bahkan bisa saja itu justru amat menyakitikan bagi orang lain. Kekuatan setiap hati itu berbeda-beda. Kita tak bisa menyamakannya dengan kekuatan hati kita. Tolong pahami, setiap hati memiliki titik kerapuhan masing-masing. -Yekaa- _***_ Radif's POV Ceklek Kakiku kembali menapaki sebuah ruangan berbau obat yang sangat menyengat. Suara tapakan sepatu tentu akan terdengar nyaring di ruangan tanpa suara. "Fau, dari mana?" Tanpa menjawab aku melanjutkan langkahku menjauhi seseorang yang terduduk di blankar menuju ke arah dispenser. Aku mengambil segelas air kemudian menenggaknya. "Gimana kaki lo?" tanyaku dengan suara dingin. Aku tak melihat ke arah seseorang itu entahlah sepertinya aku sudah muak. "Sakit, Fau," jawabnya dengan nada manja. Aku menghela napas dan acuh tak acuh dengan gadis ini. "Fau kenapa sih? Nggak seneng yah ada Era di sini?" ujar gadis bernama Era itu masih dengan nada suara manja. Cihhh jijik "Ngapain sih lo mesti ke sini? Gue nggak suka! Dan kalau lo masih mau sekolah di sini, jauhi gue!" "Hiks ... Hiks Fau jahat!" Yang benar saja aku sudah sangat jengah mendengar nada manja dan menjijikkan itu. Aku pun berbalik badan dan berniat untuk keluar dari UKS ini. "Fau jangan pergi." Aku tak mengindahkan ucapannya dan terus berjalan, tapi sebuah getaran di sakuku membuatku terpaksa berhenti. Aku segera mengambil ponselku dan melihat siapa gerangan yang menelpon. Papa? Dengan malas aku menggeser simbol telepon itu ke arah warna hijau. "Hallo? Fauzan kamu di mana? Terdengar suara dari seberang yang memberondongku. "Di UKS." "Siapa yang sakit?" kejut sosok di seberang sana. "Era," balasku singkat. Saat aku memanggil nama gadis itu, tiba-tiba saja ia langsung bersuara. "Om Al, Fauzan jahatin Era," celetuknya yang langsung membuatku mendengus kesal. Kesalahan besar aku mengangkat telepon dari papaku di depannya. "Loh Era? Fauzan please kamu itu harus bisa jagain Era!" "Apa urusannya dengan saya? Seharusnya anda yang menjaganya. Ini kan hanya untuk bisnis semata." Selepas mengucapkan perkataan itu, aku segera mengakhiri telpon ini tentu dengan salam terlebih dahulu. "Fau ... " ucap lirih gadis itu dengan suara bergetar. Aku tak sedikit pun menghiraukan panggilannya. Aku tak mau membuat ia semakin berharap. Anggaplah aku ini kejam tak memiliki perasaan, aku sudah lelah menjadi boneka papaku. Dengan gesit aku melangkahkan kembali kakiku untuk pergi dari ruangan ini. Aku tak peduli jika Era akan menangis nantinya. *** Bel pertanda kegiatan belajar mengajar telah usai pun terdengar. Para siswa sudah sibuk sendiri dengan barang bawaan mereka yang hendak dibawa pulang. Aku pun demikian, namun sejenak gerakku terhenti begitu pandanganku berhenti pada sorot matanya. Maafkan aku. Sejenak aku terhenyak mendapati matanya yang berkantung. Sepertinya aku baru saja membuat hatinya terluka. Sepertinya aku baru saja membuat kesalahan besar. Ia bergerak bangkit dari kursinya dan berlalu begitu saja tanpa menoleh kearahku. Aku hanya bisa menghela napas mendapati sikap berbedanya kepadaku. Kenapa terasa menyakitkan mengetahui dirinya tak menatapku hangat? "Dif, ayo pulang." Aku terperanjat mendapati Dito yang menepuk pundakku. "Astaga." "Kenapa lo tumben," kata Dito menatapku aneh. Aku segera menggeleng mendapati Dito yang mulai bereaksi. "Ah iya, Dif, lo lagi ada masalah yah sama Lista?" tanya Dito yang mungkin merasa aneh dengan tingkah Calista tadi. Dia yang biasanya akan mengajakku pulang, tadi langsung berlalu tanpa memedulikanku, pantas jika Dito bertanya-tanya. "Emmm yah biasa lah, anak pms," elakku yang tak ingin masalahnya tersebar nantinya. "Ah pantesan tadi Lista nggak sengaja gue liat nangis sambil lari ke kamar mandi. Hiii kayak ngeri banget sih pms tu," balas Dito yang entah mengapa membuatku tersedak air ludahku sendiri. "Uhuk ... Eh apa lo bilang?" "Ya elah, lo b***k yah. Gue tadi sempet liat Lista nangis lari ke kamar mandi," ulang Dito. Ah benar dugaannya. Aish ini bukan karena Bintang PMS tapi ini karena ulahku. *** Ceklek Pintu berwarna putih itu terbuka seketika. Tangan yang terulur tadi tertahan begitu mendapati ada dua orang yang sedang bercakap di dalamnya. Wanita berhijab itu seketika menghentikan aktivitasnya dan mengurungkan diri untuk memasuki ruangan itu. Tangannya kembali menutup pintu itu dengan perlahan, namun kembali ia menahan pintu itu. Mungkin ia sedang bimbang untuk memasukinya. "Bukannya itu pak kepala?" gumam gadis itu lirih. Wajahnya menyiratkan rasa penasaran yang begitu dalam. Bibirnya menyinggung senyum kecil, kemudian ia mendekatkan telinga yang terbalut hijab ke sela-sela pintu yang terbuka. Baru beberapa detik mencoba mendengarkan isi pembicaraan di dalam, sebuah suara membuat sang wanita gelagapan. "Lo ngapain?" Mata gadis itu membola, rautnya mendadak menyerupai maling yang sedang kepergok mencuri. Ia menengok ke belakangnya yang ternyata telah ada seorang pria dengan penampilan berantakan. "E—enggak," jawab gadis itu tergagu. Mata sang pria menatap curiga kepadanya. Memang jika seseorang berbicara demikian pasti ada sesuatu yang disembunyikan. "Lo nguping siapa?" celetuk pria itu. Dengan segera gadis itu tergerak tangannya untuk menutup pintu yang tadinya terbuka sedikit untuk menguping. "Apa sih dibilang nggak ada juga," sahut sang gadis meninggikan nada suaranya. Pria itu nampak terkejut mendapati respon sang gadis. Tak biasanya gadis berkhimar itu berbicara dengan nada tinggi. "Bintang, maafin gue." Gadis yang disapa Bintang itu terlihat berusaha menghindari tatapan dari pria yang kini ada di depannya. Meskipun tak bisa dipungkiri gemuruh hatinya semakin menjadi-jadi. "Maaf tadi gue bentak lo. Gue nggak ada niat buat nyalahin lo waktu itu. Gue panik," lanjutnya. Pria itu terus memohon maaf kepada Bintang, namun tak kunjung ada jawaban. "Apa!!!" Seruan keras berasal dari ruangan bertuliskan UKS itu menggema hingga ke tempat Bintang dan temannya itu. Hal itu tentu membuat Bintang terfokus kembali kepada pintu itu. "Oke tenang aja Era, Om akan bilang sama Fauzan untuk jauhin gadis itu." Seketika situasi menghening, Bintang tak mengerti arah pembicaraan dua orang di dalam tersebut. Namun berbeda dengan teman Bingang itu, rahangnya nampak mengeras seiring gemertuk gigi yang saling bergesekan. Tanpa di duga pria bername tag Radif Fauzan itu membuka pintu lebar-lebar. Sontak saja Bintang segera menjauh dari pintu itu supaya ia tak terkena pintu yang dibuka paksa oleh Radif. "Anda nggak berhak mengatur hidup saya!" Bintang hampir saja berteriak akibat terkejut dengan teriakan Radif. Bintang menatap tak percaya pada sosok pria di depannya itu. "Fauzan!" Mereka yang berada di dalam ruangan itu nampak terkejut bukan kepalang. Apalagi raut wanita yang sempat dibuat kesakitan oleh Bintang. Tak berbeda dengan sosok gadis yang tadi bersama Radif, ia turut menempatkan raut kagetnya. Sempat beberapa saat keheningan tercipta. Namun suara tegas dari sosok pria dewasa berjas rapih itu memecahkannya. "Fauzan, ini papah kamu sendiri. Jadi papah berhak atas semua kehidupan kamu," tungkasnya. Perkataan pria itu membuat Bintang menganga tak percaya. Raut wajahnya menunjukkan berbagai emosi di dalamnya. Mulutnya terbuka akan berbicara, namun terhenti oleh jawaban Radif yang membuat keadaan menegang. "Ini hidup Fauzan, Pah. Semua yang menjalani Fauzan sendiri. Oke, selama enam belas tahun ini Papah boleh ngatur hidup Fauzan. Tapi Fauzan udah gede, Pah. Apa Papah belum puas menjadikan Fauzan boneka Papah? Apakah Papah pernah sekalipun memikirkan perasaan Fauzan? Hah!?" balas Radif dengan menggebu-gebu. Ia tampak menahan emosi yang besar, terbukti dari banyaknya urat hijau yang terlihat di pelipisnya serta gemertuk giginya. Radif tersenyum miring. "Apakah anda masih menganggap saya sebagai anak? Atau hanya sebagai sarana bisnis saja?" Baru juga selesai Radif mengucapkan kalimat terakhirnya, sebuah bentakan terdengar nyaring di dalam ruangan. Bahkan sepertinya mencapai luar ruangan. "Fauzan jaga ucapan kamu!! Papah melakukan semua ini demi kamu juga!!!" Radif hendak melangkah mendekati Papahnya, namun sebuah tangan menarik tasnya yang membuatnya urung untuk menuruti egonya itu. "Jangan-jangan kamu yah yang udah buat anak saya seperti ini?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut kepala sekolah yang tentunya langsung menyulut emosi pria remaja itu. "Pah, Bintang nggak ada ikut campur di masalah kita yah," ujar Radif meninggikan suaranya. "Radif!" Kini Bintang yang bersuara. Entah ada apa gerangan yang membuat Bintang berani membentak Radif di depan Papahnya yang notabenenya adalah kepala sekolah tempatnya menimba ilmu. Setelah suara Bintang yang menghentikan reaksi berlebih yang Radif tunjukkan, suasana hening berlangsung. Namun tak lama, karena tiba-tiba Pak Al segera melangkah mendekat kearah Bintang kemudian berhenti sejenak di samping Bintang sebelum meninggalkan ruangan yang sedang memanas itu. *** Suara gesekan sepatu dan lantai terdengar nyaring dari kejauhan. Nampaknya seseorang sedang melintasi karidor itu dengan tergesa-gesa. Dan benar saja, tak lama muncullah seorang pria yang mengenakan tas di punggungnya berjalan cepat sembari menengok kanan kiri mencari sesuatu. "Bintang!" "Bintang!!!" Ah ternyata ia sedang mencari seseorang bernama Bintang. Wajahnya nampak memerah dan rahangnya terlihat mengeras. Sepertinya sedang terjadi sesuatu dengan hubungan mereka. Ia terus berteriak menyebutkan nama yang sama berulang, namun tak kunjung ada jawaban. Iya sekolahan sudah nampak sepi mungkin hanya beberapa murid saja yang masih melakukan ekstrakurikuler. "Bintang, gue minta maaf!" serunya kembali setelah ia nampak putus asa menemukan seseorang yang sedari tadi ia panggil. Ia terdiam menatap sebuah kelas yang amat familiar dibenaknya. Ia berbalik dan kini berharapan dengan tiang penyangga atap. Matanya nampak sayu, namun kemudian berubah menatap tajam. Duk .... Satu tonjokan mengenai tiang tembok itu dengan kerasnya. Mungkin jika dianalisa, keesokan hari meninggalkan bekas memar di sana. "Argh, Apakah aku akan berdosa jika membangkang perintah Papah yang menyiksaku ini?" gumamnya dengan penuh tekanan. Ia nampak frustasi, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. "Bintang, maafkan aku. Aku tak kuasa jika harus menentang Papaku. Aku memang pengecut. Maafkan aku, Bintang." TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN