6-?Beutiful Eyes?

1646 Kata
_***_ Tiga hal penting dalam hidup : Beranilah berucap 'tolong' apabila memang memerlukan bantuan. Ucapkanlah 'Maaf' jika jelas jelas melakukan kesalahan. Berterimakasih lah apabila telah menerima bantuan dari orang lain. Ingat! Tolong tak berarti merendahkan dirimu, meminta maaf adalah pemenang sejati dan terimakasih merupakan wujud penghargaan untuk orang lain _***_ Seorang gadis tengah berjalan menuruni anak buah tangga dengan mulut yang komat-kamit seperti seorang mbah dukun yang sedang mengobati pasiennya. Derap langkah yang ia timbulkan pun terdengar sangat nyaring di telinga karena entah ada apa dibawah sepatunya itu. "Sumpah Radif tu nggak berubah-rubah yah nyebelinnya itu loh ngalahin si spongebob dan patric. Gue sumpahin tu orang kesandung batu." Seperti itulah ucapan sumpah serapah yang gadis itu lontarkan kepada angin yang ada di sekitarnya. Memang disepanjang jalan tak ada siapapun maka jika ada orang yang melihatnya mungkin akan mengira gadis ini sedang tidak waras. Calista's POV Selepas aku memutuskan untuk pergi dari rooftop, tak henti-hentinya rasa kesal di hatiku mereda. Dalam situasi apapun Radif itu memang sangat menyebalkan. Tadi aku menemukannya di rooftop, ntahlah ada angin apa aku bisa mengkhawatirkannya. Padahal sewaktu sebelum masuk kelas, ia telah membuatku kesal. Aku sengaja berpamitan kepada Helen hendak ke kamar mandi, namun itu sebenarnya hanya alasan saja. Hatiku memintaku untuk mencari sosok ketua kelas rusuh itu hingga aku tertuntun ke rooftop. Aku tahu dia pasti sedang bersantai dan merokok ria di sana. Kenapa aku bisa tau? Karena sebenarnya aku diam-diam melihatnya yang tengah merokok di ujung atap, bukannya sengaja, aku sebenarnya tak sengaja karena saat aku berada di taman belakang akan terlihat dia yang sedang duduk di tepi rooftop. Bahkan aku pernah melihatnya terdiam sendu di sana. Aku bahkan tak percaya ia bisa bersikap sendu seperti itu karena biasanya ia selalu ceria. Iya aku tahu sih setiap orang pasti memiliki sifat rahasia dan titik rendahnya masing-masing. Tapi sungguh saat aku mengamati Radif yang sedang bersedih, rasanya itu nggak pantas. Oh iya, aku tadi sempat tercengang dengan gumaman Radif yang terdengar sangat mengiris hati. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi dengan Radif tadpi rasanya seperti teramat menyakitkan. Tapi bagaimana bisa sepengelihatanku, ia hidup dengan layak walaupun hanya bersama ayahnya saja. Tapi ayahnya kelihatannya juga sangat baik dan dermawan, sepertinya tidak mungkin jika ia kekurangan kasih sayang seorang ayah. Tapi kenapa ia berbicara seolah tidak ada yang peduli dengannya? Itu lah tanda tanya besar yang ingin aku tanyakan saat aku mendadak berbalik arah tadi, tapi mulutku dengan lancangnya malah mengatakan hal lain dan berujung dengan kekesalan kembali. Ah, aku tak mengerti sepertinya kami memang ditakdirkan untuk saling bertengkar. "Aduh, Ya Allah." Ketika aku baru saja turun di lantai dasar, aku tersentak karena menabrak seorang siswi yang aku tak lihat tadi. Sebuah cairan merah yang dibawa siswi yang aku tabrak tadi mengenai baju putihku sehingga membuat noda yang cukup ketara. "Aduh maaf tadi saya nggak lihat," ucapku meminta maaf. Karena memang aku yang salah di sini. Satu hal yang selalu aku pegang kuat-kuat adalah ketika kita menerima bantuan atau sesuatu dari orang lain jangan sungkan untuk berterimakasih, dan jika kita melakukan kesalahan kepada orang lain, kita tidak boleh gengsi untuk meminta maaf. Dan satu hal lagi, ketika kita dituduh dan difitnah oleh seseorang melakukan sesuatu yang buruk, kita harus menunjukkan kebenarannya dengan memberikan bukti yang mampu membungkam mulut si pelaku. Aku mengulurkan tanganku ingin membantunya untuk berdiri. Namun di luar dugaan, bukannya diterima uluran tanganku malah ditepis kasar olehnya. Aku melihat hal itu sontak terkejut. "Eh?" "Lo jalan pake kaki, matanya juga perlu dipake dong!" serunya dengan nada meninggi. Ia berdiri dengan sendirinya. Aku mengetahui tingkah menyebalkan itu sontak membuatku ikut naik pintam. "Hey gue udah minta maaf, lagian lo juga nggak kenapa-kenapa ngapain marah-marah. Seharusnya gue yang marah, baju gue jadi kotor karena minuman lo ya." "Salah lo sendiri nabrak gue," jawab siswi berambut kepang kuda itu. Aku menghela napas kasar. Aku tak ingin membuat masalah lagi. "Oke gue salah, gue minta maaf," ucapku dengan nada menahan emosi. Kalau saja aku memiliki cukup tenaga untuk membalas mulut merconnya itu, pasti akan aku ladeni. "Enak banget tinggal minta maaf." 'Ya Allah, ini orang minta disumpel yah mulutnya. Sabar-sabar Calista.' Batinku bersuara. Aku kembali menghela napas meredakan emosi yang telah berhasil berkobar kembali. "Mau lo apa?" tanyaku dengan singkat. Orang seperti ini yang sangat aku hindari dalam kehidupanku. "Bersihin sepatu gue," titahnya dengan nada meremehkan. Demi apa ini gue udah nggak tahan sama sikapnya yang sok ini. Eh, melihat dari baju seragamnya sepertinya ini berbeda dengan seragam sekolah sini. Apakah dia murid pindahan? Tapi kenapa sikapnya sok banget sih. "Lo murid baru yah," kataku sembari bersedekap menilai penampilannya. "Kalau iya kenapa? Masalah buat lo?" selorohnya. "Murid baru aja belagu," tanggapku dengan sinis. Aku sangat sangat tak suka dengan model orang seperti ini. "Lo belum tau aja siapa gue." Dahiku berkedut dengan senyum meremehkan. Bukannya aku sok atau gimana, aku hanya ingin bersikap sesuai porsinya saja. Jika mnghadapi orang seperti ini, kita harus lebih belagu supaya kita tidak diinjak olehnya. Apalagi ini murid baru. "Siapa lo emangnya? Anaknya kepala sekolah? Atau anaknya presiden?" Sepertinya ia mulai terlihat tersinggung dengan perkataan dan sikapku yang terkesan meremehkannya. Biarlah ia kebakaran jenggot, aku akan sangat bahagia melihat orang seperti dia ini kebakaran jenggot. "Lo bener-bener yah," serunya dengan mata melotot. Ia mendekat kearahku hendak meraih kerudungku untuk melampiaskan emosinya. "Jangan main fisik dong." "Hak gue dong mau berbuat apapun di sini." "Oh ya?" tanyaku tersenyum miring. Aku melihatnya semakin terpancing emosi. Siapa suruh dia berurusan dengan seorang Bintang yang diam-diam mantan ketua geng anti bullying. Tanpa aku duga dia telah meraih ujung kerudungku dan ia hendak menariknya dengan cepat pula aku menahannya. Aku tak memikirkan ia bisa semosi ini. "Hey hey lepasin bisa nggak!" sentakku kepadanya yang masih kesetanan. "Lo yang udah salah berurusan dengan seorang Era!" serunya dengan nada meninggi. "Lepasin woyyy!" Karena keributan yang ditimbulkan oleh suara kami, kini anak kelasku yang tadi sedang mengerjakan tugas dil luar kelas berdatangan. Iya banyak dari mereka yang berdatangan, namun tak ada satu orang pun yang melerai kami. Aku tak sempat melihat siapa saja yang berkerumun, aku sibuk dengan murid baru yang menyebalkan ini. Tak hilang akal, aku menginjak kakinya hingga akhirnya cengkeraman tangannya terlepas dari kerudungku yang sudah berantakan. "Awww .... " jeritnya yang nampak sangat kesakitan. Lihatlah dia sangatlah lebai, padahal aku tak menginjak kakinya dengan keras. Tapi jeritannya seolah kakinya putus saja. "Ada apa ini?" seru seseorang yang baru saja menuruni tangga yang aku lewati tadi. "Fauzan!" Teriakan memanggil nama Fauzan terdengar dari arah murid baru itu. Dengan cepat aku segera berbalik dan menemukan seorang Radif yang berada di belakangku dengan padangan terpaku kepada murid baru itu. Apa Radif mengenal sosok murid baru menyebalkan ini? "Fauzan tolong aku," ujar siswi tadi memohon kearah Radif dengan tangisan. Aku mengira hal itu akan diabaikan oleh Radif, namun ternyata aku salah. Dia nampak berlari kencang mendekati siswi itu yang sangat kesakitan. "Kaki lo kenapa? Sakit?" "Sakit banget, Zan. Aduh .... " keluh siswi itu yang sudah menangis. Aku yang melihatnya begitu kesakitan menjadi merasa bersalah. Dengan cepat aku ikut mendekat kepada mereka. Sepatu yang dikenakan siswi itu telah dilepas oleh Radif. Radif terlihat panik mengenai keadaan murid baru ini. Tak biasanya Radif seperti ini. Apakah gadis ini sangat Radif kenal? "Ini kenapa tadi bisa kayak gini?" tanya Radif yang terkejut melihat kaki milik siswi yang aku injak tadi telah berwarna kebiru-biruan. Aku yang melihat itu pun tak kalah syok. Bagaimana bisa injakanku tadi bisa membekas sampai seperti ini, padahal aku tak menginjaknya dengan keras. "Dia yang menginjakku tadi," tunjuk murid itu mengarahkan jari telunjukknya ke arahku. Aku menjadi gelagapan sendiri. Aku tak akan menyangkal karena memang akulah yang menyebabkan hal ini terjadi. Tapi aku tak menyangka akan jadi seperti ini. Radif menatapku sekilas kemudian mengalihkan pandangannya kembali kepada murid baru itu. "Tolong panggilkan PMR untuk kemari," titah Radif kepadaku namun tanpa menoleh ke arahku. Aku sebenarnya merasa takut mendengar nada bicara Radif yang tak seperti biasanya, apa ia sangat marah kepadaku karena ini? Tapi sekarang ini bukan waktu yang tepat untuk mempertanyakan itu semua. Dengan langkah cepat aku bangkit dan berlari ke arah di mana UKS berada. Aku tak peduli dengan banyak orang yang aku tabrak. Aku terlalu panik dan juga takut. *** Kini aku sedang berdiri di depan UKS menunggu Radif keluar. Setelah tadi aku memanggil petugas UKS, mereka bergegas menandu siswi baru yang aku ketahui bernama Era itu. Aku berharap-harap cemas dengan keadaan gadis itu. Melihatnya merasakan kesakitan tadi membuatku merasa sangat bersalah telah melawannya. Tapi aku kan hanya ingin membela diriku. "Lo kenapa bisa nginjek kaki Era?" Sebuah suara dengan nada terdengar dingin membuatku terkejut. Aku menoleh ke arah pintu UKS dan menemukan seorang Radif dengan pandangan dingin. Aku menjadi takut sendiri dengan sosok Radif yang sekarang ini. Tatapannya seolah menghunus siapapun yang ditatapnya, dan jujur saja baru kali ini aku melihat sosok lain dari Radif. "Maaf, gue tadi refleks nginjek dia," jawabku dengan lirih. "Tapi kenapa mesti nginjek sih!" seru Radif yang membuatku tersentak. Aku rasanya ingin menangis mendapati seseorang berbicara dengan nada tinggi seperti ini kepadaku. "Lo tau nggak apa yang lo lakuin itu bisa berakibat fatal!" lanjutnya dengan nada bicara yang semakin merendah. Aku langsung menunduk untuk menyembunyikan air mataku yang sebentar lagi akan menetes. Aku tak suka dibentak seperti ini. Dan aku takut terhadap Radif yang sekarang. "Maaf," ucapku lirih dengan nada gemetar. Radif terdengar menghela napasnya perlahan. "Sudahlah, yang penting sekarang Era udah baik-baik saja," tungkas Radif mengakhiri ketegangan. Sepertinya ia tahu kalau aku sedang ketakutan dibuat olehnya. Tapi aku memang benar-benar takut. "Sekali lagi gue minta maaf. Nanti gue akan menemui Giera dan meminta maaf kepadanya sendiri. Gue pergi dulu, assalamualaikum." Aku segera pergi menjauh dari tempat Radif yang masih berdiam diri. Aku tak bisa berlama-lama di sana, karena aku takut apabila Radif mengetahui aku yang menangis. Aku penasaran sebenarnya hubungan Radif dengan Era itu seperti apa. Kenapa mereka terlihat sangat dekat? Apakah ia termasuk saudaranya? Atau pacarnya? TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN