8-?Beautiful Eyes?

1304 Kata
Calista's POV Peristiwa yang baru saja terjadi terus berputar di pikiranku. Kebenaran yang tak aku duga mulai aku ketahui. Kebohongannya kini terungkap dengan sendirinya. Dan perkataan tajam menghujam hatiku memberikan goresan yang terasa perih. Sudut bibir kananku terangkat. "Gue baru sadar, gue kan nggak ada hak buat tau semuanya." Menyadari kebodohanku aku tergelak sendiri kemudian melanjutkan langkah beratku. Tiap karidor yang aku lewati terasa sangat sunyi. Tak ada seorang pun di sana, wajar sih karena pembelajaran telah usai dan para siswa sudah pulang ke rumah masing-masing dengan semangat penuh. Namun berbeda denganku aku masih perlu menyelesaikan urusanku tadi, jadi aku masih bertahan di sekolah. Angin yang menerpa wajahku membuatku kesulitan menahan titik-titik air yang telah berkumpul di pelupuk mataku. Dan akibat jalan cepatku, membuat air itu dengan mudahnya menetes begitu saja. Aku berharap tak ada seorang pun yang melihatku dalam keadaan seperti ini. Tujuan awalku sekarang adalah bilik kecil di samping perpustakaan itu. Yap, apalagi kalau bukan kamar mandi. Aku akan mencuci mukaku yang terlihat sembab karena sempat menangis. Aku tidak mau jika ada yang mengetahui aku menangis, secara aku merupakan siswi yang terkenal jarang menangis. Namun sepertinya Allah tidak menghendaki niatku, sesaat sebelum aku memasuki kamar mandi, aku melihat Wendya baru saja keluar dari kamar mandi dan secara refleks ia langsung melihatku. Aku hendak berbalik namun tak mungkin karena dia keburu melihat kearahku. "Eh Calista!" serunya mendekatiku yang masih terdiam di tempat. Aku dengan cepat mengusap pipiku yang masih basah kemudian tersenyum riang ke arahnya. "Eh ada Wendya, dari mana, Wen?" tanyaku berbasa-basi kepadanya setelah dirinya tepat berada di depanku. Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah menatap wajahku intensif. Aku rasa ia tahu jika mataku sekarang seperti orang menangis. "Eh dari kamar mandi lah, Lista," jawabnya dengan ramah. "Kamu mau ke kamar mandi yah? Yuk aku anterin, Lis," ucapnya menawarkan bantuan. "Eh, nggak---" Aku hendak menolak tawarannya itu tetapi, ia sudah keburu menarik tanganku. *** Selepas aku menuntaskan tangisanku dengan tanpa suara di dalam kamar mandi, aku kembali keluar di area wastafel. Sewaktu aku keluar, aku terkejut mendapati Wendya yang masih berdiri di depan cermin kamar mandi menungguku. Aku kira ia sudah pergi, padahal jika dihitung-hitung aku menghabiskan waktu di kamar mandi itu selama lima belas menitan. "Astagfirullah, Wendya kau masih di sini?" pekikku. "Hush, jangan mengucap nama Allah di kamar mandi," ujar Wendya mengingatkan diriku. Aku mengeryit heran, aku belum pernah dengar ada larangan semacam itu. "Eh kenapa nggak boleh, Wen?" tanyaku penasaran. "Kamu belum tahu kah?" tanya Wendya balik. Aku hanya bisa merespon pertanyaan Wendya dengan gelengan pelan. Karena memang aku belum pernah mendengar larangan seperti itu. "Jadi gini Lista, melafadzkan nama allah di kamar mandi itu termasuk bagian dari zikir. Dan zikir itu ada dua macam, yaitu zikir dengan lisan seperti membaca Al-Qur'an, merapalkan zikir, dan doa yang dianjurkan oleh syariat; yang kedua itu zikir dengan hati (bertafakkur terhadap para makhluk-Nya) termasuk mengulang hafalan Al-Qur'an dalam hati. Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Mereka (para ulama) bersepakat bahwa orang junub kalau ia mentadabburi Al-Qur'an dengan hatinya tanpa menggerakkan lisannya, tidaklah terhitung membaca dan melanggar keharaman membaca Al-Qur'an bagi orang junub." (Syarh al-Nawawi atas Shahih Muslim: IV/103) "Yah, gue baru tau Wen," ujarku terkejut ternyata selama ini aku melakukan hal yang dilarang dalam Agama. "Iya, yang penting sekarang udah tau kan? Jangan diulangi lagi, oke?" kata Wendya yang langsung aku angguki dengan cepat. "Oh iya btw telingaku selalu siap sedia menampung rentetan suara hatimu," lanjut Wendya yang tanpa aku sadari membuat lengkungan tipis di bibirku terbit. "Lo memang sahabat gue paling ngertiin deh, Wen," ungkapku merasa beruntung memiliki sahabat seshalihan Wendya. Sedikit nasihat untuk sahabat semua, carilah sahabat yang mampu membimbing kita ke jalan kebenaran. Tanpa kita sadari lingkungan pertemanan kita itu memiliki dampak besar di kehidupan kita. Jadi bukannya membeda-bedakan teman, namun kita harus pandai menjaga diri, jangan sampai karena seorang sahabat saja menyeret kita kepada keburukan. "Eh iya, kok lo belum pulang, Wen?" lanjutku yang penasaran mendapati Wendya yang masih berada di toilet perpustakaan. "Tadi aku ngembaliin buku yang aku pinjem kemarin, eh malah kebelet," balas Wendya sembari merapikan jilbabnya di cermin. "Eh kamu juga kenapa masih di sekolah?" Aku yang ditanya balik pertanyaan serupa menjadi gugup sendiri. Aku bingung apakah harus menceritakan semuanya atau tidak. Jika aku menceritakan apakah tak apa? "Ah, gue tadi sengaja pulang belakangan soalnya lagi males pulang cepet hehehe .... " 'Aish, alasan yang tak masuk akal,' pikirku menyadari kebodohanku. "Emm maaf nih tapi tadi aku sempet liat kamu nangis, apakah tak ada masalah? Kalau kamu butuh temen curhat, aku siap sedia kok," celetuk Wendya. Aku paham sih, Wendya sangat pintar menganalisa perasaan seseorang. Entah bagaimana ia memelajari, namun yang jelas ia sering bisa menebak apa yang sedang aku rasakan. "Wendya, gue minta maaf emm-- gue belum bisa cerita sekarang," lirihku menjawab perkataan Wendya yang tak terduga. "Ah gitu, iya aku tau kok perasaan kamu. Kadang kita memang perlu menyimpan sebuah masalah untuk memikirkan jalan keluar. Terkadang juga menceritakan masalah hanya akan memperluas masalah jika tak berusaha untuk mengatasinya sendiri. Ah, Calista udah dewasa rupanya," ujar Wendya diakhiri senyum menggoda diriku. "Aish, apa sih. Enggak juga ihhh," elakku sembari melanjutkan langkahku keluar kamar mandi untuk menutupi rasa gugupku. "Acieee Calista tersipu malu hahaha," goda Wendya kembali setelah kami keluar dari kamar mandi. Aku mempercepat langkahku menghindari Wendya yang semakin menjadi-jadi menggoda diriku. "Wendya diamlah," kataku berjalan dengan menutup wajahku yang kemungkinan sudah seperti kepiting rebus. "Aaawas!" seru Wendya yang sontak membuatku menoleh kearahnya. Dug ... Belum juga aku berbalik akan bertanya kepada Wendya, tiba-tiba saja aku menabrak sesuatu di depanku. Begitu aku mendongak, ternyata aku sedang berhadapan dengan si ketua kelas, Radif. Menyadari hal itu sontak saja aku langsung menjauh darinya dan berbalik menghadap Wendya yang tampak sama terkejutnya dengan diriku. Aku kembali berjalan mendekati Wendya dan segera menyeret Wendya ke arah yang berlawanan dengan tempat yang kami tuju tanpa mengucap sepatah katapun kepada si penabrak tadi. Ah sudah lah aku sedang lelah. Dari kejauhan, samar-samar aku mendengar Radif memanggil namaku, namun tetap tak aku hiraukan. Wendya yang tangannya sedang aku tarik, nampak menurut saja. Sepertinya ia sekarang tahu aku sedang bermasalah dengan siapa. *** "Lista ..." "Lista ... " "Calista!!!" Sebuah sentakan membuatku terkejut bukan kepalang. Aku yang dari tadi terlalu larut dengan pemikiranku pun segera tersadar. Aku berbalik badan dan langsung mendapati ekspresi khawatir dari Wendya. "So--sorry, Wen," sesalku begitu melihat kemerahan di pergelangan tangan Wendya yang aku pegang tadi. "It's okay, Lis. Kamu baik-baik aja kan?" Aku mengangguk ragu kemudian menggeleng dengan lemah. Karena memang aku sedang tak baik-baik saja kini. Aku tadi memang sempat senang, namun kesenanganku langsung menguap begitu menemui seseorang itu. "Lista ... " panggil Wendya yang memegang kedua bahuku mencoba memberikan semangat. "Jika kamu butuh tempat mencurahkan hati, aku selalu di sini," lanjutnya. Pandanganku memburam seiring sesaknya d**a mulai terasa. Isakan kecil mulai lolos dari bibir kecilku. Rasa yang sedari tadi aku pendam, kini mulai bisa aku luapkan. Sebuah tangan memegang erat tubuhku dan membawanya ke dekapannya. Tepukan simpatik pun turut terasa di punggungku. "Luapkan saja, Lis." Sebuah bisikan membuatku semakin ingin menangis. Ucapannya cukup membuat hatiku tergetar dan desakan air semakin banyak di pelupuk mataku. Seiring sungai kecil terbentuk, suara isakan pun semakin terdengar jelas dari mulutku. "Bintang ... " Sebuah suara berat mengalun di telingaku. Seseorang itu ternyata kini telah berada tepat di depanku. Aku yang mengetahui hal itu sempat menghentikan tangisanku begitu menatap matanya yang sayu. Bibirnya merapalkan kalimat maaf berulang-ulang, namun hal itu justru semakin membuat sesak rasanya. Wendya yang menyadari kondisiku, segera mengambil tindakan. Ia memutar posisiku menjadi membelakangi Radif. "Lista sedang ingin sendiri. Temui dia dilain waktu," ucap Wendya mengusir Radif secara halus. Karena tak kunjung pergi, Wendya pun melepaskan pelukan kami dan menuntunku untuk kembali berjalan menuju kamar mandi perpustakaan. Aku berjalan menunduk mengikuti langkah Wendya menunjukkan jalan untuk memberikanku ruang ketenangan. Maafkan aku, Dif. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN