41-?Beautiful Eyes?

1547 Kata
-***- Kebaikan itu tak pantas tak pantas di jadikan tameng keburukan. Mereka sudah saling bertolak belakang, jika kamu paksakan mereka bisa saling menutupi kurasa akan ada ledakan besar suatu saat nanti. Tinggal menunggu waktu saja, semua akan berakhir dengan sia-sia. -***- Aku berjalan perlahan menuju parkiran. Tempat itu sudah sepi, bahkan hanya tersisa 5 sepeda di sana. Iya sebenarnya jam pulang sudah berlalu dua jam yang lalu. Karena aku ada keperluan tadi, jadi baru pulang sekarang. Saat aku akan menaiki sepeda, kantong celanaku seperti ada yang aneh. Aku merabanya dan aku baru sadar ada yang hilang di sana. "Hadeh, ceroboh sangat!" Aku lantas bergegas menaiki sepeda dan meninggalkan tempat itu. Tak berapa lama aku menaiki sepeda, mataku memicing melihat sesuatu yang aneh di depanku. Aku menyetandarkan sepedaku dan mencoba mendekat dengan perlahan. Sebisa mungkin jangan sampai mereka menyadari ada aku di sini. "Ah, tak heran sepertinya lo selalu mengajak Radif berbicara santai. Dan mengenai perjodohan lo sama Radif gue udah tau kok." Alisku bertaut begitu mendengar namaku di sebut-sebut. Kurasa mereka sedang memperbincangkanku. Tak heran di sana Era-lah yang memulai pembicaraan ini. Ulah apa lagi yang ia lakukan kali ini. Sebaiknya aku mendengarkan pembicaraan mereka sampai usai. Aku ingin melihat sandiwara apa yang akan Era jalankan. "Bagus kalau gitu. Jadi bisa kan lo jauhin Fauzan. Gue gak mau nantinya lo bakalan sakit hati begitu perjodohan itu terjadi," ucap Era dengan tatapan sinis. Tanganku mengepal, mulutnya seperti tidak pernah di sekolahkan. Sungguh aku tak menduga Era akan berbuat senekat ini. Era sekarang sungguh berbeda. Aku seperti tak mengenalinya sama sekali. Tak ada Era yang lemah di sini, tak ada Era yang lugu dan tak ada Era yang bersemangat melakukan kebaikan. "Kalau gue boleh tau, kenapa lo sekarang dicampakkan sama Radif?" Mata Era melebar mendengar pertanyaan Bintang. Mataku pun sama ikut melebar. Aku tak menyangka Bintang menanyakan hal itu kepada Era. Aku Mengangkat bibirku sebelah. Meski pun sebenarnya masih ada rasa sayang kepada Era, aku tak bisa mrncurahkan kasih sayang kepada Era yang seperti ini. Ingin rasanya memutar waktu dan membimbing Era lebih baik lagi. Aku yakin ia tak akan senekat ini hanya demi hal sepele. "Itu ada sedikit kesalahpahaman antara kami. Tapi bukan masalah besar. Gue yakin sebentar lagi kami akan berbaikan. Jadi jangan coba-coba untuk mengambil Fauzan dariku." Rahangku mengeras mendengar jawaban itu keluar dari mulut Era. Aku tak menyangka ia kini setega itu. Apalagi sorot matanya kini penuh keangkuhan. Sangat berbeda dengan Era dulu yang santun dan lembut. Sepertinya salahku karena meminta permintaan konyol itu dahulu. Sungguh aku menyesal, ucapan remehku kala itu membuatnya seperti ini. Sepertinya aku tidak bisa membiarkannya lagi. Aku harus menuntaskan masalah ini dan memberikan pengertian kepadanya. Aku berharap ia masih bisa mengerti apa yang aku ucapkan. "Bukan masalah besar menurut lo, bukan menurut gue!" Aku berteriak kemudian berjalan mendekati posisi Bintang dan Era yang sedang bercerita. Era terkejut begitu melihat sosokku yang hadir ditengah-tengah mereka. Aku tak peduli, aku tak ingin ia terjerumus semakin dalam. Jika memang ini diakibatkan olehku, aku akan bersedia memperbaikinya. "Loh bukannya gue udah nyuruh lo buat pulang, Radif?" tanya Bintang yang menyadari keberadaanku. Aku tadi memang disuruh olehnya cepat pulang, namun karena ada yang terlupa, aku harus mampir kembali ke sekolah. "Gue ada ketinggalan sesuatu," ucapku kemudian mendekat ke arah Bintang kemudian mengambil sesuatu dari tas Bintang yang ada di punggungnya. Era terus mengamati gerak-gerikku. Matanya menatapku penuh penyesalan namun ada pula tatapan kecewa. "Tolong jangan jadi pembual, Ra. Jangan tambah bikin gue kecewa sama lo," ucapku lirih setelah mengambil ponselku yang tadi aku masukkan di tas Bintang. Bintang tak menyadari, karena aku memasukkannya diam-diam berniat menjahilinya. Aku berdiri di tengah-tengah mereka. Tatapan Era menunduk dan Bintang menatapku dengan tatapan yang memintaku untuk menahan diri. Aku membuang napas berat, aku sudah bertekad bulat untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kemudian aku mencoba mendekat ke arah Era yang tertunduk. Rasa bersalahku semakin besar jika tak segera menghentikan Era sekarang. Seharusnya ini adalah timing yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang berlangsung bertahun-tahun ini. Aku tak tahan lagi untuk membuat hubungan pertemananku dengan Era semakin buruk. "Era, maafin gue." Era terkejut kemudian mendongak ke arahku. Tatapannya menyiratkan pertanyaan untuk meminta penjelasan. "Salah gue lo jadi kayak gini," ucapku lagi Era masih terdiam terpaku menatapku yang mungkin ia tak menyangka akan keluar kalimat itu dari mulutku. "Karena ucapan gue waktu itu, lo jadi kayak gini," lanjutku. "Gue mohon lo stop buat maksain diri untuk jadi lebih keras dan dominan. Itu gak baik sekarang, gue mohon." Tangan Era nampak mengepal kuat. Ia sepertinya sedang meredam amarahnya. Aku tahu semua akan seperti ini. Tapi dengan mengeluarkan semua hal yang selama ini dipendam, aku harap bisa menemukan jalan keluar permasalahan ini sebelum semakin pelik. "Iya! Ini semua salah lo, Zan! Gue kayak gini karena lo! Gue udah berubah jadi cewek kuat seperti yang lo mau. Tapi apa? Lo malah memperlakukan gue kayak gini!" gertak Era. Aku lantas tertunduk. Seeprtinya ini mrmang kesalahanku, tak seharusnya aku mengatakan hal itu. Tak seharusnya aku memaksanya untuk berubah. "Gue ngelakuin ini semua demi lo, Zan! Gue sayang banget sama lo!" teriak Era dengan tangisan. "Tapi bukam kayak.gini yang gue harapin, Ra! Gue ingin lo jadi kuat, tapi bukan kuat untuk mengendalikan orang lain, bukan kuat untuk melawan sebuah aturan. Kalau kayak gini lo udah melampaui batas!" balasku sudah tidak tahan lagi. "Lo tau kan, beberapa tahun lalu lo udah bikin gue kecewa. Lo dengan teganya membantu bokap gue buat ninggalin nyokap gue! Lo sadar gak sih itu sudah melampaui batas?" lanjutku membuat Era terdiam menatapku dengan amarah. Iya, alasan aku membenci Era adalah karena itu. Saat mama didiagnosa penyakitnya, ternyata Era mengetahui kalau papa bermain wanita dibelakang mama. Sialnya ia berusaha membantu menyembunyikan hal itu dariku dan mama. Tentu saat aku mengetahui hal itu aku teramat emosi terhadapnya. Mulai waktu itu sikapku kepadanya berubah. Dan Era tak menyesali perbuatan itu sama sekali. Ia terus mencari alasan untuk membenarkan tingkahnya itu. "Ini salah lo, Zan! Gue berubah kayak gini karena lo!" kata Era kini mulai dikuasai amarahnya. Lihatlah sosok Era sekarang, aku seperti tak mengenalinya sama sekali. "Justru lo yang berubah, Zan. Gue tahu pasti karena cewek ini kan? Lo jadi membuang gue begitu aja?" ucap Era kembali. Mendengar Bintang terseret dalam permasalahan ini membuatku turut tersulut emosi. "Ini gak ada hubungannya sama Bintang. Stop cari-cari alasan, Ra, ini yang membuat gue semakin benci sama lo. Plis gue mohon kembali ke Era yang gue kenal," mohonku. Aku harus ekstra sabar sekarang ini. Aku tak mau membuat Era kembali menyalah artikan apa yang sebenarnya aku ingin ia lakukan. Era kemudiam tertawa sumbang. "Hahaha, lo mau gue balik kayak Era zaman dahulu? Era yang lemah dan selalu dijadika keset? Bukannya lo selalu minta gue jadi orang yang kuat? Orang yang mampu melawan omongan orang lain?" "Tapi bukan gini maksud gue, Ra! Gue gak kenal sama lo yang sekarang." "Apa? Apa maksud lo, Zan? Selama ini lo sadar gue salah, tapi kenapa baru sekarang lo negur gue? Kemana lo selama beberapa tahun ini? Gue udah cukup nyaman di diri gue yang sekarang. Gue gak mau lagi jadi kaum lemah, Zan!" Ucapan Era terasa menyakitkan di hatiku. Rasa penyesalan kini semakin besar. Aku tak kuasa berkata-kata lagi. Aku memang bersalah telah memintanya untuk berubah. "Maafin gue, Ra," lirihku mengalah untuk tak membuat semua semakin runyam. Aku melirik ke arah Bintang yang tak bergerak sedari tadi. Ia nampak mematung menyaksikan pertengkaran kami. Aku merasa tak enak sendiri dengan Bintang. "Gue rasa cukup untuk kali ini. Gue minta kita instrospeksi diri masing-masing dahulu. Gue minta maaf, gue salah memulai ini semua. Dan gue minta lo jangan bertingkah sewenang-wenang, Ra, tolong jangan bikin gue semakin kecewa lagi," ucapku memutuskan untuk mengakhiri pembahasan hari ini. Kurasa akan semakin memburuk suasana jika diteruskan. "Cih, bukan cuma lo yang ngerasa kecewa di sini. Gue juga lebih kecewa sama sikap lo sekarang ini," balas Era lantas pergi begitu saja. Sebelum pergi ia terlihat sempat membisikan sesuatu kepada Bintang. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengar suaranya. Aku harap Era tidak bertingkah semakin jauh. "Maaf, Tang, lo jadi harus menyaksikan kejadian tadi," ucapku meminta maaf kepada Bintang. Aku merasa tak enak karena namanya ikut terseret dipermasalahanku dan Era. "It's okay, Dif, gue harap lo bisa menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin. Api tidak akan bisa padam jika kamu membalasnya dengan api. Cobalah mengalah untuk menjadi air," balas Bintang memberiku nasihat. Aku mengangguk tersenyum dan berterimakasih. Aku memang terbawa suasana tadi hingga tanpa sadar meladeni amarah Era yang semakin menjadi-jadi. "Thanks, Tang." Bintang mengangguk dan berteoatan dengan itu, jemputan Bintang tiba. Klakson mobil berwarna silver mengejutkan kami dan aku yakin itu adalah Kak Ken. "Gue pulang dulu ya, Dif. Maaf tadi gue hanya bisa menyaksikan pertengkaran lo. Gue berharap kalian segera berbaikan," ucap Bintang. "Tentu. Gue Radif laki-laki bertanggung jawab. Mau bagaimana pun gue harus bisa nyelesain semua permasalahan yang gue hadapi." Bintang tertawa. "Nah itu baru Radif yang gue kenal. Jangan menyerah untuk membawa Era kembali, Dif. Gue duluan ya, assalamu'alaikum." Aku mengangguk yakin. "Siap, Tang. Hati-hati ya, wa'alaikumussalam." Bintang pun berjalan menjauhiku untuk kembali pulang. Aku masih menataonya hingga ia menghilang masuk ke dalam mobil itu. "Tenang aja, gue akan membuat semuanya kembali. Gue gak akan putus asa untuk membawa Era kembali. Tapi jika aku tak bisa membawa Era kembali, aku akan membimbingnya untuk menjadi Era yang lebih baik." Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN