10-?Beautiful Eyes?

1066 Kata
_***_ Setiap manusia memiliki sisi lain dibalik semua sikap yang ia tunjukkan. Bahkan setenang-tenangnya orang, ia pasti memiliki sisi tak terduga yang akan membuat tercengang. Sama halnya diriku, dibalik sifat menyenangkanku, aku menyimpan sisi lain yang berusaha aku sembunyikan. _*** Calista's POV Aku segera mengistirahatkan tubuhku yang sudah aku paksa bekerja keras seharian ini. Rasanya sangatlah capai. Namun baru juga tubuhku menyentuh kasur empukku, dering ponsel mengharuskanku beranjak kembali. Aku mencari-cari ponselku di dalam tas sekolahku dan akhirnya ketemu. Begitu aku membuka layar kunci, nama Wendya langsung terpampang di sana. Kernyitan segera tercetak di dahiku. "Apa ada sesuatu yang penting?" gumamku sebelum mengangkat panggilan itu. "Assalamualaikum, Lis." Suara tanggapan langsung terdengar begitu aku menyambungkan telepon itu. Dari nada suara si pembicara, terdengar rasa gembira di dalamnya. "Wa'alaikumussalam, kenapa, Wen?" "Aku mampir ke rumahmu nggak papa kan?" sahut si penelpon dengan suara yang agak diperkeras. Di sebrang sana terdengar suara gemuruh hujan. Jadi bisa aku simpulkan ia sedang berada di luar rumah. Tapi kenapa dia mau repot-repot ke rumahku saat hujan? Biasanya ia akan langsung pulang ke rumah. "Boleh aja sih, Wen. Langsung dateng aja. Nggak lupa kan sama rumah gue?" Terdengar kekehan di sebrang yang membuatku ikut tertawa konyol. "Jelas lupa lah, Lis, lo tau sendiri gue pikun ngalahin orang tua." "Yeee dasar lo, Wen. Pikun lo nggak ada obat, hahaha." Ia terdengar ikut terpingkal menyadari omongannya yang memang benar adanya. Seumur-umur aku baru pertama kali mempunyai teman yang kepikunannya seperti Wendya. Satu momen yang tak bisa aku lupakan adalah ketika dikantin sekolah. Bel pertanda waktu istirahat telah berbunyi. Para siswa pun berebut keluar kelas untuk bisa dengan menyerbu kantin Bu Entin yang merupakan satu-satunya kantin di sekolahku. "Lis, mau ke kantin?" tanya Wendya yang tiba-tiba muncul di sebelahku. Aku yang saat itu sedang terdiam lesuh semakin merintih kesakitan ketika Wendya menggoyang-goyangkan tubuhku. "Awsss, gue nggak ke kantin dulu deh, Wen," jawabku menahan sakit dengan meremas-remas perutku. "Lah kamu kenapa?" tanya Wendya panik begitu tahu aku sedang kesakitan. "Aduh hari ini tu gue lagi haid hari pertama," keluhku yang perutku semakin nyeri rasanya. "Eh lah? Aduh sakit banget yah. Mau ke UKS?" tawar Wendya. Aku saat itu sudah tak tahan dengan rasa sakitnya, mencengkeram erat lengan Wendya. "Wen, aduh tolong beliin jamu," pintaku kepada Wendya yang ikut meringis akibat cengkeramanku. "Aduh iya iya, Lis. Aku beliin tapi lepas dulu tanganmu." Begitu Wendya menyanggupinya, aku segera melepas cengkeramanku dan segera mengusirnya. Ia pun lari terbirit-b***t unyuk membelikanku jamu. Dan kemudian aku menenggelamkan wajahku sembari meremas perutku yang nyeri. Sekitar sepuluh menit sudah Wendya meninggalkaku untuk membelikan jamu, namun tak kunjung juga sampai. Aku berulang kali melihat ke arah pintu berharap Wendya segera muncul. Sampai saat menit kelima belas, ia pun akhirnya muncul. Ia membawa sebuah kresek bening yang di dalamnya ada sebuah minuman. Namun sepertinya ada yang aneh. "Wen, kenapa lama banget sih," gerutuku kepada Wendya yang baru saja duduk. "Ya maaf, Lis. Ibunya lama soalnya. Nih .... " Wendya memberikanku kresek itu kemudian aku terima dengan buru-buru. Begitu aku membukanya, bukanlah jamu yang aku dapati. "Loh, Wen, ini apa?" "Yah kan jus jambu kan kata lo juga," balas Wendya dengan santainya. Aku menganga mendengar jawaban Wendya yang membuatku dongkol. "Huaa Wendya gue pengen pingsan aja deh." Aku mengacak jilbabku frustasi. Bagaimana bisa ia membelikanku jus jambu, padahal aku tadi memesan jamu. "Eh, Lis. Kok gitu? Sakit banget yah?" "Wendya dengerin yah, gue tadi pesennya jamu bukan jambu, Wen." "Aduh maaf, Lis. Tadi aku lupa dan lama tadi tu karena aku lagi inget-inget kamu pesen apa tadi. Maaf banget yah, Lis," ungkap Wendya dengan wajah penuh penyesalan. Waktu itu aku ingin rasanya tertawa melihat kekonyolan Wendya, tapi rasa sakit perutku semakin menjadi-jadi hingga membuatku tak tahan lagi. "Aduh iya-iya nggak papa, Wen." Aku yang mengingat peristiwa itu menjadi terkekeh geli. Karena dibalik keseriusannya, ternyata ia bisa berbuat yang membuatku menjadi tertawa sereceh ini. "Eh, Lis, kenapa ketawa?" Wendya keheranan mendengar suara tawaku yang ternyata terdengar hingga sana. Aku menghembuskan napas panjang menetralkan tawaku. "Aduh nggak papa kok, Wen. Ya udah ntar gue share loc." "Aihh pasti lagi bayangin kejadian dulu itu kan kamu? Ngaku deh," sahut orang di seberang telepon dengan nada menyelidik. "Ihh kenapa sih tebakan lo selalu bener? Heran deh gue, Wen. Jangan bilang lo seorang cenayang ya? Hayo ngakuu??" balasku gantian mengajukan pertanyaan yang menyelidik. "Huss apaan cenayang-cenayang. Kamu masih percaya gitu sama tukang peramal atau cenayang kayak gitu? Plis jangan gitu, takut nanti mempengaruhi akidah kamu, Lis," sahur Wendya dengan nada khawatir. Aku tahu dia adalah sosok yang sangat menyayangiku. Dia sering mengingatkannku perhal agama dan ia tak sungkan sedikit pun. Itulah yang membuatku bersyujur memiliki sahabat sepertinya. Ia mau menegur dan mengingatkanku jika melakukan sesuatu yang tidak benar dengan tetap memperhatikan perasaanku. "Enggak, Wen. Lo kam udah berulang kali cerita sama gue. Tenang aja pokoknya lo gak perlu khawatir. Lagian gue juga cuma bercanda kali, Wen. Hahaha." "Nah bagus, aku tunggu. Ya udah yah lokasimu. Dan kalau bisa habis ini langsung kirim, aku takut terlalu lama di sini. Sepi soalnya." "Iya-iya, Wendya Sayang. Ya udah cepet matiin gue kirim langsung." "Oke, Lis, aku matiin ya. Assalamualaikum." "Iya, wa'alaikumussalam." Sesi bertelpon pun begitu sambungan telepon telah diputus oleh Wendya. Setelah itu aku segera mengiriminya lokasi rumahku untuk menjadi petunjuknya sampai ke sini. Setelah itu, aku meletakkan kembali ponselku dan kemudian merebahkan tubuhku kembali. Mataku sejenak terpejam menikmati rasa lelah yang aku rasakan seharian ini. Dan kejadian tadi ketika bertemu Radif pun turut mengisi pikiranku. Aku tak menyangka Radif akan bercerita semuanya kepadaku. Dan aku lebih tak menyangka ketika ia memberitahukan keputusan yang ia pilih. "Emmm apa nanti gue cerita ke wendya aja yah tentang masalahku dengan Radif?" tanyaku kepada diriku sendiri. Jujur saja aku sangatlah bingung. Aku tipikal orang yang jarang curhat. Namun bukan orang introvert juga. Hanya saja aku sangat jarang untuk berbagi cerita. "Ya udah deh nanti gue cerita aja. Siapa tau Wendya memiliki pandangan lain," putusku akhirnya. Aku bangkit terduduk dan melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.25. "Ah gue mandi dulu deh takutnya Wendya sampelnya cepet." Akhirnya aku pun beranjak dari ranjang empukku untuk menunaikan ritual mandiku. Tapi sebelum itu, aku mengeluarkan isi tasku terlebih dahulu dan mengambil sebuah buku kecil dari sana. Aku membuka buku itu dan mendapati telah penuh oleh tulisan tanganku. "Yah, padahal pengen nulis." Aku meletakkan buku itu di rak meja belajar kemudian pergi menuju lemari untuk mempersiapkan pakaian yang akan kukenakan nanti. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN