11-?Beautiful Eyes?

1858 Kata
_***_ Janganlah kalian tergesa-gesa membuat sebuah keputusan karena bisa saja apa yang kalian putuskan akan kalian sesali di masa depan. -Calista Bintang- _***_ Calista's POV "Lista, temenin kakak yuk." Saat aku tengah bersantai dengan menulis cerita, dikejutkan oleh pintu kamarku tiba-tiba saja terbuka dengan keras, kemudian menampilkan sosok kakak laki-lakiku. "Ya Allah, Kak Ken, udah dibilangin ketuk dulu kasih salam baru masuk kamar Calista," omelku melihat kebiasaan buruk kakakku. "Maaf deh buru-buru soalnya. Temenin kakak yah ke pemakaman." Aku begitu mendengar kata pemakaman langsung terkejut bukan kepalang. "Inalillahi wa innailaihi raji'un. Siapa yang meninggal?" ucapku terkejut. "Sahabat Kakak, Rafi. Yok kamu siap-siapnya cepet yah. Kakak tunggu di depan." "Inalillahi! Kak Rafi?" Sontak saja aku terperangah. Dalam hati pertanyaan besar tersimpan di sana. "Iya cepet yah." Begitu Kak Ken keluar dari kamarku, aku segera bangkit menutup laptop dan bergegas berganti pakaian. Aku tak boleh terlalu lama, melihat paniknya wajah Kak Ken tadi membuatku ikut panik, jadi wajar saja kalau aku juga cepat-cepat. *** Kami sedang melakukan perjalanan menuju pemakaman. Tadi Kak Ken sudah bertakziah ke rumah sahabatnya yang meninggal itu, namun ternyata sudah berada di pemakaman untuk dimakamkan. "Kak, hati-hati," ujarku panik karena Kak Ken menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi. "Jangan sampai kita juga berakhir tinggal di pemakaman, Kak. Sabar," lanjutku mencoba menenangkan Kak Ken yang nampak kalang kabut. Wajar sih ia sangatlah panik dan sedih, Kak Rafi adalah sahabat Kak Ken sedari masa sekolah. Setelah lost contact satu tahun, ia malah mendapati kabar yang tak terduga seperti ini. Mobil Kak Ken berhenti di sebuah pemakaman yang kini telah banyak orang yang berkerumun di satu titik yang kemungkinan tempat Kak Rafi akan dimakamkan. Kak Ken langsung mematikan mesin mobilnya kemudian bergegas menghampiri kerumunan itu. Sedangkan diriku pun segera mengikuti perginya kakakku satu-satunya itu. Prosesi pemakaman ternyata sudah selesai. Sangat disayangkan, Kak Ken belum sempat melihat wajah sahabatnya itu untuk terakhir kali. Saat ini Kak Ken sedang bersama sahabat-sahabatnya yang lain. Aku yang wanita sendiri pun menjauh dari sana dan memilih untuk menunggu Kak Ken saja di parkiran. Namun baru saja aku akan keluar area pemakaman, mataku memicing begitu melihat sesosok yang tak asing bagiku. "Radif?" Iya, dari postur tubuh dan rambutnya tentu aku mengenal ia adalah Radif. Tapi apa yang ia lakukan di sini? Dengan rasa penasaran yang tinggi, aku pun melangkah mendekatinya. Setelah jarak dari kami tak terlalu jauh, aku justru mendengar isakan dari arah Radif berada. 'Apa Radif menangis?' batinku. Aku terus menunggu dan melihat Radif dari jarak aman. Tapi lama kelamaan isakan itu semakin keras terdengar. Aku yang menjadi iba pun mendekat hingga menyisakan dua langkah dibelakangnya. "Mama, Fauzan butuh pelukan Mama," ucap Radif yang terdengar lirih di telingaku. Hatiku tergetar mendengar suara paraunya itu. Pikiranku seketika teringat peristiwa kemarin dan sikap Radif kepada ayahnya. Apakah masalah yang Radif hadapi sedemikian beratnya? Karena tak tahan dengan rasa ibaku, akhirnya aku menghadiahinya sebuah tepukan pada pundaknya. Ia tampak tak menghiraukan, aku tahu perasaannya kali ini sedang kacau. Aku bermaksud memberinya sebuah perasaan yang aku harap bisa membuatnya lebih tenang. "Lepaskan saja," ujarku. Seusai membisikkan kalimat tadi, aku kembali melangkahkan kakiku menjauh darinya dengan maksud memberikannya ruang untuk privasinya berkeluh-kesah dengan mamanya. *** "Emmm Kak Ken masih lama nggak yah," gumamku bertanya dengan diriku sendiri. Ting .... Aku segera membuka ponselku dan ternyata ada sebuah pesan dari Kak Ken. Kak Ken : Lista, kamu pulang sendiri dulu yah naik taksi. Kakak mau sampe malem di rumah Rafi. Nanti kalau kamu udah sampai rumah, kabarin kakak. "Ah. Ya udah deh nunggu taksi dulu." Aku sambil menunggu taksi lewat, menyempatkan diri mengistirahatkan kakiku. Untung saja ada kursi, jadi aku bisa menunggunya di sana. "Bintang." Sebuah suara terdengar dan tak asing lagi di telingaku. Aku menoleh ke arah suara itu berasal dan benar saja itu adalah Radif. Raut wajahnya nampak tenang, namun area mata tidak bisa membohonginya apabila ia baru saja menangis. "Emm lo mau pulang?" jawabku berusaha mencairkan suasana. Semenjak kemarin aku selalu menghindari Radif. Jujur saja aku masih terkejut dengan kebenaran yang baru saja terungkap. Yang lebih mengejutkan bagiku adalah ucapan Pak Al yang menuduhku yang tidak-tidak. Aku pun tak habis pikir dengan pemikirannya, kenapa ia bisa berpikir demikian? Apa itu semua karena gadis yang tak sengaja aku celakai itu? Sepertinya pun keluarga Radif terlihat sangat dekat dengan gadis itu. Mendengar jawabanku, ekspresinya nampak terkejut bahkan ia pun membalasnya dengan gugup "Ah, iya gue mau pulang." Aku menjadi semakin penasaran dengan sosok urakan seperti Radif. Atau mungkin sikap urakan yang selalu ia tunjukan itu ada hubungannya dengan ini? Argh, kemisteriusanmu bisa membuatku gila. "Maaf." Sekarang giliran diriku yang terkejut. Karena terlalu larut dengan pikiranku, aku jadi tidak bisa fokus. Tapi kejadian kemarin selalu terputar otomatis ketika berjumpa dengannya. Itu lah salah satu alasan yang membuatku tak ingin bertemu dengannya. Mataku menatap Radi yang sudah berbalik melangkahkan kakinya menjauh dariku. Entah karena apa, aku sampai berani menjawab pernyataan maaf Radif tadi dengan teriakan. "Gue udah nggak marah kok." Aku spontan saja merutuki kebodohanku. Dan benar saja ia berbalik badan menatapku. Aku yang kikuk hanya bisa tersenyum. 'Aih, bodoh kau Lista.' "Beneran, Tang?" tanyanya sepertinya masih tak percaya. Bukannya apa-apa, setelah aku pikir ulang ternyata tak ada kemarahan untuk Radif mungkin hanya sedikit kecewa saja karena ia tak menceritakan kebenarannya sejak awal. Aku mengangguk kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain karena Radif menatapku tepat di bola mataku. Aku menetralkan dan mengendalikan rasa gugupku yang tiba-tiba mendera dengan bertanya. "Tapi gue pengen tanya deh. Kenapa lo ngerahasiain identitas papa lo?" Derap langkah Radif terdengar mendekat kembali. Kemudian ia duduk di bangku sebrang di mana aku duduk tadi. "Gue takut masa lalu terulang lagi," ucapnya memulai akan bercerita. Aku pun segera memasang telinga untuk mendengarkan alasan sebenarnya yang ia rasakan. "Masa lalu?" tanyaku berusaha untuk menunjukkan ketertarikanku terhadap ceritanya. "Dulu sewaktu SD Papah juga menjadi kepala sekolah di sekolah gue. Waktu itu anak-anak tau gue anak dari kepala sekolah itu. Dan kebetulan karena waktu itu gue ikut les jadi bisa ngikutin pembelajaran dengan baik. Tapi ternyata anak-anak salah paham, mereka mengira gue selalu dapet nilai bagus itu karena Papah gue kepala sekolah. Mulai dari sana gue dikucilkan. Bahkan sampai lulus pun nggak ada yang mau temenan sama gue." Ia berhenti berbicara sepertinya menjeda cerita. Namun beberaoa menit ia masih terdiam. "Lantas apa karena ini lo nyembunyiin identitas Papah lo dan lo jadi benci sama dia?" tanyaku to the point. Ia nampak tertawa miris dengan sorot mata penuh dendam. "Gue bahkan nggak nganggep Pak Al itu Papah gue." Aku terdiam mencerna tiap kata yang Radif ucapkan. Terkejut lebih tepatnya ketika mendengar Radif berbicara itu. "Awalnya gue nggak masalah dengan anak-anak yang nggak mau temenan sama gue gara-gara Papah. Tapi sebuah kejadian membuat rasa benci itu tumbuh dan terus tumbuh hingga membuatku muak memiliki seorang Papah seperti itu," lanjut Radif menyiratkan luka yang sepertinya bertahun-tahun ia pendam. "Apa yang terjadi?" "Papah selingkuh saat tau umur Mamah udah nggak lama lagi." Mataku membuat begitu mengetahui fakta tersebut. Rasa sakit yang Radif rasakan seolah menular kepadaku dan merasakan betapa perihnya rasa itu. "Mamah satu-satunya orang yang bisa ngerti apa yang gue rasain. Saat Papah menekan gue buat selalu jadi juara kelas, Mamah selalu kuatin gue. Mamah segalanya buat gue. Sampai saat di mana Mamah ninggalin gue untuk selama-lamanya, Papah nggak ada di sisi gue." Mata Radif mulai meneteskan air mata. Sedangkan diriku yang mendengarnya sudah banjir dengan air mata. "Mulai dari situ aku sudah sangat membencinya. Aku memutuskan untuk tinggal sendirian di sebuah apartemen. Tapi ternyata penderita yang Papah kasih bukan sampai situ aja, tanpa gue duga Papah menjadi kepala sekolah di SMA sekarang. Aku yang udah bertahun-tahun selalu menghindarinya, kini harus sering bertemu kembali dan itu yang membuat luka lamaku kembali terbuka." Sorot mata Radif kini seperti pada saat ia berbicara keras kepada Papahnya waktu itu. Aku tahu ini pasti sangat menguras amarahnya. "Jangan dilanjutkan jika itu berat, Dif," kataku mencoba memahami perasaannya. Namun sepertinya ia tak mengidahkan. Karena tatapannya tak sama sekali berubah. "Gue makin benci saat dia tiba-tiba datang dan ngatur kehidupan gue lagi. Dan lo tau, Tang? Dia cuma memperalatku untuk memperlakukan Era dengan baik hanya agar ayah Era mau menginvestasikan uangnya di perusahaannya. Hahaha gila kan." "Gue ragu sosok seperti itu masih pantas dianggap sebagai Papah," ujar Radif tersenyum getir. Aku segera mengusap air mataku yang telah mengalir deras di pipiku. Aku tak mau Radif berpikiran aku mengasihaninya. Aku tau tipe seperti Radif itu tak akan suka dengan orang yang mengasihaninya. "Gue mohon, Tang, jangan dengerin apa kata Papah gue. Ucapannya kemarin, jangan lo ambil hati. Dia cuma bisa bercakap besar dan kenyataan yang ia ucapkan itu tidak benar," ujarnya menatap diriku. Aku hanya sanggup menganggukkan kepalaku seperti sedang menerima perintah sang raja. "Nih buat ingus lo." Aku terkejut ketika sebuah sapu tangan Radif lemparkan kepadaku. Aku pun spontan menutup hidungku dengan sapu tangan itu. "Cengeng banget sih lo," lanjutnya meledekku. Aishh sepertinya Radif yang biasanya telah kembali. Mendengar ucapannya itu membuatku menjadi meradang. "Hei wajar dong gue cewek. Jadi sensitif hatinya," elakku. "Idih, iya deh iya wanita memang selalu benar," ejeknya lagi. Aku hanya mengendus kesal sembari mengusap ingusku yang ternyata memang keluar banyak. Aih sangat memalukan. "Iuhhh, Lo harus balikin itu sapu tangan dalam keadaan steril yah," kata Radif dengan nada jijik. Aku terkekeh geli melihatnya seperti itu. Dengan iseng aku pun melemparkan sapu tangan yang sudah basah itu ke sebelah Radif yang sontak saja menuai reaksi garang. "Woy ihh jorok!!!" Aku semakin terkekekh geli melihatnya yang menepuk-nepuk pakaiannya seolah terkena ingusku, padahal tak sama sekali menyentuhnya. "Hahaha lebai lo." "Ihh ambil!! ambil pokoknya!!!" seru Radif membuatku sakit perut akibat tertawa. Aku pun mengambil sapu tangan itu dan memasukkannya di kantongku untuk besok aku cuci dan aku kembalikan. Ting. Suara pesan masuk di ponselku membuatku bergegas membukanya. Ternyata itu adalah pesan dari Kak Ken yang menanyaiku sudah sampai rumah atau belum. "Eh aduh gue harus balik nih. Ini gue balikin besok yah waktu sekolah," ujarku sembari memasukkan ponselku ke dalam tas selempang berniat siap-siap untuk segera pulang. "Ah iya boleh, mungkin besok juga terakhir gue ke sekolah." Aku sontak langsung menoleh ke arah Radif. "Heh?! Maksudnya?" Baru juga aku menunggu jawaban dari Radif, sebuah taksi melintas di depanku sehingga mau tak mau aku harus segera menghentikan taksi itu untuk bisa pulang. "Besok deh gue kasih tau di sekolah. Gue juga harus balik sekarang," balas Radif mulai bangkit dari tempatnya. "Ah boleh, ya udah gue pulang duluan yah. Oh iya pesen gue, seburuk-buruknya sikap papah lo, dia akan tetap sebagai orang tua yang turut andil atas kehadiran lo di dunia ini. Pokoknya jangan membuat sebuah keputusan yang akan lo sesali nantinya," ucapku berkata bijak kepada Radif. Aku harap sih ia tak akan tersinggung. "Iya, Bintang si penulis. Udah sana keburu dicari nyokap lo nanti," tanggap Radif dengan gayanya yang selengekan. "Aihh. Ya udah ati-ati Lo pulangnya. Assalamualaikum." "Iya, lo juga. Wa'alaikumussalam." Usai berpamitan, aku segera memasuki taksi itu dan pergi meninggalkan Radif yang menatap kepergianku. Gue harap lo nggak akan mengambil keputusan yang membuat lo menyesal, Dif. Meskipun lo nyeselin, tapi gue bakalan doain buat kebahagiaan lo. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN