9-?Beautiful Eyes?

1309 Kata
_***_ Aku orangnya simpel kok. Jika kamu baik kepadaku, aku akan bersikap jauh lebih baik kepadamu. Namun jika kamu mencampakkanku, aku pun akan lebih kejam mencampakkanmu. SIKAPKU TERGANTUNG SIKAPMU -Radif Fauzan Alvar- _***_ Radif's POV Langit yang tadinya berwarna biru, kini telah berubah menjadi hitam. Kicauan burung yang merdu, kini digantikan suara kicauan jangkrik yang nyaring. Angin yang semula bertiup sepoi-sepoi, kini berganti menjadi angin dingin yang menusuk tulang. Hampa. Mungkin itulah satu kata yang menggambarkan isi hatiku. Entahlah seperti ada sesuatu yang hilang di dalam sana. Aku pun dilema akan perasaan yang tak menentu ini. Bimbang akan keputusan yang akan memengaruhi masa depanku nanti. Kakiku berhenti melangkah begitu mataku menangkap beberapa objek di depan sebuah rumah yang amat familiar. "Huh .... " Napas kasar meluncur spontan dari mulutku. "Fau!" Sebuah suara yang sudah aku duga-duga kini telah terdengar di telingaku. Setelah memastikan kesiapan hati, aku bergegas melanjutkan langkahku lewat di antara dua mobil yang terparkir di halaman rumah. Setelah itu tanpa permisi aku memasuki rumahku dan bergegas menuju kamar tanpa memedulikan seorang gadis berseragam sama denganku yang dari tadi nenyapa. "Fau kok baru pulang jam segini?" Aku tak mengindahkannya, biar saja ia lelah sendiri melontarkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Aku sudah muak dengan semuanya. "Fauzan!" Kini seruan berasal dari pria paruhbaya yang memasang badan menghalangiku melangkah. Aku berhenti sejenak menatap wajah papah yang memerah. Ia menode diriku untuk bersikap baik karena sedang ada tamu. Aku menengok kearah sofa dan menemukan seorang pria seumuran dengan papahku bersama dengan gadis yang memanggilku diawal tadi. Mereka berdua tersenyum ramah kearahku, namun bukannya menyambut ramah aku hanya memasang wajah dingin kemudian melangkah kembali melewati jalan yang tak tertutup oleh tubuh papahku. "Kemana sopan santunmu, Fauzan!" Gertakan papah membuatku berhenti melangkah. "Coba tanyakan pertanyaan itu kepada dirimu sendiri ... Papah." Memang terkesan kurang ajar di ucapkan, tapi aku sudah muak dengan semua. Sikap baik yang ditunjukkan tak selamanya berniat baik. Iyap, kebaikan yang ia tunjukkan itu hanyalah kenaifan. Seusai mengucapkan kalimat pedas tadi, aku bergegas meninggalkan tempat itu dan menyisakan papah yang sudah pasti akan marah besar setelahnya. Tapi aku tak peduli, amarahnya itu sudah menjadi makananku sehari-hari. *** Suara dering alarm membangunkanku dari alam bawah sadar yang sejenak memberikan ketenangan di hidupku. Aku mendudukkan diri menatap keseluruhan ruangan kamar yang sejak kecil aku tempati. Sebenarnya sudah tak sama dengan kamarku sewaktu kecil, namun kenangan di kamar ini selalu melekat seperti dulu dan selalu mengingatkanku kepada seseorang yang sangat aku sayangi. "Fauzan Sayang, bangun yuk." Suara lembut itu mengalun menyapa indera pendengaranku yang belum terkontaminasi suara apapun. Sentuhan menenangkan pun turut terasa di keningku membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku sangat menyukai aktifitas ini. "Aihh kebiasaan kamu. Udah cepet bangun jangan pura-pura tidur," ujar sesosok itu membuatku tak bisa menyembunyikan senyumanku. "Ah biarkan seperti ini dulu, Ma. Fauzan suka diginiin," cegahku bermanja-manja ria. Mama yang tadinya akan beranjak pergi, mendadak duduk lagi di kasur empukku. "Kamu itu memang masih anak kecilnya mama." Mama membelai kembali rambutku dengan gemas. Seperti inilah aku jika sudah bersama Mama, akan sangat sulit untuk tidak bermanja. Entahlah aku sangat menyayangi Mama, sampai hampir setiap saat apabila sedang ada di rumah aku akan mengikuti kemanapun Mama pergi. Rasanya aku tak rela jika harus berpisah dengan Mama nantinya. "Mama, Fauzan di sini butuh mama. Fauzan sangat merindukanmu, Ma." Tanpa sadar kelopak mataku telah penuh dengan air, sehingga saat aku berkedip tumpahlah semua air itu meninggalkan bekas di pipiku. Setelah cukup lama aku merenung kembali, aku pun mengalihkan pandanganku ke sebuah kalender duduk di samping tempat tidurku. "19 Maret 2021. Tepat tiga tahun lalu kejadian tragis itu terjadi." *** Terik nya matahari terasa membakar kulitku, namun aku tak beranjak untuk berteduh. Aku tetap berdiri di tengah halaman yang terdapat banyak gundukan tanah. Aku terdiam menatap intensif ke arah tanah merah yang kini sedang aku taburi bunga. Kini diriku berada di sebuah pemakaman yang letaknya tak jauh dari rumahku. Dan kini aku sedang berdiri di hadapan pusaran sesosok yang selalu terbayang di benakku selamanya dan tentu aku amat merindukannya. "Assalamualaikum, Ma. Fauzan mau jenguk Mama." Setelah mengucap salam, aku kemudian berjongkok menghadap batu nisan bertuliskan Bina Salsabila binti Suherman. Jika kalian menebak ini adalah makam mamaku, berarti kalian benar. Seperti yang terjadi pagi tadi, siangnya aku langsung mendatangi Mama karena aku memang sedang sangat merindukannya. "Mama kabarnya gimana? Fauzan rindu banget sama Mama," celotehku kepada pusaran itu dengan riang. Rasanya ketika berbicara seperti ini, aku merasakan seperti berbincang dengan Mama. Ketenangan dan semilir angin yang membelai tiap inci tubuhku selalu bisa mengobati tiap kerinduanku kepada Mama. Kali ini pun sama, namun entah mengapa rasa sesak dan perasaan lelahku mendadak terasa ingin diluapkan. Bahkan saking sesaknya dadaku,sebuah isakan lolos begitu saja dari bibirku. "Mama, Fauzan butuh pelukan Mama," lirihku dengan air mata yang mulai mengalir. Sebuah tepukan tiba-tiba saja aku rasakan di pundakku. Aku tak menghiraukan dan terus mencoba mengendalikan diriku. Entah mengapa tepukan itu membuatku jauh lebih tenang. Aku mengusap sisa air mata di wajahku kemudian menetralkan kembali isakanku. "Lepaskan saja." Seusai ia membisikkan kalimat tadi, aku mendengar suara langkah kaki menjauh. Sepertinya ia mengerti dan memberikan ruang kepada diriku untuk menenangkan diri. Setelah aku merasa tenang, aku mengirimkan doa untuk Ibu terlebih dahulu sebelum memutuskan pergi. "Aamiin aamiin ya rabbal'alamin .... " Aku mengusap wajahku setelah selesai berdoa kemudian tersenyum kepada Mama. ah ralat, makam Mama. "Ma, Fauzan pamit pulang yah. Insyaallah besok Fauzan mampir ke sini lagi sebelum Fauzan jauh dari Mama. Ma, doakan Fauzan ya Ma," kataku sembari mengusap nisan Mama dengan lembut. "Assalamualaikum, Ma. Fauzan merindukan mama." *** Aku segera melangkah keluar dari pemakaman itu dan langsung mencuci tangan dan kakiku ditempat yang disediakan. Setelah aku membersihkan diri, aku segera menuju di mana motorku berada. Namun baru juga aku akan menaikinya, pandanganku menangkap seorang gadis yang menepuk pundakku tadi. Ia tampak celingukan mencari seseorang. "Bintang ... " Saat aku memanggil namanya, ia nampak terkejut. Wajahnya masih nampak dingin ketika menatapku. Aku tahu kejadian kemarin pasti masih terngiang-ngiang di pikirannya. Apalagi sebuah rahasia yang aku simpan rapat-rapat, kini sudah terbongkar. Tentu ia akan sangat marah. Belum lagi sikap Papah kepadanya waktu itu. Papah dengan tega membuat spekulasi sendiri atas sikapku selama ini. Ia mengalahkan orang lain, padahal dirinya sendiri yang menyebabkan semua ini terjadi. Sungguh sampai sekarang ini aku masih sangat marah, kejadian ketika Papah mengancam Bintang masih terekam jelas diingatkanku. "Emm lo mau pulang?" Jawaban Bintang menyentakku untuk tersadar dari ingatan kemarin. "Ah, iya gue mau pulang." Semenjak kejadian kemarin semuanya menjadi canggung, bahkan Bintang cenderung menghindariku sedari kemarin. Aku menatap keberadaan gadis itu yang menjaga jarak. "Maaf." Hanya satu kata itulah yang mampu aku ucapkan. Entah mengapa aku bisa dengan mudahnya meminta maaf saat goresan luka telah ditorehkan oleh Papahku sendiri. Sebenarnya aku malu sungguh malu untuk menampakkan diri di depan Bintang. Tapi sepertinya takdir menginginkanku untuk terus berada di dekatnya. Bintang tampak diam seperti tak memedulikan keberadaanku. Mungkin ingatannya sedang memutar kejadian kemarin. Sepertinya aku lebih baik pergi daripada membuat Bintang tertekan. Perkataan Papah pasti akan sangat berpengaruh ketika ia berada di sekitarku. Aku hanya mampu menghela napas panjang kemudian berbalik kembali ke arah motorku berada. "Gue udah nggak marah kok." Perkataan Bintang sontak saja membuatku berbalik. Ia nampak menatapku tersenyum. Sepertinya memang benar ia tak marah lagi denganku, namun dari sorot matanya, rasa kecewa pasti masih ada. "Beneran, Tang?" tanyaku memastikan. Karena jujur aku masih tak percaya mengingat ia begitu keras menghindariku. Ia mengangguk kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain karena aku juga menatapnya tadi. "Tapi gue pengen tanya deh. Kenapa lo ngerahasiain identitas papa lo?" Aku kembali mendekat ke arah Bintang untuk menjelaskan semuanya. Karena aku pikir ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya dan ini sepertinya juga waktu yang tepat untuk memberitahukan bahwa ini adalah hari terakhir aku bisa melihatnya lagi. Ya rabb, kenapa hati hamba tak rela untuk berpisah dari sini dan terutama mengapa sesak rasanya ketika harus berpamitan dengan Bintang? Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN