5-?Beautiful Eyes?

1747 Kata
_***_ Setiap orang memiliki suatu sifat yang sengaja disembunyikan untuk bertahan hidup. Ada kalanya seseorang yang selalu ceria tiba-tiba terdiam. Ada pula orang yang awalnya cuek mendadak berubah drastis menjadi si periang. Semua perubahan itu ada alasannya yang tak siapapun memahaminya kecuali diri sendiri _***_ Dengan langkah secepat kilat seorang pria memasuki sebuah ruangan tanpa permisi. Tak lama setelah itu suara melengking keluar dari ruangan yang baru saja pria itu masuki. "Radifff .... " Radif's POV Aku berlari cepat menuju ke ruang BK di mana Bu Reya berada. Aku tak mau kena semprot lagi akibat terlambat menghadap. Yang aku tau pasti adalah ketika Bu Reya telah marah, ia akan mengeluarkan suara emasnya yang menggelegar, bahkan seluruh penjuru sekolah akan mendengarnya. Akibat aku terlalu kencang berlari, aku langsung saja menerobos masuk ke ruangan yang pintunya kebetulan sedang terbuka. Sesaat aku setelah menerobos masuk, akhirnya aku bisa berhenti berlari. Lebih tepatnya dipaksa berhenti, kalian tahu? Aku menabrak Bu Reya yang sedang berdiri membawa minuman yang baru saja ia ambil. Matanya sontak melotot seakan-akan mau keluar. Dan ternyata air yang ia bawa tadi mengguyur seragam cokelatnya. "Radifff .... " Benar dugaanku, pasti akan ada teriakan melengking yang mengharuskan aku menutup telingaku jika masih ingin mendengar dengan baik. "Aduh maaf, Bu. Remnya blong tadi," belaku. Karena memang benar kan ini tak sengaja. "Radif bisa enggak sih kamu jadi siswa teladan di sekolah sehari saja. Ibu sampai pusing ngadepin sikap kamu yang aneh bin ajaib ... bla ... bla ... bla," ujar Bu Reya yang seperti tak ada hentinya berbicara. "Ampun deh, bakalan sampe subuh ini," gumamku pelan menanggapi omelan Bu Reya yang tak ada habisnya. " .... jelas Radif!" Aku yang sudah malas mendengar omelan Bu Reya hanya mengangguk patuh. Aku takmau jika menanggapinya nantinya malah membuatku harus lebih lama mendengar ceramah darinya. "Nah bagus, ya udah sana," suruh Bu Reya yang tak aku mengerti. Apa ini aku disuruh untuk balik ke kelas tanpa informasi apapun? "Iya, Bu." Aku pun langsung berbalik untuk keluar ruang BK dan kembali ke kelas. Namun baru saja aku akan melangkah keluar, sebuah kejadian membuatku terpaksa menghentikan langkahku. "Eh Fauzan, kenapa kamu ke sini, Nak?" "Loh ada Pak Al, silakan masuk, Pak," tanggap Bu Reya yang tiba-tiba ikut menimbrung. Aku memutar bola mataku malas, jengah sendiri aku menghadapnya sekarang. "Iya, Bu, tunggu sebentar," jawabnya masih tetap menatapku. Aku mengalihkan pandanganku. Aku tak mau melihat wajahnya itu, terlalu malas bagiku meladeninya. "Saya pamit." Saat aku hendak melengang pergi, sebuah tangan menahan laju langkahku. Aku sudah tau pasti siapa pemilik lengan berjas itu. "Papa mau bicara berdua sama kamu," tegas seseorang yang dipanggil Pak Al tadi. Aku menyentak tangannya agar terlepas, "saya tidak bisa. Masih ada pelajaran yang harus saya ikuti." Setelah diriku terlepas, aku segera melanjutkan langkahku tanpa memedulikan seseorang yang terhormat di sekolahan ini. Apakah kalian penasaran siapa dia? Baik akan aku beri tahu. Rindo Alvar adalah sosok yang paling disegani di sekolahku ini. Dia adalah direktur di mana aku bersekolah. Jika kalian menerka bahwa dia adalah ayahku, aku akui itu memang benar. Tapi aku tak benar-benar mengakui ia adalah suami dari orang yang melahirkanku. Bagi semua orang mungkin sosok Pak Al ini adalah pria yang sempurna, tapi bagiku ia adalah monster. Kebaikan dan kedermawannya itu hanyalah kedok untuk menutupi keborokannya. Aku tahu betul siapa dia, oleh karena itu aku merasa jijik ketika melihat dan mendengar orang lain memperbincangkan dan mengunggul-unggulkan dirinya itu. "Radif, bersikaplah sopan kepada ayahmu," tegur Bu Reya yang masih bisa aku dengar. Sejenak aku berhenti melangkah. Aku mengangkat salah satu sudut bibirku tersenyum remeh. "Ayah?" gumamku lirih. "Setidaknya aku tidak naif dan munafik seperti dia," jawabku seraya berusaha meredam amarahku. Ini lah yang paling aku benci. Mereka tak tahu apa-apa hingga membandingkanku kepada dirinya yang naif itu. Oke aku akui aku adalah siswa yang urakan dan tak taat aturan, tapi setidaknya aku tidak munafik dengan semua yang aku lakukan. Aku punya jalanku sendiri, ini hidupku tak akan ada yang bisa mengatur hidupku. Selepas aku mengucapkan jawaban tadi, aku bergegas benar-benar pergi dari hadapan mereka. Aku lelah harus bersikap demikian kepada seseorang itu. *** "Baik sekarang silakan kalian buka buku paket kalian di halaman 114. Kalian bisa kerjakan soal-soal itu sampai selesai. Kalian boleh kerjakan tugas itu dimana saja, asalkan jangan membuat keributan. Nanti akan bapak tunggu jawaban kalian di meja bapak, paling lambat pengumpulan selepas sekolah selesai," ujar seorang pria paruh baya yang sedang berdiri di depan kelas dengan membawa satu buku tebal. "Baik, Pak," jawab seluruh siswa serempak. "Dito, kenapa kursi di sebelah kamu kosong? Itu tempat Radif kan?" tanya guru itu yang baru menyadari muridnya hilang satu. "Tadi ketua kelas sedang dipanggil Bu Reya, Pak. Sampai sekarang Radif belum kembali," jawab Dito memberi penjelasan. "Aish anak itu suka sekali membolos kelas," gumam Pak Endra, guru mata pelajaran Fisika. "Ya sudah cepat kerjakan, bapak mau ada rapat dulu. Assalamualaikum." "Wa'aalaikumussalam." Guru itu pun bergegas mengemasi buku-bukunya yang masih berserakan di meja kemudian bergegas melengang pergi. Selepas itu, para murid mulai berpencar. Ada yang keluar kelas ada pula yang tetap berada di dalam kelas dengan posisi yang bermacam-macam. Biasanya orang yang ada di dalam kelas itu adalah orang yang malas, mereka mengerjakan tugasnya dengan sambilan menonton atau bermain game. Namun ada satu orang yang nampak terlihat kebingungan mencari-cari sesuatu. Ia memang tampak tak peduli dan hanya duduk saja di kursinya, namun pandangannya tak hentinya menyapa ke seluruh arah. "Kenapa, Lis?" Murid itu tersentak karena fokusta tak sedang berada di sana. "Ah ... tidak. Gue pengen ke kamar mandi dulu," sanggah siswi itu kemudian beranjak dari kursinya dan menuju keluar kelas. *** Kencangnya angin membuat rambut pendekku bergoyang-goyang. Mataku menatap lurus kepada sebuah ruangan yang terlihat mewah dari ketinggian. Banyak sekali pemikiran yang terlintas di kepalaku. Dendam dan benci selalu saja datang ketika aku melihat semua hal tentangnya. Aku tak mau seperti ini, tapi keadaan menekanku dan membuatku menjadi seperti ini. Ya Tuhan aku lelah. Aku terduduk dengan kaki yang menggantung di atap sekolah, iyak sekarang aku sedang ada di rooftop sekolah. Tempat favorit yang bisa menenangkan pikiranku adalah di sini. Di atas ketinggian ini aku bisa melihat betapa bahagianya para siswa bersama kawan-kawannya, melihat mereka bersenda gurau. Tapi tak jarang juga aku bisa melihat pada siswa yang saling bertengkar dan baku hantam. Semua itu memang seru aku saksikan. Aku merogoh saku celanaku dan mengeluarkan benda persegi panjang yang sangat akrab denganku. Kemudian aku mengambil satu buah dari dalam benda itu dan aku sematkan di mulutku. Tanganku kembali mengambil satu benda lagi dan menyulutkan api sebatang rokok yang akan aku hisap. Hufttt ... Asap pun mengepul keluar dari mulut dan hidungku. Sungguh aku sangat menikmati benda ini. Jika kalian beranggapakan aku adalah pecandu rokok, maka aku akan jawab tidak. Aku hanya mengonsumsi rokok jika terdapat pemikiran yang rumit saja. Bagiku dengan merokok bisa sedikit menenangkan pikiranku walaupun bukan menghilangkan masalah, tapi aku sangat terbantu. "Andai saja kau masih di sini, Ka." "Ternyata lo di sini?" Sebuah suara mengejutkanku, tapi aku sudah hafal pemilik suara itu. Aku tak berbalik, hanya mengabaikannya saja. Aku sedang malas dan mood-ku sedang tak baik sekarang. "Kenapa lo di sini? Pergi sana, udara di sini tak baik." Aku mendengar derap langkah mendekat ke arahku. Aku yang mengerti usiranku tak akan mempan pun segera mematikan putung rokokku yang baru aku hisap satu kali tadi. "Siapa bilang? Di sini seger kok," jawab seseorang tadi yang kini telah ada di sampingku. Aku menghela napas berat. "Ngapain lo di sini?" "Gue? Yah mau cari udara seger aja. Kenapa? Nggak boleh?" jawabnya dengan nada yang menyebalkan. "Dasar," tanggapku kemudian. Setelah percakapan tadi, tak ada suara yang keluar dari kami berdua. Suasana sangat hening bahkan terkesan canggung. Tapi biarlah aku memang sedang mencari ketenangan di sini. Aku penasaran kenapa sosok Bintang bisa keluar kelas di jam pembelajaran seperti ini, sungguh mengherankan. Iya yang tadi mengagetkanku adalah Bintang, si bintang kelas. Apakah dia cemas terhadapku hingga rela membolos pelajaran? "Btw, kok lo keluar kelas sih secara sekarang kan lagi KBM?" tanyaku memecahkan keheningan. "Jangan geer yah lo. Gue bisa keluar kelas karena emang pelajarannya Pak Endra dikasih tugas dan boleh dikerjain di mana aja. Gue lagi suntuk pengan cari suasana baru." Aku mendengar nada bicaranya tak biasa, hal ini membuat pemikiran jail terlintas di benakku. "Heem ... iya iya gue percaya," ujarku dengan cengengesan. "Ih apaan sih, Dif gue beneran tau," sangkal Bintang dengan berusaha meyakinkanku. "Iya gue percaya kok lo cemaskan sama gue? Hahah, Tang lo itu nggak bakat buat bohong tau. Bohong banget kalau cuma cari angin, orang lo tadi bilang 'Ternyata lo di sini?' artinya kan lo sedari tadi nyariin gue. Hayooo ngaku aja sih," godaku yang langsung menuai salah tingkah. Ahahaha aku senang sekali membuat Bintang tak bisa berkutik seperti ini. Seperti ada kebahagian besar ketika bisa menjahili seorang Bintang. "Apa sih, gue males ah," jawab Bintang bergegas beranjak dari duduknya berniat untuk pergi. "Lagian gue seneng kalau ada yang cemas sama gue," ujarku tanpa sadar. Jujur saja melihat tingkah Bintang, ada rasa bahagia yang telah lama tak aku rasakan. Rasa hangat tiba-tiba muncul di tengah dinginnya hati. Langkah Bintang terhenti. Aku berbalik kembali menatap lapangan hijau sekolah. Telingaku menangkap kejanggalan, suara derap kaki Bintang bukannya semakin menjauh justru terdengar semakin mendekat. Aku pun menengok dan malah menemukan Bintang yang berdiri di belakangku dengan berdiri canggung. "Kenapa lagi?" tanyaku. "Emmm gue mau tanya, tadi Bu Reya ngapain manggil ketua kelas? Gue sebagai wakil ketua kan juga perlu tau," ucap Bintang yang gelagapan. Aku terkekeh kecil mendapati Bintang yang terlihat tidak seperti biasanya. Sepertinya ia mendengar ucapan lirihku tadi. "Ntah, gue nggak dengerin info apa-apa, gue malah diomelin gara-gara telat menghadap." "Lah Radifff kok bisa sih," ujar Bintang kesal. "Gue kan udah bilang jangan buat masalah lagi," lanjutnya. "Lo tau sendiri kan gue nggak akur sama Bu Reya. Lagian lo tadi mau gue mintain tolong buat menghadap Bu Reya, malah marah-marah nggak jelas. Udah gue nyariin lo susah banget eh begitu ketemu malah di tinggal gitu aja. Jadi ini gara-gara lo lah," jelasku yang sengaja membuat Bintang panas sendiri. "Heh?! Lo sih nyebelin banget. Ah tau lah, gue ngomong sama lo selalu aja ngajak berantem," kata Bintang yang sudah kesal. "Hahaha, ya udah sekarang sebagai wakil ketua yang baik silahkan aja tanya ke Bu Reya langsung," titahku dengan tak ada sedikit pun rasa bersalah. "Nanti yang kena semprot gue, oneng! Ah udah lah gue mau balek aja." Bintang berujar demikin kemudian berbalik meneruskan langkah yang tertunda tadi. Aku yang melihat itu hanya bisa tertawa kegirangan. Sungguh membuatnya kesal adalah hobiku dari dulu. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN