43-?Beautiful Eyes?

1135 Kata
_***_ Rotasi kehidupan tidak ada yang tahu. Semua tergantung Allah yang berhak berkehendak. Kita hanya makhluk lemah yang hanya bisa berpasrah. Kita hanya harus selalu bersiap untuk menerima segala takdir yang telah Allah kehendaki. Janganlah tinggi hati dan janganlah merasa merendah diri. _***_ Calista's POV Seusai aku membuatkan minuman untuk Kak Ken dan temannya tadi, aku bergegas kembali ke kamar untuk meneruskan aktivitasku yang sempat tertunda. Meski pun masih ada rasa kesal akibat pertemuan tadi. Aku kembali mengambil novelku dan hendak melanjutkan membaca namun seketika aku teringat kembali tentang pertemuanku dan teman Kak Ken tadi. Ia sepertinya akan meminjam n****+ ini. Apakah ia juga sosok kutu buku? Tapi dari penampilannya aku tak menyangka ia juga penggemar n****+ romantis. "Ash ngapain mikirin itu lagi sih. Bodo amat. Pokoknya gue harus jauh-jauh. Lagian aneh banget sih kenapa coba malah ketemu lagi di rumah. Kan jadi malu. Untung tadi dia gak bilang macem-macem. Semoga aja deh dia tutup mulut dan tidak cerita macam-macam kepada Kak Ken." Kemudian aku melanjutkan membaca n****+ itu dan berusaha membuat jauh-jauh ingatan di perpustakaan tadi. Walaupun sebenarnya aku maish saja kepikiran dan tidak bisa fokus membaca kini. Saat aku berusaha memfokuskan diri untuk menikmati isi cerita, dering ponselku pun kembali menghentikan aktivitasku Aku bergerak mengambil ponselku dan di sana teenyata tertera nama Wendya yang menelpon. Tumben banget dia telepon. Apakah ada keadaan darurat? "Halo assalamu'alaikum. Kenapa, Wen?" ucapku mengawali pembicaraan. "Wa'alaikumussalam, Lis. Kamu lagi ngapain?" sahut seseorang di sebrang sana. Dari suaranya ia tampak tergesa-gesa, entah apa yang sebenarnya terjadi. Aku rasa bukan sesuatu yang baik. "Ini sih lagi baca n****+, Wen, kenapa?" tanyaku kembali. Sepertinya Wendya mau meminta tolong sesuatu. "Bisa temenin aku gak, Lis? Aku harus ke rumah sakit. Saudaraku ada yang baru saja kecelakaan." Deg. Mendengar kata kecelakaan membuatku kembali melihat sekelebatan peristiwa yang menimpaku. Entah mengapa masih terekam jelas, padahal aku sebenarnya ingin segera melupakannya. "Innalilahi wa inailaihi raji'un. Ya Allah, bisa, Wen. Gue ke rumah lo sekarang ya?" ucapku ikut merasa panik. "Makasih, Lis. Aku tunggu ya. Hati-hati ke sininya ya. Jangan buru-buru." "Iya, Wen, siap. Ya udah gue berangkat sekarang ya. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Aku segera menutup sambungan telepon itu dan bersiap. Mendengar kabar duka dari keluarga Wendya membuatku merasa tak tenang. Padahal tadi pagi Wendya baru saja menghadiri acara pernikahan, namun kini ia harus menghadiri takziah yang juga datang dari keluarganya. Aku menutup novelku tadi dan meletakkannya di meja belajarku. Aku bergegas mengganti pakaianku menjadi pakaian yang lebih pantas, tentu dengan memperhatikan acara yabg hendak aku hadiri. Aku mengenakan blush hitam dengan khimar serupa. Setelah dirasa cukup, aku kemudian menyambar tas berisi dompet dan memasukkan ponselku tadi. Kemudian aku bergegas keluar dari kamarku. Aku berjalan cepat menuruni anak tangga. Saat aku sampai di dasar lantai, aku baru ingat bahwa ada Kak Ken dan temannya di ruang tamu. Aih kebiasaan suka lupa gini kalau lagi panik. Kak Ken yang menyadari kehadiranku sontak saja bertanya. "Mau kemana, Dek? Kok buru-buru terus pake pakaian hitam juga?" tanya Kak Ken menatapku heran. Begitu pun teman kakakku yang juga menataoku dengan penasaran. Sebenarnya aku merasa malu sekarang. "Ah iya, Kak, Lista izin mau ke tempat Wendya. Ada saudaranya yang meninggal," jawabku menaruh atensi penuh kepada Kak Ken. "Innalillahi. Iya boleh gih, hati-hati tapi yah. Jangan buru-buru pelan-pelan aja," ucap Kak Ken memberikan nasihat. "Iya, Kak, siap. Lista berangkat sekarang ya. Assalamu'alaikum," ucapku berpamitan kepada Kak Ken. "Wa'alaikumussalam. Hati-hati!" balas Kak Ken dengan temannya yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan kami. Aku terlalu panik hingga yak menyadari ada sesuatu yang tertinggal. Saat aku sudah keluar rumah, aku baru teringat bahwa aku melewatkan sesuatu. Aku belum mengambil kunci motor untukku bisa pergi ke rumah Wendya. "Ya ampun bikin tambah lamaaaa," gerutuku sembari membalikkan badan dan berjalan memasuki rumah lagi. Saat aku membuka pintu rumah, Kak Ken nampak terkejut sekalogus penasaran mengaoa aku kembali masuk lagi. "Loh kenapa, Dek? Gak jadi?" "Ada yang kelupaan. Lista pinjem motornya ya, Kak," ucapku memohon izin. "Iya, boleh. Hati-hati tapi loh yah. Pelan-pelan jangan ngebut. Jangan panik juga," balas Kak Ken selalu merasa cemas jika aku sudah menggunakan motor. Aku memang jarang menggunakan motor jadi tak heran jika Kak Ken merasa tak tenang jika aku mengendarai sepeda motor sendiri. "Iya, Kak. Lista berangkat ya. Assalamu'alaikum." "Kalau ada apa-apa cepet kabarin, Dek. Wa'alaikumussalam." Aku kemudian kembali keluar dari rumah untuk bergegas berangkat ke tempat Wendya. Aku tidak mau jika nanti ia menungguku terlalu lama. Aku segera menyalakan motorku dan mulai aku kendarai perlahan menuju rumah Wendya. *** Butuh waktu sekitar sepuluh menit untukku sampai di rumah Wendya. Dan di sana aku mendapati Wendya telah bersiap di depan rumahnya. Aku berhenti tepat di depannya. "Maaf ya, Wen, gue kelamaan." "Gak papa kali, Lis, yang penting selamat. Kan gak lucu kalau buru-buru malah ada kejadian di jalan," balas Wendya mencoba menghiburku. "Hehehe iya juga sih, ya udah yuk naik. Kamu arahin jalannya ya nanti," ucapku mempersilakan Wendya untuk menaiki motorku. "Siap-siap. Tenang aja," balas Wendya. Ia kemudian menaiki jog belakang motorku. Setelah sudah kupastikan siap, aku pun bergegas menjalankannya. Selama perjalanan kamu tak saling bicara. Wendya hanya bersuara ketika menunjukkan arah saja. Memang sebaiknya seperti itu. Karena asal kalian tahu saja, indera pendengaranku tidak berfungsi baik ketika sedang berkendara seperti ini. "Kanan, Lis. Di depan itu tempatnya," ucap Wendya memberikan intruksi. Aku pun mengikutinya untuk berbelok ke kanan. Dan benar saja di sana sudah ada banyak warga yang memenuhi rumah duka. Aku pun memarkirkan motor dan bergegas menyusul Wendya yang sudah berjalan duluan. Begitu tiba di sana, tangis histeris masih terdengar aku rasa itu adalah ibu dari almarhum. Yang aku ketahui dari Wendya tadi, yang meninggal adalah adik sepupunya. Dari usiaku dan Wendya hanya terpaut satu tahun saja. Tentu masih sangat muda bukan. Namun begitulah takdir kematian, umur bukan menjadi patokan atas kematian seseorang. Jadi jangan pernah menganggap bahwa seseorang yang masih muda itu masih berumur panjang. Di dalam hatiku rasanya bergetar. Entah mengapa peristiwa yang menimpaku kemarin kembali terbayang. Namun bukan ketakutan yang biasanya aku rasakan, melainkan rasa syukur yang menyeruak. Rasanya aku sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk hidup. Kejadian kemarin mengajarkanku artinya kata bersyukur. Wendya mendekati wanita paruh baya yang menangis tadi. Kemudian ia memeluk ibu tersebut dengan memberikan kata duka. Aku pun ikut menyalami beberapa anggota keluarga yang ada di sana. Tak berapa lama kemudian segerombolan anak-anak yang menggunakan seragam abu-abu putih berdatangan. Aku rasa mereka adalah teman-teman almarhum. Aku segera menyingkir memberikan tempat untuk mereka mengungkapkan rasa bela sungkawa kepada keluarga. Hawa sedih seketika aku rasakan begitu isakan tangis juga terdengar dari beberapa orang yang berpakaian abu-abu putih itu. Memang terlalu cepat untuk kembali kepada-Nya, namun itulah takdir tak ada yang tahu. Kematian selalu membuntuti kita. Kita harus selalu bersiap. Mungkin saja ajal menjemput besok, lusa atau bahkan satu jam yang akan datang. Jadi selaku bersiaplah. Karena kita tak akan bisa lari dari namanya sebuah kematian. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN