44-?Beautiful Eyes?

2026 Kata
_***_ Yakinlah Allah selalu menjaga dirimu. Tak perlu ragu untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Karena Dia-lah yang memang tempat paling pantas untukmu meminta. _***_ Disebuh rumah dengan halaman luas, terlihatlah sesosok pria yang celingukan mencari seseorang. Ia terlihat mencari sesuatu atau seseorang di depan rumahnya, namun sepertinya tak ia temukan juga. Lantas ia berjalan memasuki rumah kembali dengan langkah lesuh. "Udah berangkat, Ken?" tanya pria yang duduk di sofa dengan stik mainan yang ada di tangannya. Orang yang tadi memasuki rumah ternyata yang ditanyai oleh pria itu. Orang yang dipanggil Ken itu pun duduk kembali di sofa yang empuk. Dari wajahnya ia nampak lesuh. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi tak sesuai keinginan. "Mending lo chat aja, Ken. Lagian udah pergi juga. Mau di susul gak mungkin juga kan?" lanjut pria itu memberikan saran. Ken menghela napas panjang. "Ya Allah, kenapa gue lupa juga ngasih tahunya. Semoga gak kenapa-kenapa deh nantinya," ucap Ken memang benar-benar cemas. Pria yang tadinya sibuk bermain game itu pun berdiri mematikan permainannya. "Coba buat jaga-jaga lo chat dulu deh," ucap teman dari pria yang bernama Ken. "Tapi, Vin, gue khawatir sama Lista dah beneran. Lista biasanya jarang ngecek handphone-nya kalau lagi pergi," kata Ken dengan lesuh. "Tapi gak ada salahnya dicoba, Ken," ucap pria yang ternyata bernama Kevin. "Gue ke kamar dulu ya ngambil handphone," ucap Ken kemudian pergi menuju kamarnya. Tak berapa lama kemudian Ken kembali dengan raut wajah yang sama. Kekhawatiran dan kelesuhan masih terlihat jelas. Ia terlihat masih mengutek-uteng ponsel yang telah ia bawa itu. Dengan mondar-mandir ia menempelkan ponselnya di telinganya, namun sepertinya ia tak kunjung mendapat sahutan. "Hpnya mati," ucap Ken pasrah. Kevin yang mendengar hal itu pun berdiri berniat menenangkan Ken. Ia mencoba memberikan kalimat penenang. Nampaknya ia mengerti apa yang sedang dirasakan sosok pria itu. "Ah bodoh banget gue. Gimana kalau Calista celaka gara-gara kecerobohan gue. Gimana ini, Vin?" tanya Ken dengan kebingungan. "Sabar, Bro, sabar. Jangan ngomong yang enggak-enggak." Ia sesekali mengecek ponselnya untuk melihat perkembangan dari pesan yang ia kirim. Namun nampaknya sama saja, tak ada tanda-tanda akan dibalas. Tanda pesan itu dibaca saja belum ada. "Lo ada kontak temennya Lista gak? Kalau ada coba kamu cari tahu," sahut Kevin mencoba memberikan solusi atas permasalahan yang sedang Ken alami. "Gue gak punya. Eh tapi dulu sempet ada temennya Lista chat gue. Bentar gue cari dulu." Setelah Ken mengingat sesuatu, ia bergegas mencari nomor seseorang yang dia maksud. Kemudian selang beberapa saat ia berteriak girang menemukan apa yang ia maksud. Ia bergegas menekan simbol telepon berwarna hujau untuk mencoba menyambungkan telepon kepada seseorang tersebut. "Assalamu'alaikum. Ini Radif temannya Calista bukan ya?" " .... " "Ah, alhamdulillah. Ini Kak Ken mau tanya, kamun tahu rumahnya sahabat Lista itu siapa namanya Wen ... wen itu gak?" " .... " "Nah iya Wendya. Gimana tau gak kamu, Dif?" " .... " "Ah gitu. Ya sudah gak papa kalau gitu. Nanti kalau misal kamu ketemu tolong bilang segera telepon Kakak ya." " .... " "Oke deh. Makasih ya, Radif. Assalamu'alaikum." " .... " Seusai perbincangan yang ia lakukan, wajahnya masih sama. Belum ada kelegaan yang ia rasakan. Sepertinya udahanya tadi tidak membuahkan hasil. "Sabar, Ken insyaallah Lista gak bakalan kenapa-kenapa kok. Lo berdoa aja sekarang okay?" Walaupun diminta untuk tenang, Ken masih saja panik dan nampak merasa khawatir. Wajahnya lesuh dan tatapannya tak tenang. "Ah, semoga masalah motornya jangan sekarang," gumam Ken yang terus merapalkan doa-doa semacam itu. Nampaknya sepeda motor yang baru saja dipinjam adiknya itu memang sedang bermasalah untuk itu ia nampak khawatir dan merasa bersalah sekarang. *** Calista's POV Setelah sekitar kurang lebih satu jam aku menunggu Wendya, akhirnya kini dia keluar. Baru sepuluh menit yang lalu almarhum dikebumikan. Tadi aku dan wendya ikut mengantarkannya ke temoat peristirahatan terakhir dan setelah pulang di rumah duka kembali, Wendya menyemoatkan diri ngobrol beberapa hal dengan saudaranya itu. Karena ini adalah urusan keluarga jadi aku tak mau ikut campur, untuk itu aku memilih menunggunya di tempat paskiran saja. "Eh udah selesai, Wen?" sapaku ketika Wendya sudah sampai di dekatku. Wendya tersenyum. "Udah, Lis. Makasih banyak ya udah nemenin aku ke sini. Maaf lama," kata Wendya berterimakasih sekali gue meminta maaf karena membuatku menunggu. Aku lantas terkekeh kecil. "Gak papa, Wen, santai aja. Lagian tadi juga gue di rumah malah suntuk terus belum lagi ketemu temennya Kak Ken itu." "Eh, emangnya kenapa sama temennya Kak Ken? Biasanya kamu gak terlalu peduli kan?" tanggap Wendya. Biasanya aku memang tidak peduli dengan teman-teman Kak Ken yang banyak itu. Aku sudah terbiasa dengan teman Kak Ken yang berganti-ganti tiap ke rumah. Namun karena kejadian di perpustakaan itulah yang membuatku merasa tak bisa biasa saja dengan sosok teman Kak Ken kali ini. "Iya sih, Wen, ntahlah kenapa gue peduli gitu loh. Ya udah lah lupain aja, Wen. Ini kita mau berangkat pulang?" ujarku memcoba tak ingij membahas sosok pria yang sepertinya kini masih ada di rumah. "Iya yuk pulang aja. Kayaknya Abi sama Umi juga bentar lagi pulang sih." Aku kemudian mengangguk. "Ya udah ayo." Aku mengeluarkan motorkubterlebih dahulu karena posisinya sekarang sedang diapit oleh beberapa motor para pelayat. "Bisa gak, Lis?" Meski harus bersusah payah dan memutar otak untuk mengeluarkan motorku yang terjebak, akhirnya aku bisa juga mengeluarkannya. Setelah itu aku memasang helmku. Tung ... ting ... Aku mendengar suara dering ponselku. Yah karena aku hanya mengenakan tas slempang yang kecil, tak heran kalau suaranya keras. "Kamu angkat dulu aja, Lis, siapa tau penting." Aku pun menurut, namun ketika aku membuka tas dan mengeluarkan ponselku, nahasnya tiba-tiba saja mati. Sebelum ponselku benar-benar mati tadi, aku melihat nama Kak Ken yang menelpon. Tapi sepertinya terlambat, aku lupa mencharger tadi hingga akhirnya kini ponselku kehabisan daya. "Mati nih handphoneku, Wen. Lo ada bawa powerbank gak?" tanyaku bertanya Wendya siapa tahu ia membawa. Aku khawatir jika sampai Kak Ken menelponku seperti ini ada hal penting yang ia ingin katakan. "Aduh aku gak bawa, Lis. Gimana dong? Dari kakakmu kan? Takutnya ada yang penting gitu," ucap Wendya yang malah ikut panik. Aku pun mencoba untuk tenang. Tak ada solusi jika harus memikirkan itu sekarang. Lebih baik kini segera pulang agak bisa memastikan ada apa sebenarnya. "Ya udah gak papa, Wen. Kita pulang aja, nanti gue tanyain di rumah," ucapku memutuskan. Wendya pun menurut meskipun entah mengapa ia terlihat tak tenang juga. "Udah gak papa, Wen. Ayo naik." Wenyda mengjela napas terlebih dahulu kemudian baru menaiki motorku. Aku berharap semuanya baik-baik saja. Dan tak ada sesuatu yang buruk menimpa Kak Ken. Aku hanya bisa berdoa sembari menjalankan motorku untuk kembali pulang. Tunggu Lista, Kak! *** Selama perjalanan entah mengapa aku merasa tak tenang. Perasaanku terasa ada yang mengganjal, namun aku tak tahu apa itu. Apakah ada yang tertinggal? Aku rasa tidak. Tapi kenapa ya? "Lista, jangan melamun. Aku gak mau kalau kita kenapa-kenapa, Lis. Fokus okey?" tegur Wendya dari jog belakang. Sepertinya ia melihat diriku dari pantulan kaca spion. Yang jelas itu memang benar, tidak sepatutnya aku berkendara dengan memikirkan hal lain terlebih sekarang aku sedang memboncengkan Wendya. "Hehehe maaf, Wen, gue kayak gak tenang gitu soalnya." "Lo ngantuk kah?" tanya Wendya. "Bukan, Wen. Ntahlah kayak ada yang janggal gitu pokoknya. Tapi mudah-mudahan sih cuma perasaanku aja ini," kataku mencoba meyakinkan diriku untuk terus tenang. Jika aku terlalu banyak pikiran bisa-bisa akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Tentu bakalan memunculkan masalah baru. "Emm mungkin kamu masih trauma, Lis, terkait peristiwa dulu itu. Tapi sekarang tenang yah, berdoa dan coba relaks. Pelan-pelan juga aja bawa motornya yang penting sampai rumah dengan selamat." Benar apa yang dikatakan Wendya, aku cukup merelakskan diri dan tidak berpikir yang macam-macam. Aku hanya perlu fokus dengan jalanan dan waspada dengan sekitar. Kemudian keadaan kembali hening. Karena aku mencoba untuk berkonsentrasi dan Wendya sedang entah melakukan apa di belakang sana. Aku sebelum pulang ke rumah, harus mengantarkan Wendya kembali ke rumahnya. Tidak mungki bukan aku malah menurunkannya di rumahku. Dan sebenarnya jarak kini dengan rumah Wendya sudah tidak jauh. Aku harus segera sampai rumah dan mematikan semuanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Akhirnya kami telah sampai di depan rumah Wendya. Di sana masih terlihat sepi sepertinya orang tua Wendya belum sampai rumah. "Abi sama umi lo belum pulang deh kayaknya, Wen," celetukku sembari menunggu Wendya untuk turun dari motorku. "Kayaknya sih iya, Lis, mungkin macet perjalanan ke sini." "Iya bener sih, tadi ke sini aja macetnya masyaallah. Gak kebayang di daerah kota bakalan kayak apa macetnya," jawabku dengan terkekeh geli. Tadi memang jalanan bisa terbilang cukup padat sehingga tadi perjalanan pulang agak sedikit lama dari berangkat tadi. Namun sekarang tak masalah sih sepertinya nanti untuk menuju ke rumah tidak akan sepadat itu. "Iya bener. Yah pasti bentar lagi sampai rumah sih," balas Wendya yang kini sudah turun dari motor. Aku ikut menyetandarkan motorku untuk berbincang sebantar. "Lo gak takut kan di rumah sendiri?" tanyaku dengan iseng. Wendya menoleh kemudian tertawa geli. "Takut sama apa, List? Hantu? Hahaha ya gak lah. Kita sebagai manusia makhluk yang palinh mulia kenapa mesti takut sama makhluk rendahan kayak hantu gitu." Aku ikut terkekeh geli. "Sudah gue duga jawaban lo bakalam kayak gitu sih, Wen. Tapi gue tu kadang masih takut tau kalau di rumah sendirian gitu. Aemmm lebih tepatnya parno sih. Kalau tiap habis liat film horor gitu suka kebayang." "Kalau gitu jangan nonton film hororr dong, Lis. Lagian hantu yang ada di film horor itu cuma boongan kan. Sebenarnya tu yah, yang menciptakan suasana mistik itu ya pikiran kita sendiri. Misal nih kamu habis nonton film hantu gitu, memori itu pasti secara gak langsung akan terus terekam. Terus begitu kamu ada di situasi yang serupa dengan apa yang kamu tonton di film itu, secara otomatis kamu akan membuat ilusi tentang apa yang kamu bayangkan. Intinya sih rasa takut tu sebenarnya hanya berasal dari dirimu sendiri," jelas Wendya panjang lebar. Aku hanya mengangguk-ngangguk mendengarkan bagaimana Wendya menjelaskan. "Tapi tak bisa dipungkiri kita harus percaya di dunia ini memang ada yang ghoib. Kamu hanya perlu percaya udah itu saja. Jadi kehidupan mereka dengan kehidupam kita itu berbeda dimensi. Tak perlu takut pokoknya," lanjut Wendya. "Owalah gitu. Paham gue, Wen. Tapi tu yah terkadang perasaan takut tu tiba-tiba muncul. Gimana ya kira-kira cara ngatasinnya?" tanyaku mencoba mencari solusi. "Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Pada suatu hari saya pernah membonceng di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau bersabda, “Wahai anak muda, sesungguhnya akan kuajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Ia juga akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya ada di hadapanmu. Apabila engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, andaikan saja umat seluruhnya berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Dan andaikan saja mereka bersatu untuk menimpakan bahaya terhadapmu, mereka tidak akan bisa memberikan bahaya itu terhadapmu kecuali sesuatu yang Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembar catatan telah kering.” (HR. Tirmidzi). Kita hanya cukup percaya akan perlindungan Allah. Selalu ingat Allah di mana pun kita, Insyaallah Allah akam selalu menemanimu, Lis. Jadi jangan takut okey?" Mendengar penjelasan Wendya aku menjadi semakin tercerahkan. Sepertinya selama ini aku kurang percaya akan pelindungan Allah. Padahal aku tahu kalau Allah selalu bersama tiap makhluk yang selalu mengingatnya. "Paham gue sekarang, Wen. Makasih banyak ya, Wen." Setelah kami selesai membicarakan hal itu, tanpa aku sadari langit semakin gelap. Pertanda hujan akan segera datang. "Aduh, Wen, gue kayaknya pulang sekarang yah. Takut gak sampe rumah udah hujan duluan," ucapku. "Eh ya Allah, tadi lupa mau nawarin masuk rumah dulu, Lis. Maaf yah terlalu asik tadi sih." "Hahaha gak papa, Wen, yang penting kan sudah sampai rumah dengan selamat." Wendya lantas tersenyum. "Hati-hati tapi yah, jangan buru-buru pokoknya." "Siap komandan," balasku menghormat. Kami terkekeh kecil kemudian. "Ya udah gue pulang ya, Wen. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Fii amanillah, Calista. Hati-hati," ucap Wendya dengan aku amini dalam hati. Aku membalasnya dengan memberikan isyarat jempol kemudian melambaikan tangan. Dia pun begitu membalas lambaian tanganku. Bismillah. Kemudian aku melajukan motorku untuk pulang. Aku tadi berdoa terlebih dahulu tentunya. Semoga tidak ada kendala di perjalanan nanti. Aku harus membuang jauh-jauh perasaanku yang merasa tak enak ini. Aku harus yakin dan percaya Allah selalu melindungiku. Aku tak boleh meragukan perlindungan dari-Nya. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN