29-?Beautiful Eyes?

2211 Kata
_***_ Tiap orang memang berhak mengungkapkan pendapatnya, namun perlu diingat, jangan sampai pendapat itu menyebabkan pembatasan hak orang lain _***_ Flashback end Calista's POV Aku terdiam berjongkok di pinggir lapangan. Sedang berjemur sekaligus berharap masalahku yang telah membeku dipikiran berharap bisa mencair. Agaknya memang tidak mungkin, namun mau bagaimana lagi aku sudah pusing memikirkannya, semoga saja ada keajaiban yang aku alami. Teriknya matahari membuat pasir yang ada di pinggir lapangan bergemerlap. Fokusku terpecah dengan mengamati pasir itu. Aku sampai sekarang masih bingung mengapa pasir bisa terlihat berkerlap-kerlip jika terkena sinar matahari. Bagi kalian yang tahu, boleh bagi saya info itu. hehehe "Lista!!" Aku menoleh mendapati Wendya yang berlari ke arahku dengan membawa dua gelas minuman. "Aku cariin ke mana-mana taunya di sini," ucap Wendya masih terengah-engah. "Hehehe, maaflah lagian lama banget gabut nunggunya," jawabku mengambil minuman coklat yang dibawa Wendya tadi. "Sini dulu minumnya. Jangan panas-panas nanti bisa-bisa drop karena minum es di tengah lapangan panas gini," ucap Wendya menyeretku ke bawah pohon yang lebih sejuk. Aku hanya mengikut saja dan duduk di bangku yang telah di sediakan di sana. "Huahh alhamdulillah segerrrr. Haus gue rasanya langsung ilang." Wendya hanya menatapku dengan menahan tawa. "Idih salah sendiri panas-panasan tadi." "Iya juga bodohnya gue." Kamu pun tertawa bersama-sama menyadari kebodohanku. Aku disaat seperti ini, memang kadang bertingkah tidak jelas jika terlalu banyak yang aku pikirkan. Dan seperrinya Wendya sudah memaklumi hal itu. "Lagi ada masalah ya, Lis?" tanya Wendya tiba-tiba Mendengar pertanyaan Wendya, aku kemudian mengulum senyum. "Biasalah kayak kemarin-kemarin." Wendya yang paham pun mengangguk-ngangguk. Kemudian ia secara tiba-tiba menghadap kearahku. "Menurutku lebih baik kamu maafin Radif deh. Walaupun aku gak tau apa-apa tentang Radif, aku rasa ia jadi seperti itu karena baru aja ngelewatin masa-masa sulit. Kayak kamu yang baru aja terkena musibah itu, Lis. Mungkin dia sebenarnya sedang tidak bersahabat dengan hatinya jadi yah seperti itu." Entah mengapa ucapan Wendya terkesan ada benarnya juga. Seharusnya aku harus lebih sabar menghadapi Radif yang sekarang. Aku harus mengerti sosok Radif yang sekarang dan menerima kondisi Radif yang jauh dari Radif yang aku kenal. Namun di satu sisi, egoku masih terlalu besar. Ada rasa kesal dan marah melihat Radif yang terkesan cuek dan tak peduli kepadaku. Yah kalian tahu sendiri ego seorang wanita itu sangat besar apalagi kalau berhubungan dengan perasaan. "Tapi gue masih sebel tau, Wen," ucapku mencembikkan bibir. Mengingat kejadian di rooftop kala itu membuatku kesal kembali. "Iya, aku ngerti, Lis, aku cuma ngasih saran aja kok," jawab Wendya terkekeh kecil melihatku yang kembali kesal. "Sumpah ya, Radif tu makhluk aneh bin ajaib," teriakku tanpa sengaja. "Heh jangan teriak-teriak, kalau ada yang denger gimana coba," tegur Wendya yang was-was akan tindakanku yang sembrono. "Biarin dah, kalau bisa Radif denger sekalian," gumamku masih geram mengingat tingkah Radif yang menyebalkan. "Tenang aja gue udah denger kok." Sebuah suara dari belakangku dan Wendya duduk terdengar menyentak. Jujur saja aku terkejut karena tiba-tiba saja ada seseorang yang menyahut. Tentu aku sangat familiar dengan suara itu. Dan benar saja, begitu aku melirik ke belakang ternyata orang yang sedang kami perbincangkan tadi, kini telah berdiri santai di belakangku. Sontak saja aku dan Wendya hanya bisa saling pandang dengan harap-harap cemas. Wendya menatapku seolah mengatakan, 'kan udah aku bilang jangan teriak-teriak." Sedangkan diriku hanya menatapnya memelas seolah meminta pertolongan akan masalah yang baru saja aku timbulkan itu. Huhuhu, matilah aku. Harus bagaimana aku sekarang, Ya Allah. Aku kemudian tak berani menatap kembali kearah belakang, di mana Radif masih berdiri memantau. Aku memberi kode kepada Wendya untuk melakukan sesuatu, namun sama halnya denganku, ia juga namoak kebingungan akan berbuat bagaimana. Suara derap langkah mendekat terdengar mendekat ke arah kami. Aku tentu saja panik dan mencoba mencari ide untuk bisa menghindari Radif. Bisa bahaya jika aku harus terskak-mat di sini sekarang. Aku memandang lapangan yang banyak lalu lalang siswa mencoba mencari pertolongan atau ide yang membanti. Nah mataku memicing, di sana ada seseorang yang familiar di mataku. Entah bagaimana, muncullah ide untuk menghindari Radif kali ini. Aku memberi kode kepada Wendya. Namun sayang sekali Wendya malah terlihat bingung. Tapi tak ada cara lain, aku tetap harus membuat rencana ini berhasil. Saat sesosok itu lewat tepat di depanku, aku bergegas beranjak menghampirinya. Begitu pun Wendya yang sepertinya ia terkejut akan gerakanku yang tiba-tiba, namun kemudian ia mengikutinya. "Oy, Dito! Mau ke kantin kan? Yok bareng!" seruku kepada Dito yang tengah berjalan membawa dua snack di tangannya. Terlihat tak masuk akal memang ideku ini, namun mau bagaimana lagi, aku tak ada cara lain untuk pergi dari tempat itu. "Eh eh apaan gue baru dari kantin!" pekik Dito begitu aku menyeret ujung bajunya menuju arah yang berlawanan. "Udah ngikutin gue aja ya. Plislah bantuin gue," bisikku mencoba mengancam sekaligus memohon pada Dito. Dito pun akhirnya pasrah dan menurut mengikutiku ke kantin lagi. Tujuan ideku kenapa memilih Dito adalah ini, walaupun ia teman dekat Radif, bagiku Dito lebih bisa kooperatif, jadi akan mudah untukku membujuknya. Wendya yang mengikuti kami dari belakang hanya terkekeh geli melihat Dito yang nampak pasrah akan perintahku. Maaf ya, Dit, kamu harapanku satu-satunya untuk terlepas dari Radif Aku sesekali menengok ke arah Radif yang terlihat diam memandang kepergianku dengan Wendya. Biarkan saja lah, aku masih terlalu malas untuk berhadapan dengan Radif. Aku ingin mencoba mengenali Radif yang sekarang terlebih dahulu. Aku perlu mengenalinya terlebih dahulu sebelum bisa memahami sifatnya sekarang. Jika diibaratkan, aku kini baru berkenalan lagi dengan sosok Radif, oleh karena itu aku harus menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan Radif yang sekarang. *** Hari demi hari terlewati dengan penuh drama. Beberapa kali Radif berusaha meminta maaf dan berbicara denganku, namun seperti biasa aku berusaha menghindarinya. Sama halnya seperti hari ini, ada sebuah rapat acara tahunan sekolah atau bisa disebut acara perpisahan siswa kelas 12. Iyap kini tak terasa aku sebentar lagi akan menyelesaikan studiku sebagai seoramg siswa. Termasuk cepat karena jika diingat-ingat, sepertinya baru kemarin aku menginjakkan kaki di SMA ini dengan masih mengenakan seragam putih biru, tiba-tiba saja sebentar lagi aku harus melepas seragam putih abu-abu yang penuh dengan cerita suka maupun duka. "Dif, ada rapat di aula," ujarku kepada Radif yang masih menyalin catatan di papan tulis. Tanpa menunggu jawaban, aku kemudian berjalan mendahuluinya untuk menuju aula. Iyap seperti itulah komunikasi kami jika kami diharuskan bekerja sama. Walaupun di kehidupan biasa aku selalu mengabaikannya dan berusaha menghindarinya, namun ketika sudah urusan kelas maka harus profesional bertanggung jawab saling bekerja sama. "Tunggu, Tang," seru Radif yang ternyata sudah ada di belakangku. Aku terus saja berjalan karena sebentar lagi akan sampai di aula dan sebentar lagi acara akan di mulai. "Tang, sampai kapan mau kayak gini?" ucap Radif yang kini sudah ada di sebelahku. "Kita bicarakan nanti, Dif. Ini udah telat," tanggapku mencoba mengalihkan perhatian. "Bintang, sampai kapan lo mau ngehindarin gue?" Karena tak kunjung ada jawaban dariku, ia pun meneruskan. "Ada sebuah peristiwa yang gue alami selama lo pergi, Tang. Kasih gue waktu buat jelasin kenapa gue berubah, Tang. Tolong .... " ucap Radif memohon. Aku pun menghentikan langkahku begitu pun Radif. "Tolong kasih gue juga waktu buat dengerin cerita lo, Dif," ucapku akhirnya mau berbicara dengannya lagi. Walaupun dalan kondisi kesal. "Sampai kapan, Tang? udah hampir seminggu lo nyuekin gue." Aku yang mendengar ucapan Radif itu mendadak kembali kesal. Aku menghela napas berat kemudian berbalik. "Kalau lo gak mau nunggu ya udah, jauh-jauh aja dari gue," seruku kemudian meninggalkannya seorang diri. Jujur saja, aku terkadang iba dengan apa yang telah menimpa Radif, namun ada saja ucapannya yang terkesan semaunya sendiri hingga membuatku kesal. Oke aku tahu semua orang memiliki hak masing-masing untuk bertanya dan berpendapat, namun tidak dengan pertanyaan atau pendapat yang membuat orang lain tersinggung. Aku harap ia paham dengan maksud sikapku yang demikian. Bukannya aku tidak respek, aku hanya mencoba memberitahukannya bahwa tidak baik menutup diri kepada orang-orang yang sebenarnya mampu menerimanya apa adanya. Dan lagi, aku ingin dirinya introspeksi diri dengan sikap yang ia lakukan. *** Dua hari berlalu, semenjak peristiwa menuju aula rapat yang lalu, kini Radif tak lagi mencoba memaksaku untuk mau berbicara dengannya. Jika aku lihat-lihat ia terlihat lebih murung dari biasanya. Huh, aneh sekali aku malah seperti merasa kehilangan. "Lis, kenapa?" tanya Wendya yang terlihat menyadari akan kegelisahanku. Aku tak menjawab, hanya memberi kode arah ke tempat Radif yang terdiam di tempat duduknya. "Huh, sepertinya udah cukup deh, Lis. Waktunya lo kasih kesempatan dia buat jelasin semuanya." Aku menghela napas kembali. Memikirkan saran Wendya tempo hari pun membuatku berulang kali merasa iba. Melihatnya sekarang ia seperti sedang tersiksa dengan kesepian. Memang ia sebenarnya masih berbaur dengan Dito, tapi tidak untuk yang lain. Ia hanya bersikap seperlunya kepada mereka. "Haruskah sekarang, Wen?" tanyaku yang kini meminta sarannya. Wendya mengangguk. "Sebelum ia terjebak di zona nyamannya sekarang." Setelah dipikir-pikir sepertinya ada benarnya omongan Wendya. Jika Radif dibiarkan seperti itu, kemungkinan akan semakin susah membuatnya seceria dan seterbuka dulu. "Tapi gue bingung caranya gimana." Jujur saja aku masih terlalu bingung menghadapi Radif yang sekarang. Selain ia terkesan dingin, ia juga menjadi seseorang yang sungkan dan tertutup. Jika aku meminta penjelasannya, apakah ia mampu mengungkapkan kebenaran yang ia rasakan. "Kayaknya kalau itu yang paham cuma kamu deh, Lis. Secara cuma kamu yang dulu deket sama Radif," ucap Wendya kembali. Mendengar ucapan Wendya malah semakin membuatku bingung. Bagaimana ya cara yang tepat untuk berbicara dengan Radif. Aku ingin membuatnya nyaman, bukan tertekan. "Huh, rumit banget. Perasaan dia cowok tapi kenapa susah banget mahamin perasaannya sih," gerutuku mengundang kekehan Wendya. "Sabar-sabar, kamu cuma perlu pikirin rencananya dan langsung cus beraksi kok, Lis, jangan diperumit," kata Wendya yang mulai mengejekku. "Yeee lo kira segampang itu. Tau gak sih gue mikir rencana aja sampe rasanya rambut gue rontok semua." "Uluh-uluh kasiannya sahabatku ini. Semangat Calista sayang. Kamu pasti bisa," seru Wendya memberiku semangat. Aku kemudian tersenyum. Terkadang Wendya itu merupakan moodboosterku yang ada saja tingkahnya. Dijamin tak akan bosan kalian jika memiliki sahabat seperti Wendya. "Lo ni bisa aja. Btw thanks loh." Akhirnya kami melanjutkan perbincangan yang lain. Karena jika membahas sosok itu terus, tak akan ada habisnya, justru aku semakin stres memikirkan masalah yang tak ada jalan keluarnya. *** Malam pun tiba, hatiku yang sedari pagi gelisah, kini belum reda juga. Rasa bersalah mendadak muncul ketika mengingat kejadian di aula itu. Ditambah beberapa hari ini aku melihat sosok Radif yang sepertinya sudah lelah menghadapiku. Aku termagu menatap langit hitam yang berkerlap-kerlip. Bintang itu banyak betebaran, saling menemani satu sama lain. Menemani malamku dengan kegundahan hati yang terus menghantui. "Bintang? Harusnya gue mampu jadi teman bagi seseorang yang kesepian." Kembali aku menghela napas ditengah dinginnya malam yang menyelimuti. Harusnya waktu itu aku mau mendengarkannya bicara dan menjelaskan. Jika sudah seperti ini bagaimana aku memulai? Aku mengacak rambutku asal. Kegelisahan ini sepertinya bisa membunuhku. "Argh aku bisa gila." "Oy, Dek!" "Astaghfirullah!" Aku berjengit kaget mendengar seruan suara Kak Ken yang baru saja memasuki kamarku. "Kak Ken! Kalau masuk bilang-bilang napa," pekikku memarahi Kak Ken yang hanya terdiam cengo. "Mau pinjem pulpen," ucap Kak Ken dengan rasa tak bersalahnya. Aku menghela napas sejenak. "Ambil di atas meja itu, Kak," jawabku dengan lesuh. Kak Ken pun berjalan mengambil pulpenku yang ada di tempat pensil. "Kenapa, Dek? Pusing banget keliatannya," tanya Kak Ken menyadari kegelisahanku. "Kak Ken, kalau kakak mau minta maaf tapi takut ketemu orang itu gimana?" tanyaku sudah pasrah tak memiliki inisiatif apapun. Karena otakku terasa mampet di tutupi oleh kegelisahan yang aku rasakan. "Chat aja napa, kenapa mesti pusing-pusing. Kalau udah baikan baru ketemu minta maaf lagi." Mendengar jawaban Kak Ken membuatku tersadar akan kebodohanku. Kenapa aku tidak mencoba mengirimi pesan saja. Huhh, kegelisahan ini membuat seakan duniaku mendung. "Iya juga ya, Kak, kenapa Lista gak kepikiran," kataku. "Makanya kalau lagi cari jalan keluar itu pakai logika, Adek sayang. Kalau pake perasaan gimana nemu jawabannya." Aku kemudian terkekeh sendiri menyadari kebodohanku. Untung saja aku bertanya Kak Ken jika tidak, mungkin aku tak akan bisa tidur memikirkan jalan keluar masalahku ini. "Maaciww banyak abangku yang tergantung sendiri," ucapku menampilkan wajah imutku. "Idih, apaan muji kalau ada maksudnya doang." "Yeee gak papa dong, Kak. Yang penting Lista pernah muji Kak Ken," balasku mengejeknya. "Iya dah iya, Adek Telmi!" Aku yang menyadari sebuah ejekan di akhir perkataannya pun sontak berdiri dan hendak mengejar, namun gerakan cepat Kak Ken untuk kabur membuatku tak jadi mengejarnya. "Kak Ken!!" teriakku kesal. Namun tak ada gunanya, pintu kamarku telah ditutup dan pasti Kak Ken telah sampai di kamarnya. Mau berteriak sekeras apapun pasti percuma. Akhirnya aku tanpa basa-basi lagi mencari keberadaan ponselku untuk mengirimi sebuah pesan untuk Radif. Aku mengetikkan beberapa kalimat yang aku harap bisa membuat keadaan menjadi lebih tenang. 'Assalamu'alaikum. Dif. Gue udah siap dengerin lo. Besok bisa ketemu? Gue mau denger penjelasan lo.' Dengan mengucap basmalah aku menekan tombol send. Tanda terkirim pun akhirnya muncul. Semoga ini saat yang tepat untukku meminta penjelasan kepadanya. Dan semoga Radif sedang dalam keadaan baik untuk bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi dahulu. Aku melihat kembali layar ponselku dan ternyata pesan itu langsung dibaca oleh sang penerima. Dengan perasaan campur aduk, aku menunggu balasan dari seseorang itu. Sedang mengetik ... Beberapa saat kemudian balasan pun masuk. Aku bergegas membuka pesan itu dengan bersemangat. Aku berharap apa yang aku lihat merupakan kabar baik. 'Oke, Tang, jam pulang sekolah di rooftop.' Aku yang membaca pesan itu pun akhirnya bernapas lega. Balasannya sesuai apa yang aku mau. Semoga ini menjadi awal langkah tepat untuk kehidupan sekolah yang lebih baik. -Tbc-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN