30-?Beautiful Eyes?

1556 Kata
_***_ Tak perlu khawatir, sesulit-sulit apapun memahami perasaan orang lain, jika ada kemauan kuat dan komunikasi yang sering, pasti akan terpahami dengan sendirinya. _***_ Kicauan burung semakin semarak seiring terang dan cerahnya hari ini. Pohon rimbun nan hijau membuat mata siapa saja dimanjakan. Udara pagi pun tak kalah menyejukkan pernapasan orang yang menghirupnya. "Semoga cuaca bagus hari ini membawa berkah untuk hari ini," gumam seseorang menatap langit biru yang tak ternodai awan sedikitpun. Seorang gadis berpakaian abu-abu putih terlihat berjalan santai di sepanjang trotoar yang cukup bersih. Wajahnya memancarkan keceriaan dan kebahagiaan. Mungkin ia baru saja mendapatkan kesenangan atau entah sedang mencoba menikmati hari yang baik ini. Tak lama kemudian ia memasuki sebuah bus. Nampak banyak siswa berseragam sama menaiki bus tersebut. Siswi itu pun terlihat sesekali bertegur sapa dengan siswa yang lainnya. Akhirnya bus pun melaju dengan kecepatan sedang menuju ke suatu tempat Di sisi lain, seorang siswa dengan pakaian dan rambut yang telah tertata rapi, terlihat sedang mengendarai sepedanya dengan riang. Di salah satu telinganya pun terdapat sesuatu yang menyumpel dan sekali ia bersenandung kecil. Sepertinya ia sedang bersepeda sembari mendengarkan musik. Tak memerlukan waktu lama, siswa itu pun memasuki gerbang sebuah sekolah yang masih terbuka sedikit. Raut wajahnya tersenyum cerah sebelum memasuki gerbang. Cittt Ia mengerem sepadanya untuk memasuki gerbang perlahan. Sekolah terlihat masih sepi dan sosok siswa itu pun bergegas melengang masuk menuju parkiran sekolah. Parkiran itu masih bersih dengan kendaraan. Hanya sepedanya saja yang terparkir di sana. Lantas siswa itu kembali berjalan untuk memasuki sekolah kembali. Saat berada di peejalanan, seseorang mengejutkannya. Ia berhenti mendapati sosok pria di depannya. "Fauzan." Wajah siswa yang sedang mengenakan earphone itu mendadak berubah dingin. "Zan, aku mau jelasin," ucap seseorang itu lagi. Bukannya mempersilakan, justru siswa itu melengos dan meninggalkan siswi itu. Siswi itu terus mengejar hingga akhirnya sang siswa berhenti. Namun bukan berhenti akibat perintah siswi itu, melainkan ada hal lain yang menghalanginya. Siswi berambut panjang itu nampak terkejut melihat sesosok di depan. Ia lantas memberi hormat orang tersebut. "Era, bisa tinggalkan om sama Fauzan di sini?" tanya sosok itu yang lebih pantas disebut perintah. Siswi bernama Era tersebut pun mau tak mau menurut perintah pria paruhbaya itu. "Baik, Om. Era permisi," ucap siswi itu kemudian pergi menjauh dari kedua pria itu. Wajah Era sebelum meninggalkan tempat itu terlihat gelisah. Sepertinya ia mengkhawatirkan jika akan terjadi sesuatu hal yang tak baik di antara mereka berdua. Sepeninggalan Era, suasana masih tenang namun mencekam. Aura yang ditimbulkan kedua pria itu adaknya kurang baik. Sorot mata dingin pun masih saja dipamerkan sang siswa yang memakai eaephone tadi. "Apa yang mau papa katakan?" tanya Radif sembari melepas earphonenya. Nampaknya walaupun aura tak menyenangkan memenuhinya, adabnya kepada papanya masih sangat sopan. Buktinya saat ia dan papanya akan berbicara, ia dengan cepat melepas earphone yang masih menempel di telinga. "Maafin, Papa." Sebuah kata maaf meluncur mulus dari mulut pria paruhbaya itu. Sungguh tak terduga memang, namun melihat sorot matanya, pria itu sungguh mengucapnya dengan tulus. Belum ada jawaban dari Radif yang biasa dipanggil Fauzan oleh papanya. Ia terlihat masih mematung dengan tatapan dinginnya. Sepertinya ia masih belum percaya dengan apa yang papanya itu katakan. "Papa baru mendengar berita mengenai kamu, Zan. Papa benar-benar tak menyangka semuanya terbongkar secepat itu," lanjut pria paruh baya yang merupakan papanya itu. Tubuh sang papa mendekat begitu anaknya tak kunjung menjawab. Ia terlihat berbicara dari hati ke hati kepada sang anak. Raut pasrah dan rasa penyesalan yang tercetak jelas di wajahnya. Di sisi lain, wajah Radif semakin muram. Ia terlihat tidak suka dengan topik yang kini tengah dibahas oleh sang papa. "Papa waktu itu tak menyangka ada yang menyaksikan percakapan papa dan juga Era. Suasana sekolah masih sepi, papa pikir belum ada siswa lain yang datang oleh karena itu papa berani mengundang Era untuk berbicara di depan umum yah karena saat itu suasana sekolah masih sepi. Papa tak menyangka video dan artikel itu tersebar di laman portal sekolah. Papa juga baru tahu kemarin, jika Era tak memberi tahu pasti papa tidak akan tahu. Papa tak menyangka penderitaan kamu selama ini ternyata sangat berat. Kabar yang justru dimanfaatkan oleh oknum untuk membuat kekacauan. Papa tak tega membaca artikel yang memojokkanmu itu, Zan. Maafin papa, Zan, maaf. Dan papa akan mencoba melaporkan kasus ini kepada pihak sekolah. Papa tidak peduli jika posisi dan jabatan papa terancam, papa ingin membawa keadilan untuk kamu, Fauzan sebagai murid sekaligus anak papa," jelas Pak Al yang membuat bulu kuduk siapa saja merinding jika mendengarnya. Bahkan Radif pun terlihat terkejut dengan apa yang akan papanya itu lakukan. "Sudahlah, Pa," ucap Radif yang sepertinya sudah tidak tahan dengan apa yang diperbincangkan. "Sudah kejadian juga, Fauzan juga udah capek kalau kabur terus. Mau bagaimana pun juga bangkai lama-kelamaan juga pasti tercium. Fauzan sudah tak mempermasalahkan hal ini, Pa. Cuma Fauzan mohon jangan perlakukan Fauzan istimewa di sekolah," tungkasmya dengan nada sendu. Raut wajahnya menyiratkan kesedihan yang ia pendam. Ia memang sangat pandai menyimpan perasaannya. Bahkan Papanya kini yang mendengernya ikut terhanyut dan matanya memerah mendengar suara anaknya itu. "Fauzan maafkan papa. Papa tetap akan melakukan apa yang telah papa putuskan. Ini semua demi kebaikan kita semua. Lagi pula ini sebagai efek jera akan berita hoaxs yang telah diciptakan," lirih sang papa kemudian merengkuh tubuh anak sematawayangnya itu memberi ketenangan. Ia masih saja membisikkan kata-kata tepat di telinga sang anak dan membuat mata sang anak pun juga berair dan menangislah seketika. "Kamu kuat, Nak. Maafkan papa yang baru memahami perasaanmu. Maafkan papa, Nak, belum bisa menjadi seorang ayah sekaligus seorang ibu yang baik untukmu." Isakan mulai terdengar dari mulut Radif gang sedaritadi tertutup rapat. "Papa, maafkan Fauzan," bisiknya dengan isakan yang tertahan. "Papa tidak akan lagi mengecewakanmu, Fauzan. Papa sayang sama kamu, Nak." Tidak ada yang bersuara lagi selama benerapa saat hingga sebuah derap langkah menggugah mereka. "Eh," pekik siswi berkhimar putih. Wajahnya sontak terkejut dan malu. Ia bergrgas tersenyum kikuk kemudian meminta maaf dan berpamitan melanjutkan langkahnya. *** Radif's POV Suasana pagi ini nampak mengerti perasaanku. Cerah, iyap! Sudah berhari-hari cuaca seketika mendung, begitu pula hatiku yang sudah lama tidak cerah seperti ini. Setelah mendapat pesan semalam dari Bintang, entah mengapa rasa senang dan lega mendominasi hatiku. Rasanya tak sabar untuk menceritakan semua yang aku alami selama ditinggal Bintang. Jangan berprasangka dulu, aku ingin hubungan pertemananku dengan Bintang baik kembali. Asalkan tahu saja, beberapa hari yang lalu sedih rasanya harus terus bersabar menunggu Bintang. Aku bersemangat sekali pagi ini berangkat sekolah. Bahkan aku tan0a sadar bersenandung sepanjang jalan. Sangat bukan Radif sekali hari ini. Namun saat aku sampai disekolah, suasana hatiku mendadak berubah drastis. Era menghampiriku dengan rasa tak bersalahnya. Lalu datang pula papa sebagai sosok berbeda. Jujur saja aku tak menyangka Papa yang aku kenal jauh berbeda dengan papa yang ada di hadapanku kini. Ingin rasanya menangis sejadi-jadinya dengan memeluknya dengan erat. Aku merindukan sosok yang bis dijadikn tempat untuk berpulang. Dan sepertinya sekarang sosok papa di depanku memiliki peluang menjadi seseorang itu. Papa, Fauzan merindukanmu ... Mama, Fauzan sepertinya sudah menemukan sosok papa yang sebenarnya. Air mata yang aku tahan sedari tadi, tak mampu aku pendam lagi. Perlahan setetes demi setetes mulai turun dari pelupuk mataku. Perkataan Papa yang selama ini aku harapkan kini terdengar. Hatiku kini terasa goyah dan menghangat. Aku sejujurnya tak menyangka Papa mau mencoba memahami apa yang aku rasakan. Isakan tanpa sadar keluar dari mulutku. Aku sungguh malu jika ternyata ada yang menyaksikanku secengeng ini. Aku harap tak ada orang yang mengetahui diriku yang seperti ini. Namun baru saja aku berharap, suara langkah kaki terkejut terdengar dari sisi kananku. Dan benar saja di sana ada sosok Bintang yang terkejut melihatku dan Papa. Sepertinya ia tak sengaja melihatku dan papa. Dengan cepat aku melepas pelukkan papa dan berdiri canggung. Aku mengusap air mataku dan mencoba menutupi mataku yang pasti sudah memerah. "Ah mohon maaf, Pak. Permisi," pekik Bintang masih dalam keadaan terkejut. Ia terlihat salah tingkah begitu tatapannya tak sengaja bertubrukan denganku. Sedangkan aku pun sama. Aku seketika mengalihkan pandanganku ke arah lain. Ia berjalan tergesa-gesa meninggalkanku dan papa yang masih mematung. Memudian aku dan papa saling berpandangan. Dan tanpa di duga tawa kecil mulai tercipta di antara kita. "Papa rindu tawa kamu yang seperti ini," celetuk papa yang membuatku tertawa senang. Jika dipikir-pikir aku sudah bertahun-tahun tidak tertawa bersama papa seperti ini. Ada rasa lega di hatiku mendengar suara papa. Fauzan juga rindu sama Papa yang seperti ini. Aku belum bisa mengungkapkan kalimat itu. Entah mengapa masih ada rasa ragu dihatiku untuk membuka seluruh perasaanku kepada papa sekalipun papa sudah berubah. "Pah, Papa benaran mau mengusut penulis artikel dan penyebar berita hoaxs itu?" tanyaku masih khawatir apabila ada sesuatu yang tejadi dengan Papa. Papa tersenyum memandangku. "Sudah menjadi kewajiban Pak Al sebagai kepala sekolah untuk melaporkan tindakan yang melanggar di sekolah dan juga kewajiban Papa sebagai ayah kamu untuk melindungi anaknya. Jika keputusannya memperngaruhi jabatan Papa, tak masalah, karena jika sudah bukan rezeki papa mau bagaimanapun tetap akan lepas, kan?" Aku salut dengan jawaban Papa. Sosok berwibawa dalam bertugas dan tak melupakan keluarganya ini sebenarnya sifat papa yang masih aku segani. "Iya, Pah, Fauzan ngikut apa kata Papa aja. Fauzan percaya apa yang Papa putusin yang terbaik," jawabku ikut tersenyum lebar. Kamipun kembali tertawa kecil sebelum akhirnya berpisah kembali. Aku kembali ke kelas dan Papa kembali ke kantornya. Aku berharap sikap dan sifat papa akan terus seperti ini. Aku ingin segera bisa membuka lembaran baru bersama Papa. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN