28-?Beautiful Eyes?

2226 Kata
_***_ Luka dihatiku tak mampu aku jabarkan. Tolong jangan memintaku untuk menjelaskan, karena itu sama saja kamu memintaku untuk menorehkan luka yang memperburuk keadaan. _***_ Masih lanjutan satu bulan yang lalu ... Radif's POV Aku berlari menaiki tiap anak tangga menuju rooftop. Tempat yang mampu memberikanku ketenangan dari tekanan. Mengungkapkan isi hati tak semudah itu. Aku terbiasa memendam semuanya, jadi sangat sulit rasanya untuk mengungkapkan lagi kepada orang lain. Mungkin bagi kalian yang introvert pasti merasakannya apa yang kini aku rasakan. Dipendam memang menyiksa, namun diungkapkan pun semakin menyiksa. Aku berusaha mengatur napasku yang memburu. Air mataku terus saja keluar sekalipun aku mencoba menahan. Bayang-bayang kejadian tadilah yang membuat air mataku terus tumpah. "Hah cengeng banget gue," gumamku mengusap pipiku yang basah. Aku mencoba menenangkan diri memandang sekolah yang kian siang kian ramai. Pemandangan yang biasa aku saksikan dari sini. Oh iya perlu kalian tahu rooftop ini tidak pernah dikunjungi oleh siswa di sekolah ini, hal itu dikarena ada rumor bahwa pernah ada yang bundir di sini. Padahal yang aku tahu rumor itu tidaklah benar sama sekali. Tak ada alasan mendasar juga ketika seseorang bundir di ketinggian 5 meter akan langsung meninggal dunia. Setelah aku tenang, aku melihat jam tanganku yang ternyata sudah menunjukkan pukul 06.54. Aku bergegas turun untuk memasuki kelas. Aku terlalu malas dimarahi oleh guru mata pelajaran matematika yang tak akan ada habisnya kalimat yang ia lontarkan. *** Saat aku memasuki kelas, ternyata di dalam sudah ramai teman-temanku yang datang. Aku melirik bangku Bintang yang masih kosong. Mengingat pembicaraan Wendya dan seseorang di telpon kemarin, membuatku terus merasa khawatir. Namun tidak mungkin jika aku langsung bertanya Wendya sekarang. Aku menghela napas berat yang malah memikirkan hal-hal yang tidak-tidak mengenai kondisi Bintang. "Astaghfirullah," lirihku. Kemudian aku melangkah kembali menuju mejaku. Di sana aku melihat Dito yang sedang asyik bermain game. "Tumben jam segini baru masuk kelas, Dif," celetuk Dito menyadari kedatanganku. "Ada urusan tadi," jawabku singkat. Sewaktu aku duduk, tepat sekali dengan bunyi bel pertanda pembelajaran akan dimulai. Aku kemudian mengambil buku dan peralatan untuk pembelajaran jam pertama. Aku harap aku bisa terfokus pada pembelajaran kali ini. *** Author's POV Kicauan burung terdengar merdu seiring bersinarnya mentari menembus dedaunan pohon. Tetesan embun dingin pun tak lupa meramaikan pagi hari yang menyegarkan. Di sebuah sekolah ternama, terlihat para siswa yang berjalan memasuki sekolah dengan senangnya. Ada yang menaiki sepeda, ada yang mengendarai sepeda motor dan ada pula yang berjalan kaki. Seorang siswi berambut terurai terlihat keluar dari sebuah mobil sedan berwarna merah. Ia kemudian berjalan memasuki gerbang dengan semangat. Namun seketika ia berteriak histeris begitu mendapati seorang siswa yang baru saja melewatinya "Fauzan, stop!!!" Ia merentangkan kedua tangannya berniat menyetop sang pengendara. "Apa sih," kata sang pengendara dengan kesal. "Nanti aku mau ngomong sama kamu," ucapnya memohon. Tak ada pilihan lain, siswa itu pun menjawab, "hemm, minggir gue mau lewat." Siswi itu nampak girang kemudian meminggirkan tubuhnya mempersilakan siswa itu melanjutkan sepedanya. "See you," teriak siswi berambut panjang itu kepada siswa pesepeda itu. Saat ia hendak melanjutkan langkahnya, ada sesuatu yang mengagetkannya. "Era," panggil seseorang yang tak jauh dari tempat siswi bernama Era itu berdiri. Siswi itu menoleh dan sempat terkejut melihat seseorang yang memanggilnya. Lantas ia mendekat dan memberi salam terlebih dahulu. "Selamat pagi , Pak Al," ucapnya. Seorang paruh baya dengen setelan seragam pun tersenyum menanggapinya. "Era, om mau ngucapin terimakasih sama kamu karena udah berhasil membujuk Radif untuk tidak pindah sekolah," kata Pak Al mengucap terimakasih kepada Era. Bukannya menjawab terimakasih, Era justru terlihat bingung. Dahinya berkedut. "Mohon maaf, Om, maksudnya gimana ya?" "Iya, Fauzan memutuskan berangkat sekolah lagi karena kamu kan?" Era masih terbengong dan mencoba memahami situasi. Padahal perintah yang Pak Al sampaikan ke Era belum sama sekali dilakukan. Ia justru meminta pendapat Radif mengenai perintah itu. Tak ada ancaman yang dilayangkannya kepada Radif. "Jadi saya papanya Fauzan bersyukur dan berterimakasih sekali. Kamu memang calon menantu yang paling cocok buat Fauzan," lanjut Pak Al yang sontak membuat Era tersenyum mendengar kalimat terakhir. Kini sepertinya Era sedang merencanakan sesuatu untuk mengelabui kebohongan atas ia yang tak melakukan perintah Pak Al. "Ah iya, Om, kemarin itu Era bilangin ke Fauzan apa yang Om perintahkan terus dengan mudahnya Fauzan nurut, Om," balas Era memulai dramanya. Pak Al nampak sangat sumringah mendengar cerita dari Era yang sebenarnya diada-ada itu. "Syukur deh, Om, seneng banget dengernya. Besok-besok kalau Fauzan gak nurut sama Om, Om minta tolong sama kamu lagi ya, Ra." Era nampak girang dan tersenyum penuh kemenangan. "Siap, Om, kalau ada apa-apa bilang aja sama Era nanti bakalan Era bujuk Fauzan lagi , Om. Era kan calon menantu ter the best. Om Al gak akan nyesel deh pilih Era," jawab Era menyombongkan diri, padahal apa yang ia omongkan itu nol besar. Pak Al pun tertawa dan mengucap terima kasih sekali lagi kepada Era. "Kalau begitu Era masuk dulu ya Om, Era mau ngobrol sama Fauzan dulu," kata Era memamerkan dirinya agar 'terlihat' dekat dengan Radif. "Ah iya silahkan-silahkan. Puas-puasin ya ngobrolnya, kalau makin deket kan Om gampang jodohin kalian," tungkas Pak Al yang semakin membuat Era terbang sampai ke langit ketujuh. "Siap, laksanakan, calon papa mertua," pekik Era kepalang senang. Setelahnya, Era berjalan memasuki lobi untuk menuju ke kelasnya, sedangkan Pak Al terlihat keluar sekolah dengan mengendarai mobilnya. Namun siapa sangka ternyata di sana ada dua orang siswi yang menyaksikan kejadian itu dan tentunya mereka sedari tadi menyiapkan sebuah ponsel yang diarahkan ke tempat Pak Al dan Era yang mengobrol tadi. "Ini bakalan jadi berita besar," ucap salah satu siswi tersebut dengan tersenyum penuh misteri. "Dan sudah pasti orang-orang akan memandang kita sebagai pahlawan." "Hahaha so pasti. Bagaimana bisa kita dikelabui oleh Radif yang trobelmaker itu. Pantas saja ia dengan mudah menjadi ketua kelas dan mendapat nilai bagus padahal ia sering membolos. Ternyat ia selicik itu," ucap siswi itu dengan tersenyum miring. *** Bel jam istirahat berbunyi. Kini siswa-siswi sekolah itu berhamburan keluar untuk beristirahat. Ada yang langsung nyelonong ke kantin, ada yang langsung mengeluarkan ponselnya untuk bermain game dan ada pula yang lari terbirit-b***t ke kamar mandi untuk 'bersemedi'. Terkecuali dua orang siswa yang kini masih terduduk di bangkunya yang padahal kelas tersebut telah kosong. Salah satu di antaranya terlihat memohon. "Dif, ayo bolos. Gue mau liat pertandingan PIPG nih." Seorang siswa lagi malah terlihat malas dan hanya menangkupkan tangannya tak peduli. "Ah ganggu lo, Dit, gue ngantuk," jawabnya dengan mencoba melepaskan tangannya yang digenggam erat temannya. "Ah Radif mah, biasanya dulu kalau diajak bolos gas-gas aja," gerutu seorang siswa yang dipanggil Dit. "Lo tau sendiri Dito, Bintang gak berangkat sekolah. Kalau gue bolos, siapa yang memantau kelas." Dito semakin mencembikkan bibirnya. "Lo mah kayak orang bener aja. Biasanya juga gak mikirin kelas," celetuk Dito yang sontak mengundang toyoran dari Radif. "Yeee lo sembarangan aja. Gini-gini gue cowok bertanggung jawab, Bro," bela Radif. "Cih apaan, ke rapat ketua kelas aja selalu nyuruh Bintang lo mah." "Apaan dah. Lo mau gue tabok hah? Gue sesekali juga hadir kali di rapat itu." Bukannya mendengarkan ucapan Radif, Dito malah mengejeknya dengan menirukan gaya bicaranya dengan bibirnya. Sontak saja Radif memiting kepala Dito kesal. "Yeee apa ayok ngapain lo tadi!" ucap Radif dengan bengisnya memiting kepala Dito. "Ampun, Bos, ampun!" teriak Dito kesakitan. Walaupun seperti itu, mereka sesekali tertawa. Tentu itu cuma bercanda bukan benar-benar marah. Saat mereka sedang asyik bercanda, seorang siswa masuk tergopoh-gopoh mendekati mereka berdua. "Dif, Dif!" panggil siswa bername tag Rayen Radif yang dipanggil pun bergegas menengok. "Kenapa, Ray?" "Lo beneran anak Pak Al?" tanya Rayen dengan to the point. Radif seketika terkejut dan mematung mendengar pertanyaan Rayen. Sedangkan Dito, ia terihat histeris dan tak percaya. "Weh mana mungkin. Dari mana kabar itu?" tanya Dito penasaran. Radif sedari tadi hanya terbengong menyadari rahasianya yang sebentar lagi mungkin akan terbongkar. Sepertinya Radif menyadari sesuatu yang aneh. Tangannya nampak mengepal dan giginya bergemertuk. "Ini di laman portal sekolah ada berita terbaru katanya 'Si troblemaker sekolah ternyata adalah anak kepala sekolah'. Dan bahkan di sini tertulis radif berhasil mendapat nilai bagus dan menjadi ketua kelas karena koneksi Pak Al denganya," jawab Rayen membaca judul artikel yang ia maksud. Mendengar apa yang dikatakan Rayen, tangan Radif semakin kuat mengepal. Bahkan kini urat di kepalanya mulai terlihat menyembul. Matanya menyorot tajam keluar kelas. Nampaknya ia tahu biang keladi di balik ini semua. Dito sekali lagi tak percaya. "Hoaxs itu berita. Siapa yang berani nyebarin gosip kayak gitu?" "Gak mungkin hoaxs, ini ada videonya Pak Al ngobrol sama Era anak kelas sebelah. Ni kalau gak percaya," jawab Rayen lagi memberikan ponselnya untuk di tonton Dito. Radif yang nampaknya sudah kehabisan kesabaran, bergegas bangkit dari kursinya dan pergi begitu saja tanpa sepatah kata. Sepertinya prasangka yang baru saja ia pikirkan, memang nyatanya terjadi. Dito yang melihat sahabatnya sedang tak baik-baik saja itu pun bergegas menyusul Radif tanpa memedulikan Rayen yang memberikan bukti. Dito terus berlari dengan meneriaki namanya "Dif, Radif! Lo mau kemana?" teriak Dito mengejar Radif yang semakin menjauh. Radif terlihat kesetanan dan berjalan cepat tak tentu arah. Di sepanjang karidor pun para siswa melihat sosok Radif dengan berbisik-bisik. Radif terlihat tak peduli, ia tetap berjalan cepat dengan mengepalkan tangannya menuju ke suatu tempat. Dito yang tertinggal jauh pun tetap berusaha mengejar dan sesekali meneriaki kerumunan siswa dengan mengucapkan kabar itu hanya hoaxs. Ia belum percaya sebelum sahabatnya sendiri yang mengucapkannya. Langkah Radif tiba-tiba berhenti begitu sesosok siswi berambut terurai terlihat berdiri di depannya. Mata siswi itu terlihat memerah dan tangannya terlihat bergetar seolah sedang ketakutan menatap Radif. Radif berjalan selangkah demi selangkah mendekati sosok itu. Dan siswi itu napak ketakutan dan berjalan mundur. "Aku bisa jelasin, Zan," ucapnya terbata-bata. Radif masih terdiam dan terus menatap tajam ke arah sosok siswi bernam Era itu. Dito yang berhasil mengikuti pun hanya mampu terdiam melihat sahabatnya nampak emosi. "Fauzan, maafin aku," ucap Era diiringi tangisan. "Aku-Aku gak ada maksud menyebarkan itu." Radif nampak geregetan melihat Era di depannya. Tanpa belas kasihan ia terus memojokkan Era hingga Era terjatuh. Dito yang menyaksikan tak tinggal diam. Ia takut sahabat yang ia kenal konyol itu akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak. "Radif berhenti!" pekik Dito memegang tubuh Radif. Radif nampak sudah kepalang emosi hingga tak mengidahkan peringatan Dito. Ia bahkan menyentak tangan Dito hingga membuat Dito terhuyung hampir terjatuh. Radif berjongkok di depan Era yang tersungkur dengan tangisnya. Terlihat sekali ketakutan yang Era rasakan, bahkan Era tak berani melihat mata Radif yang menyorot tajam. Radif semakin mendekat dan Era semakin menangis histeris. Era bahkan telah menutup mata seolah bersiap menerima sebuah pukulan atau tamparan dari Radif. Dito yang menyaksikan sahabatnya berubah menjadi sosok mengerikan itu pun tak mampu berbuat apa-apa dan hanya bisa menelan ludah. "Fauzan, kumohon hentikan," ucap Era dengan lirih dan isakan semakin keras. Tanpa di duga apa yang dipikirkan Era dan Dito tidak terjadi. Justru Radif terlihat mendekati telinga Era dan mengucapkan sebuah kalimat. "Udah gue bilang jangan ikut campur urusan gue," teriak Radif di dekat telinga Era. Era nampak terkejut dengan teriakan Radif dan Radif pun kembli berdiri seusai mengucapkan kalimat itu. Ia kembali berjalan melewati Era yang masih syok dengan kejadian tadi. Ia berjalan tak tentu arah dan sepertinya ia menuju keluar sekolah. Dito yang melihatnya bergegas mengikutinya kembali untuk menenangkan sahabatnya dan meminta suatu penjelasan jika memungkinkan. Namun sejak tadi ia memanggil nama Radif, Radif tak berhenti. Seolah ia tak mendengarkan teriakan Dito. Hingga Radif keluar gerbang pun Dito masih mengikuti. Dito mempercepat larinya dan akhirnya ia mampu menahan tangan Radif. Radif berhenti dan Dito pun berhenti. Tak ada seseorang yang memulai pembicaraan hingga Radif menyentak tangan Dito dan berniat berjalan kembali. Namun Dito tak akan membiarkan itu. Ia kembali menahan tangan Radif dan berkata, "kenapa lo lari?" Tak ada jawaban, justru Radif mencoba melarikan diri lagi. "Lo kayak pengecut tau gak," tungkas Dito yang sepertinya susah terpancing emosi. Namun lagi-lagi nihil tak ada jawaban dari seorang Radif. Seolah Radif membisu tak ingin berbicara satu patah kata pun. "Lo kenapa sih jadi kayak gini, Dif? Apa berita itu bener? Lo anak kep—" Belum sempat Dito menyelesaikan ucapannya, tangannya kembali disentak. Namun bedanya kini Radif tak melarikan diri, ia justru berbalik dan menjawabnya. "Iya bener gue anak Pak Al. Lo mau apa?" jawab Radif dengan wajah bengis dan matanya yang memerah. Dito nampak terkejut dengan jawaban Radif. Lantas ia kembali bertanya, "terus lo kenapa lari, Dif?" Radif justru terdiam kembali dan menundukkan kepalanya. Dito yang sudah gemas sendiri menunggu jawaban dari Fauzan pun melanjutkan. "KALAU LO KAYAK GINI LO PENGECUT, DIF!" teriak Dito di depan wajah Radif. Wajah Dito sudah memerah begitu meneriakkan kata-kata itu. Bahkan napasnya tiba-tiba memburu. "LO KAYAK BUKAN RADIF YANG GUE KENAL!!" lanjut Dito mulai emosi. Radif yang diperlakukan demikian pun akhirnya tersulut emosi. "IYA GUE PENGECUT, DIT, GUA BANCI! LO MAU APA HAH? LO GAK TAU APA YANG GUE RASAIN SEKARANG! LO GAK PERLU NGATUR-NGATUR HIDUP GUE! KALAU LO GAK MAU SAMA GUE YANG SEKARANG, LO MENDING MENJAUH DARI HIDUP GUE!" jawab Radif ikut berteriak emosi. Dito nampak terkejut melihat sisi lain dari seorang Radif. Tatapan matanya memang terdapat kesedihan dan kesepian, namun kata-katanya malah berkebalikan dengan apa yang terlihat di matanya. Radif kemudian berbalik dan berlari menjauh dari Dito yang masih mematung. Sedangkan Dito ia masih terkejut dengan apa yang di ucapkan Radif. Sepertinya ia tak menyangka sosok konyol yang selalu bersamanya bisa berbuat demikian. Dan ia sepertinya baru menyadari sosok Radif yang sesungguhnya. "Lo bodoh, Dif. Sumpah lo orang terbodoh yang pernah gue temuin," bisik Dito menatap kepergian Radif. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN