20-?Beautiful Eyes?

1507 Kata
_***_ Tak baik menilai sesuatu dari satu sisi. Lihatlah di sisi lainnya karena terkadang kebenaran tak akan nampak di semua sisi. Namun kebenaran yang sesungguhnya justru tampak ketika kita sudah memahami semuanya. -The Most Beautiful Eyes- _***_ Satu hari sebelumnya Seorang gadis berkhimar panjang tengah berjalan menyusuri trotoar sebuah jalan besar. Matanya menatap jalanan dengan pandangan kosong. "Aduh, gimana sih ini," ujarnya seperti seseorang yang sedang mengomel. Tapi ia sekarang sedang seorang diri, sontak saja setiap orang yang melewati dirinya menatapnya dengan heran. "Apa aku batalkan saja ya," ujarnya sekali lagi dan membuat orang-orang menatapnya semakin aneh. Jika dilihat-lihat wajah gadis berkhimar itu nampak bukan wajah asli orang Indonesia. Wajahnya nampak menyiratkan negara timur tengah di dalamnya. Tangannya yang tadi sedang menenteng tas laptop, kini ia letakkan di sebuah kursi tunggu bus. Ia terduduk kemudian merogoh saku gamisnya. Dan sebuah ponsel pintar telah ada di genggamannya. "Kalau nggak aku bales takutnya mencoreng nama baik Calista," gumamnya bimbang sembari memutar-mutarkan ponselnya. Tak lama setelah itu muncul bus menepi di depannya. Kemudian ia bergegas menaiki bus tersebut dan pergi meninggalkan halte. Selama diperjalanan ia masih tampak bimbang memikirkan sebuah hal yang sedari tadi membuatnya pusing tujuh keliling. "Apa aku bilang ke Kak Ken aja ya?" Setelah berpikir beberapa saat, gadis itu pun membuka email yang kemarin sempat membuatnya syok itu. Di sana tertera alamat email wonderfulbook9@g*******m. kemudian mereply email tersebut dengan beberapa kalimat singkat padat dan jelas dan tentu saja sopan. Setelah selesai mengetik, ia menekan tombol send dan kemudian dikembalikan ke menu awal. "Semoga ini keputusan terbaik," ujarnya kemudian tersenyum lega. *** Calista's POV Sinar matahari kini telah berganti dengan sinar bulan. Malam yang gelap, sedikit lebih terang karena ada bulan dan bintang yang menemani. Kini hanya waktu telah menunjukkan pukul 22.40 yang menandakan jam para manusia terlelap dalan tidurnya. Abi kini pun sudah terlelap di sofa yang telah disediakan. Aku sedikit tersenyum menatapnya. Dalam hati aku merasa sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk melihat kedua orang tuaku serta semua keluargaku. "Alhamdulillah," ucapku perlahan. Aku mengubah posisi tidurku menyamping ke arah jendela yang tertutup gorden tipis. Dengan iseng aku membuka gorden itu menyaksikan keadaan malam hari. Dan betapa bahagianya aku saat itu, bintang bertebaran sangat banyak dan terlihat kelap kelip menakjubkan. "Masyaallah," kagumku memandangi langit malam yang menunjukkan pesonanya. Oh iya, Umi pernah bilang jika kita melihat sesuatu yang menakjubkan, kita dianjurkan melafazkan 'Masyaallah'. Karena semua yang terlihat menakjubkan itu berasal dari Allah. Kita harus mengembalikan semua keindahan itu kepada-Nya. Allah berfirman di surat al-Kahfi, وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ “Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (QS. al-Kahfi: 39) Ngomong-ngomong tentang bintang, aku jadi teringat sesuatu. Aku membuka ponselku yang tadinya tergeletak di atas meja. Aku men-scroll menu ponselku dan aku terhenti di aplikasi di mana aku menulis biasanya. Terbesit dipikiranku untuk menekan tulisan publish itu, namun aku belum yakin melakukannya. "Kalau kamu takut untuk mencoba, bagaimana bisa mengetahui rasanya." Ucapan Wendya beberapa bulan yang lalu terngiang-ngiang. Kala itu aku benar-benar tak ingin dan tak berniat untuk menunjukkan karya tulisku kepada siapapun. Tapi baru-baru ini entah mengapa ucapan Wendya itu terngiang kembali. Hal itu cukup membuatku bimbang. Jika dipikir-pikir ucapan Wendya memang tak salah. Aku yang masih terlalu tidak percaya diri dengan karyaku. Ntahlah aku merasa belum pantas melakukannya. "Pantas dan tak pantas itu akan bisa dimengerti setelah kamu mencoba dan merasakan setelahnya." Kembali ucapan Wendya berdengung. Entah bagaimana bisa ucapan Wendya seolah menanggapi semua pertanyaanku. Aku mengacak rambutku yang masih terbungkus jilbab instan tipis. "Loh sayang belum tidur?" Aku sontak saja terkejut melihat Abi yang terbangun dari tidurnya. Dengan segera aku menekan asal layar ponselku untuk membuatnya tak bercahaya. "Emm eh iya, Bi, ini baru mau tidur. Tadi liat-liat bintang dulu hehe," jawabku mengatakan keadaan sebenarnya. Abi beranjak dari tidurnya dan mendekat kearahku. Ia menarik selimutku hingga menutupi dadaku. Aku tersenyum kepada Abi yang masih bertahan menatapku. "Terimakasih, Abi." Abi tersenyum kemudian mengacak jilbabku. "Tenang aja, Sayang, kalau kamu terbangun dari tidurmu, kamu masih bisa melihat semua ini kok," ungkap Abi. Aku terus terang saja terkejut mendengar penuturan Abi. Walaupun terkesan candaan, namun sebenarnya ucapan Abi itu menjawab kekhawatiranku. Aku memang sempat takut apabila nanti ketika aku menutup mata, aku akan kembali menemukan kegelapan. Ntah aku sangat takut apabila semua itu terulang. Kegelapan. Aku sangat takut dengan kegelapan. "Hehehe kok Abi tau sih apa yang Lista pikirin," ujarku pura-pura terheran. Abi tertawa kecil mengacak kembali jilbabku. "Kamu ini ada-ada aja, ini Abi kamu loh masa iya nggak tau apa yang dipikirkan anaknya. Udah-udah ini larut banget kamu harus mengistirahatkan matamu. Tidur yah, selamat tidur malaikat kecil Abi," kata Abi membuatku tersenyum dan hatiku menghangat. Sungguh aku sangat bersyukur memiliki Abi, tak ada laki-laki di dunia ini selembut Abi. "Iya, Bi, selamat tidur juga, Abi." Hingga akhirnya aku menutup mataku dan kembali ke alam bawah sadarku dalam keadaan damai. Aku harap semua ini bukan lah mimpi, aku tak mau menjadi lemah kembali. Menjadi sosok wanita rapuh di mata semua orang. *** Tok ... Tok ... Aku yang sedang mengetik di ponselku seketika tergugah begitu suara ketukan pintu terdengar. Aku melihat dari bayangan kaca dan melihat seseorang yang sepertinya aku kenali. "Masuk," teriakku mempersilakan tamu itu masuk. "Assalamualaikum." Dan benar saja setelah pintu itu terbuka, muncullah sosok gadis seragam SMA yang biasanya dulu aku kenakan. "Wa'alaikumussalam. Aaa Wendyaaa!!!" seruku kegirangan. Orang yang menjadi tamuku tadi pun turut berteriak senang. Ia berlari kearahku dan memelukku erat. "Aaa Wen, gue kangen banget!" ucapku masih dengan berseru senang. Aku memeluknya erat begitupun dengannya. "Huaaa aku juga, Lis, di sekolah berasa sepi banget tau," ungkap Wendya dengan nada sendu. Aku pun merasakan kesedihan yang ia rasakan. Pasti tentu saja ia akan amat kesepian jika tak ada diriku di sekolah. Dia orang yang tak pandai bergaul, bahkan ia memiliki teman belum lama ini. "Uchh yang kangen sama gue." Pelukan kami pun terurai. Wendya menatapku dengan pandangan sedih. Sedangkan diriku turut menyaksikan dirinya yang nampak iba terhadapku. "Lis, maaf banget aku jarang jenguk kamu kemarin," katanya meminta maaf. Memang benar ini baru kedua kalinya ia berkunjung, namun aku tak masalah yang penting ia selalu mendoakanku saja. "Nggak papa kali, Wen, lagian yang gue butuhin itu hanya doa kok," ujarku menenangkannya. Wendya tersenyum sendu. "Lo hebat, Lis," cetusnya membuatku turut tersenyum. "Allah lah yang hebat, Wen, mampu menguatkan diriku yang kemarin sempat ingin menyerah," ujarku tulus. Wendya kembali memeluk diriku dengan menangis tersedu-sedu. Aku sontak saja terkejut dengan apa yang Wendya lakukan. "Hey kok nangis sih?" tanyaku memeluknya erat. Wendya tak menjawab karena masih sibuk dengan tangisannya. Aku tersenyum kecil menyadari Wendya yang ternyata bisa menangisiku. Aku sangat menyayangimu, Wen. Setelah isakan Wendya tak terdengar, ia pun melepaskan pelukannya lagi. Ia menatapku dengan intensif. "Kamu yang sabar yah. Allah pasti punya rencana untuk kehidupanmu ketika Dia memutuskan untuk mengambil pengelihatanmu," tutur Wendya sembari menyeka air matanya yang telah membanjiri pipi chubby-nya. Mendengar perkataan Wendya, seketika aku baru menyadari sepertinya Wendya belum mengetahui jika diriku telah bisa melihat lagi. Aku terkekeh kecil sedangkan Wendya menatapku heran. "Apa ada yang lucu sama perkataanku?" tanyanya dengan polosnya. Aku semakin terkekeh. "Nggak kok lo bener. Semua yang terjadi memang sudah kehendak Allah dan pasti ada tujuannya. Emm tapi ada satu hal yang belum lo ketahui," kataku memberikan kode dengan kedipan mata. Wendya sontak ternganga dengan raut wajah yang tak bisa dikondisikan. Mulutnya terbuka lebar namun kemudian dengan cepat ia menutup dengan kedua tangannya berekspresi terkejut. "Lis, lo-lo--lo udah bisa liat?" tanya Wendya masih syok tak percaya. Aku seketika tertawa lebar mendapati Wendya yang masih saja tak percaya. "Lo sekarang lagi pake seragam kotak biru, khimar navy dan tas abu-abu," tebakku memberikannya bukti bahwa aku memang sudah bisa melihat. Ia kembali terperangah mengetahui bahwa apa yang aku ucapkan itu benar adanya. "Masyaallah, Calista!!!" Wendya menangis kembali kemudian memelukku dengan girang. Aku yang melihat tingkah sahabatku ini menjadi tersenyum senang. Ada rasa haru tentunya memiliki sahabat seperti ini. "Alhamdulillah, Ya Allah. Alhamdulillah, terimakasih, Ya Rabb." Sedari tadi ia mengucapkan kalimat hamdalah tak henti-hentinya sembari melihatku takjub. "Aku masih nggak nyangka, Lis. Tapi aku seneng banget," ucapnya masih dengan mata berkaca-kaca. Aku menjadi terharu dengan apa yang Wendya ucapkan. "Jangan buat gue ikut nangis dong, Wen," kataku yang sudah berkaca-kaca juga. Kami kembali berpelukan meluapkan rasa senang yang tiada taranya ini. Aku sangat senang sungguh. "Jadi yang tadi malem publish cerita kamu di platform yang aku kasih tau itu kamu?" Celetukan pertanyaan Wendya sontak saja membuyarkan rasa senangku. "Heh?! Maksudnya?" Aku terkejut bukan main dengan apa yang Wendya tanyakan. Wendya mengambil ponselnya di saku rok. Kemudian membuka ponsel itu dan menunjukan suatu hal kepadaku. Sontak saja mataku membulat tak percaya. "Nggak mungkin, Wen, gue nggak publish apa-apa," sangkalku terkejut melihat ada berita mengenai cerita baru yang aku publish. "Ini beneran, Wen. Coba deh cek punyamu." Dengan gerakan cepat aku membuka ponselku yang telah aku tinggal dari semalam. Begitu aku membuka ponsel, ternyata sudah banyak notifikasi masuk. "Aduh, Wen, gue pengen pingsan!!" Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN