19-?Beautiful Eyes?

1392 Kata
_***_ Rezeki itu bukan hanya perkara materiil saja. Kesehatan pun juga termasuk rezeki yang mestinya paling utama kita syukuri. _***_ Calista's POV Hari ini matahari nampak hangat menyapa tiap inci tubuhku. Meskipun mataku tak bisa melihat langsung cerahnya pagi ini. Senyuman tersungging pada wajahku menebarkan kebahagiaan untuk semua orang. Aku hari ini terasa sangatlah berbahagia. Suasana hatiku tenang rasanya. Dahulu yang awalnya aku selalu murung akibat mataku yang harus ditutup dan hanya kegelapan yang ada di hadapanku, kini aku seperti mendapatkan sumber cahaya yang sudah lama aku rindukan. Oh iya hari ini genap dua minggu lamanya aku menginap di rumah sakit dan genap dua minggu pula aku terbiasa dengan mataku yang tertutup. Semenjak kejadian itu mataku kata dokter terluka oleh serpihan kaca dari mobil yang mengalami kecelakaan. Maka dari itu mataku harus segera diobati dan dilarang untuk digunakan guna mengantisipasi kejadian buruk. "Cie yang mau dibuka perbannya." Sebuah suara bass tiba-tiba terasa berdenging di telinga. "Siapa sih aduh nggak lihat," kataku membalas kejahilannya. Telingaku menangkap sebuah suara langkah mendekat namun tiba-tiba hanya hening yang terasa. Apa mungkin Kak Ken keluar lagi? Ah bodo amatlah. Aku pun kembali menikmati hangatnya sinar mentari yang masuk dari jendela di sebelahku tidur. Saat aku sedang asik menikmati dan merasakan energi alam. Tiba-tiba aku kaget bukan kepalang. "BAAAA!!" Aku terlonjak begitu suara kejutan itu tepat di sebelah telingaku. Lalu terdengarlah cekikikan tawa yang begitu mengerikan. "Ishh Kak bikin jantungan!!!!" seruku kembali mengomel kepadanya. Demi apapun aku tadi mungkin sempat terbang di udara beberapa detik saking kagetnya. "Hahaha astaghfirullah, ngakak banget sih, Dek." Kak Ken terus saja tertawa tanpa memedulikanku yang kini tengah cemberut. Aku yang melihatnya demikian semakin dibuat kesal. Tawa girang itu memekik telingaku yang kini sangat peka. "Kakak mah gitu pengen adeknya jantungan yah. Kakak macam apa tu," gerutuku memarahinya yang masih tertawa ringan. Ia pun akhirnya menghentikan tawanya dan menanggapi ucapanku. "Kakak tu kakak terbaik di dunia ini tau," sangkalnya membuatku aku berakting seolah muntah begitu mendengar ucapannya. "Baik jika dipandang dari sudut pandang iblis," gumamku kesal. "Apa kamu bilang?" tanya Kak Ken marah karena mendengar gumamanku tadi. Aku seketika saja merubah raut wajahku tak bersalah. "Enggak ish siapa yang ngomong coba. Cicak kah?" tebakku asal. "Aihh kamu nih bisa aja deh," tanggap Kak Ken menguyel-uyel kepalaku. "Ah, Kak Ken!! ini berantakan," dengusku mengetahui tangan Kak Ken sudah merusak tatanan jilbabku yang rapi. Dia hanya tertawa melihatku cemberut dan akhirnya tangannya juga lah yang merapikan jilbab yang ia rusak. "Ngomong-ngomong kata dokter dibuka kapan perbannya?" tanya Kak Ken seiring membereskan jilbabku. Aku berpikir lama mengingat ucapan Umi kala itu. "Emmm kalau nggak salah sih jam 9, Kak. Sekarang jam berapa?" "Lah sekarang udah jam 9 atuh, Lista. Ya udah bentar coba Kakak cari Dokter Hiswi." Setelah kerudungku dipastikan rapi oleh Kak Ken, ia pun kemudian beranjak pergi meninggalkanku. Sedangkan diriku masih menikmati teriknya sinar matahari yang masih terasa hangat. "Jika aku bisa melihat lagi, hal apa yah yang harus aku lakukan terlebih dahulu?" gumamku bertanya kepada diriku sendiri. "Memandangi wajah Umi sepanjang hari?" gumamku lagi menjawabi pertanyaan yang aku ucapkan sendiri. "Assalamualaikum, Calista Bintang Pradana." Suara lembut mengalun begitu merdu di dalam gendang telingaku. Aku langsung tersenyum dan paham siapa yang ke mari." "Kak His, yeay akhirnya datang," ucapku girang begitu mengetahui dokter mataku telah datang. "Husss jawab salamnya dulu lah, Dek," tegur Kak Ken yang membuatku baru menyadari kesalahanku. "Eh wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Kak Hiswi. Aduh maaf lah terlewat bahagia jadi lupa deh," ucapku kemudian dibalas kekehan kecil. "Iya wajar namanya juga bahagia. Jadi Lista udah siap nih buat buka matanya?" kata Dokter Hiswi Aku mengangguk cepat tersenyum cerah. Aku tidak sabar untuk bisa melihat indahnya dunia ciptaan Allah ini. "Lista nggak sabar, Kak." Kak Ken yang tadi datang bersama Kak Hiswi pun buka suara. "Tapi Umi belum dateng loh, Dek. Nggak mau nunggu dulu?" tanya Kak Ken memberitakanku jika Umi memang belum sampai di rumah sakit. "Emm iya deh, Kak. Nunggu Umi dulu," putusku yang mencoba untuk bersabar. Dari aku terbang tadi Umi entah ada di mana. Biasanya ia selalu ada di sampingku saat aku terbangun. Mungkin saja Umi sedang menyiapkan persiapan Abi yang baru saja datang dari luar kota. "Masih lama enggak, Kak?" tanyaku yang sebenarnya sudah tidak sabar untuk membuka mataku. "Enggak, mungkin bentar lagi. Nggak deg degan kah, Dek?" tanya Kak Ken lagi menjawab pertanyaanku. Jika ditanya mengenai rasa dijantungku, tentu saja ada rasa khawatir. Ada sedikit rasa takut terbesit di sana. Aku takut jika ini dibuka nanti, bukan kebahagiaan yang aku dapatkan melainkan malah sebuah kenyataan pahit yang harus aku terima. "Ya deg-degan jugalah, Kak. Tapi yah harus yakin dan seneng." Aku harus menunggu kisaran lima belas menitan, akhirnya Umi datang bersama Abi. Sepertinya lama tadi karena menunggu Abi yang ikut menjemputku. Setelah aku melepas rindu dengan Abi yang sudah hampir satu bulan lamanya tak bertemu, akhirnya momen yang aku tunggu-tunggu pun tiba. "Sudah siap, Calista?" ujar Kak Hiswi yang sudah bersiap dengan peralatan medisnya. Sebenarnya untuk sekarang sudah tak banyak peralatan medis yang digunakan. Yah karena mataku kata Kak Hiswi tinggal masa penyembuhan. "Insyaallah siap, Kak," balasku turut bersemangat. Akhirnya sekarang telah dimulai dengan melepas kaitan perban yang ada di mataku. Meskipun aku sejujurnya sedang senam jantung, aku tetap tersenyum supaya menjaga optimistisku. Perban mulai melonggar akibat Kak Hiswi yang sudah akan membuka perban mataku dengan melepas satu demi satu ikatan perban itu. "Oke, Lista, nanti jika perban sudah sepenuhnya terbuka, coba kamu sedikit gerakkan bola mata kamu dalam kondisi menutup mata lalu kemudian buka kelopak mata kamu perlahan yah," intrupsi Kak Hiswi dan aku angguki dengan sangat yakin. "Bismillahirrahmanirrahim .... " Akhirnya kini perban sudah terlepas sepenuhnya. Seketika hawa dingin menerpa kelopak mataku yang sudah lama tak terekspos. "Nah coba kamu buka perlahan," perintah Kak Hiswi yang memintaku mulai membuka mata. Ada sedikit rasa takut yang terasa saat aku hendak membuka mataku. Mataku terasa berat untuk dibuka. Yah wajar kata Kak Hiswi karena sudah lama tak dibuka. Dengan mengucapkan nama Allah dan berdoa untuk kebaikan, aku pun mulai membuka mataku perlahan. Rasa hangat langsung memasuki mataku yang kini telah terbuka sempurna. Entah mengapa mataku seketika terisi penuh oleh air. Ketika aku mengedipkan mataku pelan, satu butir air meluruh dengan sendirinya. "Gimana, Sayang?" tanya Umiku yang sepertinya sangat khawatir ketika melihat setitik air mata jatuh di pipiku. Tak jauh beda dengan Abi dan Kak Ken yang tentu juga cemas. "Apakah sakit, Lista?" tanya Kak Hiswi pelan sembari berharap-harap cemas. Aku menggelang dan masih diam tak bersuara. Aku masih tak tau harus bagaimana. Kemudian aku alihkan pandanganku kepada Umi yang berada di depanku. "Umi .... " panggilku lirih kepada Umi. "Kenapa, Sayang? Apa yang kamu lihat?" tanya Umi bertubi-tubi. Aku langsung memeluk tubuh Umi yang kini berada di depanku. "Alhamdulillah, Umi, Calista bisa melihat lagi." Seketika itu juga ucapan tahmid dan suasana haru pun menyelimuti. Aku sangat senang bisa melihat betapa menakjubkannya ciptaan Allah. Aku sangat bersyukur kepadamu, Ya Rabb. Terimakasih banyak engkau telah mengizinkan hamba untuk bisa menatap orang-orang yang sangat aku sayangi. Ya Allah, terimakasih. *** Author's POV "Baiklah untuk pembagian naskah silakan kalian cek masing-masing email kalian, di sana sudah ada beberapa naskah yang harus kalian seleksi." "Baik, Pak," jawab para karyawan serempak menuruti apa kata bosnya tadi. "Silakan kalian kembali ke meja masing-masing. Selamat bekerja kembali. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucap sang atasan dengan sangat ramah. Akhirnya para karyawan pun membubarkan diri kembali ke tempat kerja masing-masing. Namun salah seorang karyawan tadi tampak gusar kemudian diajak oleh teman sejawatnya untuk kembali ke tempatnya. *** "Ka, tolong kirimkan naskah atas nama Bintang Kejora ke email saya ya. Saya sudah bertukar naskah dengan Denis," ucap seorang pria berambut hitam legam. Usai mengatakan itu melalui sambungan telepon, ia pun menutupnya kemudian kembali fokus pada gadgetnya. "Bintang Kejora? Calista Bintang Pradana?" gumamnya terus merapalkan nama-nama itu. Ekor matanya tampak melirik kepada laptop yang berada di sampingnya. Mungkin saja ia sedang menunggu email dari orang yang ia telpon tadi. Karena lama menunggu, ia pun menidurkan kepalanya di meja kerja yang terdapat dokumen-dokumen di atasnya. "Aduh," keluhnya entah hal apa yang menggangu pikirannya. Tak lama bunyi notifikasi berasal dari laptop yang ia biarkan hidup pun terdengar. Dengan cekatan ia kembali duduk tegak dan memeriksa. Wajahnya yang tadinya tegang kini menjadi sedikit sendu dengan rasa bersalah yang tampak jelas. "Baiklah sepertinya aku harus berani untuk menghadapi ini. Aku harus menjadi pria yang bertanggungjawab," ucapnya seiring dengan gerakan mouse yang ia jalankan. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN