31-?Beautiful Eyes?

2452 Kata
_***_ Belajarlah menempatkan diri sesuai situasi. Jangan sampai situasi rusak akibat kita tidak bisa menempatkan diri. _***_ Calista's POV Pagi ini sangat cerah, nampaknya dunia tahu bahwa aku sebenarnya sedang dalam kondisi hati berbahagia. Dan perlu kalian tahu ntah mengapa aku sangat tidak sabar dengan sekolah hari ini. Ingin rasanya cepat-cepat berakhir kelas hari ini. "Hai, Lista." Aku yang tadinya akan melangkahkan kakiku menaiki bus, seketika terhenti memeriksa siapa yang menyapaku tadi. Ketika aku lihat, ternyata itu adalah orang yang aku kenal "Eh hai! Ayo masuk," ajakku mengajak siswi berambut keriting itu masuk. Kami sama-sama memasuki bus ini. Bus ini menuju ke sekolahku jadi tak heran jika banyak teman sekolahku yang berangkat bersamaan di bus ini. Dan tadi yang menyapalu adalah Lydia, teman sekelasku yang yah bisa dibilang 'pentolan' sekolah. Ia termasuk siswi idaman di sekolahku. Dengan gaya khas rambut keritingnya yang alami dengan wajah dan warna kulit putih kontras, membuat kecantikan naturalnya terpancar. Dia tak memakai makeup sedikitpun berbeda dengan orang-orang jaman sekarang yang kemana saja harus menggunakan makeup. "Lis, hari ini gak ada tugas kan?" tanya Lydia yang duduk di sampingku. Aku menggeleng, "enggak deh. Hari ini cuma pelajaran bahasa inggris, kimia sama matematika, kan?" "Iya, Lis. Males banget pagi-pagi kimia. Bikin kepala berasep," curhat Lydia yang sedari dulu tidak menyukai pelajaran kimia itu. Aku terkekeh geli. "Iya sih, tapi ya nikmatin aja. Bentar lagi kita lulus. Pasti bakalan kangen sama pelajaran di lab gitu." "Hemm perasaan cepet banget kita mau lulus. Perasaan baru kemarin gue kenal sama lo, Lis," ucap Lydia lagi dengen merenung sendu. Aku mengikut termenung mengingat masa-masa awal sekolah yang tanpa sadar sudah lama terlewati. Rasanya berat jika harus sdgera mengakhiri masa-masa itu. Namun mau tak mau itu semua akan terjadi. "Iya, gue juga ngerasa kalau ini cepet banget kita sebentar lagi lulus." "Lo rencana mau kemana, Lis?" tanya Lydia lagi. Oh iya, seketika aku teringat, aku masih belum dengan pasti akan melanjutkan ke mana. Agak telat memang menentukan masa depan setelah lulus sewaktu akhir masa sekolah. "Gak tau, Lyd. Gue masih bingung. Lo sendiri?" "Aku pengen masuk sekolah modeling, Lis. Lo tau sendiri dari dulu gue suka banget modeling," ucap Lydia. "Iya bemer sih, gue dukung lo selalu, Lyd. Besok kalau lo udah jadi model terkenal, jangan lupain gue loh," seruku melontarkan bercanda dengan harapan yang tersirat. "Aamiin, hehe kagak bakal lupa sama Buwaketu mah. Lo juga pokoknya lo jangsn lupain gue nanti loh kalau udah sukses." Aku tertawa mendengar nama panggilan yang Lydia sematkan kepadaku. "Panjang banget julukan gue, hahaha. Enggak kok tenang, mana bisa gue lupa sama bunga kelas kita. Berkat lo tu kelas kita jadi terkenal hahaha." Tak bisa dipungkiri, fun fact kelasku itu bagi tiap siswa di sekolah dijuluki dengan kelas bidadari. Memang benar jika aku lihat-lihat lagi, kebanyakan siswa siswi di kelasku memiliki paras di atas rata-rata, salah satunya Lydia. Dan bukan hanya itu saja, siswa di kelasku yang terkenal memiliki paras tampan pun juga banyak. Ada Dito, Gery dan Radif katanya. Tapi menurutku Radif biasa aja sih, yah tapi mending lah. "Pipi lo kenapa merah, Lis? Lo demam?" Aku sontak tersentak mendengar perkataan Lydia. Aku memagang kedua pipiku. Anehnya tiba-tiba jantungku terasa berdegup lebih cepat. "Aaaa enggak kok, Lyd." Aku terus menutupi pipiku dan bertanya-tanya. Mengapa bisa pipiku tiba-tiba memerah? Apa iya aku tersipu karena memikirkan Radif? Hah?! Tolong! Yang benar saja. Aku kemudian menggeleng-gelengkan kepalaku mencoba mengusir jauh-jauh pemikiran anehku. *** S ekitar lima menit kemudian, bus pun berhenti di sebuah halte bus. "Ayo, Lyd," ajakku kepada Lydia yang masih berkemas. Aku mulai berdiri namun masih menunggu Lydia Setelah ia selesai, lantas ia ikut bangkit dan mengikutiku turun. "Lo mau langsung masuk?" tanya Lydia kepadaku setelah keluar dari bus. "Iya nih gue mau langsung ke sekolah. Lo sendiri gimana? Atau masih mau nunggu orang?" jawabku. "Oh iya lo duluan aja, Lis, gue masih mau nunggu Vira soalnya." Aku lantas mengangguk mengerti. "Owalah okey, Lyd. Gue duluan ya, sampai ketemu di sekolah. Asaalamu'alaikum," pamitku sembari melambaikan tangan. Aku kemudian berjalan menjauh dari halte tersebut untuk menuju ke sekolah. Keadaan belum terlalu ramai, hanya beberapa orang saja yang berbondong-bondong memasuki gerbang sekolah. Wajar saja kini masih menunjukkan pukul 06.15. Biasanya baru orang-orang rajin saja yang sudah tiba di sini. "Assalamu'alaikum, selamat pagi, Pak!" sapaku kepada pak satpam yang masih menikmati sarapan pagi dengan kopi dan gorengan. "Wa'alaikumussalam, Pagi, Mbak! Jam segini udah berangkat, udah sarapan belum?" balas pak satpam dengan hangat. Aku kemudian tersenyum. "Sampun, Pak. Monggo di lanjut sarapannya, Pak. Saya mau lanjut ke kelas dulu." Setelah itu aku melanjutkan langkahku untuk pergi ke kelas. Udara segar pagi ini benar-benar membawa mood yang baik untukku. Aku terlalu fokus menikmati pagi hari yang super indah ini, hingga saat aku sedang memandang keadaan sekitar, sebuah kejadian tak terduga mengagetkannku. "Eh!" Aku spontan memekik saat melihat orang yang aku kenal ada di sebelahku. Jujur saja aku diposisi itu bingung sekali. Entah bagaimana aku menjadi salah tingkah sendiri mendapati seorang anal dan seorang ayah yang sepertinya sedang menikmati momen berharga. Dengan kikuk aku meminta maaf dan bergegas meninggalkan tempat itu. Ya Rabb, apakah saya berdoa mengganggu momen berharga mereka. Huaaa maafkan aku Radif. *** Akhirnya aku pun tiba di kelas. Di sana ternuata sudah ada Wendya yang duduk manis dengan n****+ di tangannya. "Assalamu'alaikum," ucapku begitu memasuku ruang kelas yang sangat sunyi. Wendya memang sedang terduduk di sana, namuj ia tak menjawab salam dariku. Aku yakin pasti ia terlalu terlarut pada n****+ yang ia baca hingga tak mendengar suaraku. "ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH, WENDYA!" teriakku kepada Wendya yang sontak terkejut dan melemparkan novelnya yang ia baca tadi. "Astaghfirullah!" pekiknya. "Yeee masa dijawab astaghfirrullah sih," ucapku mendekati Wendya yang masih berekspresi terkejut. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ya Allah, Lis kaget tau!! Ketuk dulu kek pintunya," balas Wendya memulai dengan mode ngomel. Aku lantas mendekat ke bangkuku untuk meletakkan tas. "Apaan diketuk mana denger. Gue aja harus ngucap salam dua kali dulu biar lo denger. Makannya kalau baca jangan fokus-fokus amat. Untunh gue bukan maling, kalau maling paling kelas ini abis barangnya juga lo gak bakalan tau," sahutku dengan mode menyindir. Satu sifat Wendya yang sering membuatku kesal ya itu seperti itu. Ia sering terlalu fokus dengan bukunya dan tak peduli sekitar. "Hehe maaf, Lis, ini cerita lagi horor-horornya makannya serius banget." Aku hendak merespon ucapan Wendya, namun seseorang yang baru saja masuk membuat konsentrasiku kepada Wendya buyar. Iya siapa lagi kalau bukan orang yang baru tadi aku temui. Aku melihat ia masuk kelas dengan santainya. Disaat aku melihat kearahnya, tanpa sengaja pandangan kami bertemu. Aku yang terkejut sontak saja langsung mengarahkan ke hal yang lain sembari mengajak Wendya berbasa-basi. "Eh, Wen sekarang gak ada tugas, kan?" tanyaku mencoba mengelabuinya karena aku ketahuan memperhatikannya sewaktu memasuki kelas tadi. "Gak ada kok. Kayaknya semalem kamu udah tanya ke aku deh. Masa lupa sih?" jawab Wendya berbalas tanya. "Namanya juga manusia, Wen. Lagian lo tau sendiri gue orangnya pelupa," balasku membela diri. "Aiii iya dah, Lis, percaya. Ya udah cepet duduk masa dari tadi berdiri, gak pegel emangnya?" Aku tersentak karena benar juga aku ngapain sedari tadi berdiri. Ah, kuharap Radif tak menangkap ucapan Wendya dan tak menyimpulkan bahwa aku sedang salah tingkah. Aku kemudian menurut dan duduk dengan tenang di tempat dudukku. Dari ekor mataku, aku melihat Radif tampak sibuk dengan isi tasnya setelah ia duduk di tempatnya yang sebenarnya hanya berjarak satu bangku dengan tempat dudukku dan Wendya. Semoga ia tidak dengar. Aku tak tahu bagaimana mengekspresikan rasa maluku. Dalam kondisi yang seperti ini, sepertinya aku harus menarik perkataanku tadi pagi. Aku belum siap untuk salah tingkah di depan Radif jika mengingat kejadian pagi tadi. *** Bel panjang pertanda pembelajaran telah usai pun berbunyi. Aku yang sedang menulis catatan di papan tulis masih terus terfokus. Teman-temanku malah dengan semangat bergegas berkwmas untuk pulang dari tempat menimba ilmu itu. Wendya yang telah selesai berkemas oun merecokiku. "Lis, cepet berkemas temen-temen udah pada selesai loh. Itu Bu Rini mau nutup kelasnya nunggu kamu," ujar Wendya mengingatkanku. Akhirnya karena tidak ada pilihan lain untuk bisa menunda waktu, akupun menurut daripada nanti aku diteror oleh teman-teman satu kelas. Dengan malas aku menutup buku dan memasukkan alat tulisku ke tas. "Cepetan, Lis!" tegur Dito yang tidak sabaran. Aku hanya melirik Dito dengan tatapan malas dan tak merasa bersalah. Demi apapun jika aku biasanya senang mendengar bel pulang sekolah, kali ini aku malah merasa terancam bahaya begitu mendengarnya. Aku harap tak terjadi apa-apa nantinya. *** Kelas sudah dibubarkan, aku tak langsung pulang atau menunggu Radif di rooftop melainkan kini aku malah mampir ke kantin untuk membeli beberapa jajanan. Sebenarnya alasan utamaku terdampar di sino bukan karena itu, melainkan aku sedang mempersiapkan diri menghadapi Radif. Ada rasa malu dan tak enak mengingat aku menyaksikan dirinya yang tengah menangis di pelukan Papanya. Tentu tak masalah jika seperti itu, namun aku takut jika ia malah sungkan terhadapku. Aku terduduk di kursi kantin untuk menikmati beberapa ciki yang aku beli. Aku menunggu kabar dari Radif saja. Jika ia sudah di rooftop dan tak menemukanku, ia pasti akan dengan cepat menghubungiku. Baru beberapa suap aku menikmati ciki yang ada di tanganku, sebuah suara membuyarkannya. "Bintang." Aku menoleh dan menemukan Radif yang terduduk di kursi sudut kantin. Aku heran mengapa ia biaa berada di sini. Bukankah kemarin ia mengajak bertemu di rooftop. Ia melambaikan tangan ke arahku. Aku sejenak terdiam, namun kemudian ia memanggil namaku lagi jadi ia terlihat mengodeku untuk menuju ke arahnya. Aku mau tak mau harus bergegas mendekatinya. Jika aku terlalu lama mengabaikannya, ia pasti akan curiga. Aku membawa semua jajananku ke dalam tas. Dengan langkah ragu, aku melangkah berjalan mendekati posisinya di sudut kantin. Di sana sebenarnya memang tempat duduk di kantin yang paling tak terlihat. Sepertinya ia memang akan menceritakannya di sini. Huhu, bismillah ... *** Aku telah duduk dihadapan Radif dan radif sedari lima menit yang lalu malah masih sibuk sendiri dengan es coklatnya. Aku yang mulai jenuh menunggi pun memulai pembicaraan. "D-Dif, ngapain di sini?" tanyaku masih dengan nada gugup. Radif masih sibuk menyedot minumannya itu sambil mengangguk-angguk tak jelas. Aku yang tadinya gugup dan merasa tak enak, malah merasa kesal sendiri melihat Radif yang mengabaikanku dengan tidak jelas. Apakah ia masih menguji kesabaranku menghadapinya kali ini? "Woy, Dif, ini mau sampai kapan lo asyik sendiri sama tu es coklat lo?" tanyaku dengan kesal. Tanoa ada mendung tanpa ada hujan, Radif malah tertawa cekikikan. Aku yang melihatnya tak habis pikir dan menganggap Radif sedang tak sehat. "Apaan dah tiba-tiba ketawa. Lo gak gila kan, Dif, gegara gue cuekin tiga hari ini?" tanyaku dengan percaya dirinya. Radif masih terkekeh dengan sendirinya. Sedangkan diriku masih tak mengerti apa yang sedang ia tertawakan. Apakah ia menertawakan kejadian tadi pagi? "Jangan jangan lo ketawa gara-gara—" "Udah-udah stop. Akhirnya gue denger lo ngomelin gue lagi, Tang. Gue kira lo akan tetep jaim di depan gue." Seketika aku baru sadar, Radif yang berada di hadapanku sekarang adalah sosok Radif yang aku kenal dahulu. Ntahlah rasanya syok, bahagia dan kesal menjadi satu. Radif masih terkekeh geli selepas mengucapkan kalimat tadi. Sedangkan diriku masih terdiam dan terbengong menatap sosok Radif yang ada di depanku ini. "Udah gak perlu kaget gitu, lo pasti gak nyangka kan gue balik lagi?" Tanpa sadar aku mengangguk cepat mendengar pertanyaan Radif yang memang benar itu yang aku rasakan sekarang. "Gue gak percaya sih," ucapku masih merasa heran dengan perubahan tiba-tiba dari Radif. "Ini lo liat sendiri, Bintang. Masih kurang percaya lo?' tanya Radif mulai menunjukkan identitasnya sebenarnya. "Kesambet apa lo kemarin? Gue yakin sih jiwa lo baru balik tadi ya?" Radif semakim tertawa kencang mendengar pertanyaan-pertanyaan konyolku. Aku terlalu penasaran dengan perubahan tiba-tiba dari sosok di depanku ini. Agaknya mustahil jika ia berubah 180° dari Radif yang sebelumnya. "Aih lo mah, Tang, yang penting gue udah balik. Lo seneng kan?" Pertanyaan dari Radif seketika menohok hatiku. Entah mengapa apu menangkap maksud lain di dalam pikiranku. Jantungku mendadak berdegung cepat seperti saat aku di bus tadi. Begitu menyadarinya, aku menutup pipiku. Aku takut pipiku memerah seperti gejala pagi tadi. Aku berusaha menetralku perasaanku dengan mencari topik lain. Dan muncullah satu topik yang sebenarnya membuatku tak enak juga. "I-itu ada hubungannya sama kejadian tadi pagi kah?" Mendengar pertanyaanku, Radif yang tadinya tertawa riang mendadak menjadi kalem kembali. "Iya, tepat!" Aku yang semakin penasaran pun mengulik lagi tentang kejadian tadi pagi. "Lo sama Pak Al, eeerr Papa lo maksudnya itu udah baikan?" Kembali Radif mengangguk. "Iya, seperti yang lo liat tadi gue sama papa udah mulai belajar untuk saling mengerti." "Mau gue ceritaim dari awal?" tanya Radif yang langsung aku respon dengan anggukan. Disaat Radif akan memulai ceritanya, sebuah suara mengintrupsi kami. Dari belakang Radif muncullah sosok siswi yang memanggil keras nama Radif. "Fauzan!" Aku hanya sanggup terdiam, sedangkan aku perhatikan raut Radif seketika berubah seiring suara itu terdengar. Siswi itu mendekat ke arah kami. Aku yang tak mau ikut campur pun tetap diam dan menikmati gorengan yang ada di atas meja. Sepertinya itu gorengan milik Radif. Tak apalah daripada nanti aku salah gerak dan menjadi sasaran mereka. "Fauzan!" panggilnya lagi. Radif sepertinya menyadari ketidaknyamananku hingga ia berdiri dan membawa siswi itu menjauh. Aku tak ingin kepo dan tak ingin tahu masalah mereka, toh aku juga bukan siapa-siapanya Radif. Aku memperhatikan mereka nampak berbicara banyak. Koreksi, bukan mereka melainkan hanya siswi dengan rambut curly itu saja yang sedari tadi nampak berbicara. Sedangkan Radif aku perhatikan hanya berdiri menyimak dengan oandangan ke arah lain. "Kayaknya Radif udah males sama Era deh," ucapku sudah bermode nyinyir. Asal kalian tahu saja aku menonton mereka dengan sesekali menyuap makanan. Jika seperti ini aku seperti sedang menikmati drama kehidupan secara real di depan mata. Samar-samar aku mendengar nada tinggi dari Era mau pun Radif. Sepertinya ia tengah bertengkar. Apakah masih ada masalah Radif yang belum selesai? Tak lama kemudian Radif berbalik dengan raut dingin. "Lihatlah sosok syaitan kulkas yang merasuki Radif kemarin kini kembali," gumamku sembari menyuap gorengan tempe yang ada di tanganku. Radif mendekat ke arahku, sontak saja aku bergegas mengalihkan pandanganku menatap arah lain. Berabe jika aku ketahuan memperhatikannya lagi. "Ke atap." Ucapan singkat nan dingin dari Radif sontak membuat bulu kudukku meremang. Entah apa yang terjadi antara Radif dan Era, yang pasti Radif tadi dan sekarang sangat kontras perbedaannya. Radif nampak mengambil tas dan jaketnya kemudian pergi meninggalkanku sendiri. Aku masih berusaha mengontrol perasaanku dan menunggu Radif dan Era pergi. Jika Era melihatku menyusul Radif, aku takut akan menambah masalah baru seperti sebelumnya. Sebelum Era pergi, ia menoleh kearahku terlebih dahulu dan memberikan tatapan marah. Aku hanya menatapnya santai dengan menaikkan salah satu alisku. Aku tak mengerti mengapa dia sangat kekanak-akanalan sekali. Pantas saja Radif selalu risih mendengar Era berbicara. Setelah dirasa aman, akhirnya aku membereskan barang-barang di atas meja kemudian beranjak menyusul Radif. Aku berharap sosok Radif di atap nanti adalah Radif yang aku kenal. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN