Can't help falling in love with you

1148 Kata
Saat mengingat kejadian tiga hari yang lalu, ingin rasanya Sean mengulang kejadian itu lagi. Kejadian dimana ia dengan nekatnya mengecup bibir Ailane tanpa meminta persetujuan gadis itu. Apakah Sean sudah gila? Ya! Sean gila karena Ailane sekarang. Tapi Sean tidak menyesali akan hal itu. Sean sudah tidak sabar untuk cepet-cepet menikahi gadis itu. Bukan kah Ailane sudah cukup matang untuk dinikahi? Dan juga umurnya sudah sangat pantas untuk menjadi seorang ayah. Ia tersenyum saat membayangkan Ailane bisa menjadi ibu dari anak-anaknya nanti. Ia sangat ingin memiliki keturunan sebanyak-banyaknya dari Ailane, mungkin ia juga ingin membentuk sebuah klub bola yang berasal dari anaknya sendiri. Atau juga saat ia menghadiri acara kantor, tangan kanannya melingkar mesra pada pinggang Ailane, dan juga ada seorang anak kecil digendongannya. Ditambah lagi Ailane yang sedang mengandung, Sean membayangkan saja bisa membuatnya sangat bahagia. Akankah impiannya itu bisa terwujud? Untung saja pertemuan terakhir nya dengan Ailane, ia berhasil meminta nomor telpon gadis itu. Ia sudah beberapa kali bertukar pesan dengan Ailane, sensasinya masih sama, ia seperti pertama kali bertukar pesan dengan Sharena. Sean sedikit tenang, seminggu belakangan Louisa tidak datang ke kantornya. Artinya, tidak ada yang mengganggu Sean seminggu ini. Ia melihat ponselnya sedikit bergetar, ia ingin tau siapa yang mengirim pesan kepadanya. Senyumnya terbit saat melihat sebuah nama yang tertera disana. Ailane: Om seaaaan Sean Diwangka: Kenapa Ailane? Ailane: Bosen. Sean mengernyit, masih siang hari. Bukankah Ailane jam segini masih bekerja di penitipan anak? Sean Diwangka: Kamu tidak bekerja? Ailane: Udah pulang, cuma setengah hari. Warung tutup, ibuk sama bapak juga gak dirumah:( Pantas saja ia bosen, sudah tidak berkerja lagi rupanya. Sean memikirkan sebuah ide, tidak tahu akan disetujui Ailane atau tidak. Sean Diwangka: Datang saja kekantor saya jika kamu mau. Sean mengirimkan sebuah lokasi dimana kantornya berada, tak lama ponselnya kembali bergetar. Ia sudah dapat menebak bahwa Ailane tidak akan mau datang kekantor nya. Ailane: Oteweee om. Pokoknya Ailane nyampe disana harus ada banyak makanan! Sean tertawa kecil, rupanya Ailane mau datang kekantor nya. Tanpa pikir panjang, Sean menyuruh salah satu karyawannya untuk membelikannya makanan. Ia menyerahkan uang seratus ribuan sebanyak lima lembar dan menaruhnya menghabiskan uang itu untuk membeli makanan. Sultan memang berbeda dengan rakyat jelata. Sean merapikan dasi serta rambutnya yang sedikit berantakan. Memastikan dirinya sudah benar-benar rapi untuk bertemu calon istrinya. Tunggu, calon istri? Diseberang sana, Ailane masih sibuk menunggu angkot yang melewati jalan menuju kantor Sean. Betapa senangnya ia saat melihat angkot yang ia tunggu mendekatinya. Ia melambaikan tangan, agar angkot itu berhenti didepannya. Ia memasuki angkot, ramai sekali. Sehingga ia harus berdesakan dengan penumpang lainnnya, untung saja badannya kurus. Angkot itu sangat panas, saat ia sudah mendekati banyak gedung pencakar langit yang sudah mendekati alamat yang diberikan Sean, ia meminta sopir untuk menghentikan angkot dan turun dari angkot itu. Ia berdecak kagum saat memasuki kantor Sean yang sangat megah. Silahkan mengatakan Ailane kampungan, namun kenyataannya memang begitu. Ia berasal dari pemukiman pinggiran kota dan ia jarang sekali memasuki gedung dengan tinggi hampir mencapai langit, atau bahkan ia baru pertama kali memasuki gedung seperti ini. Ia menghampiri resepsionis, ada seorang wanita cantik berkharisma yang menyambutnya disana. "Adek cari siapa?" Tanya perempuan itu pada Ailane yang masih sibuk memperhatikan setiap detail kantor Sean. "Dek?" Ulang perempuan itu. Ailane tersadar dan menoleh kearah perempuan itu. "Anu mbak, saya mau mencari ruangan Om Sean." "Maaf dek, disini hanya untuk orang dewasa saja. Anak sekolahan seperti kamu tidak diizinkan untuk memasuki perusahaan ini." Ailane melotot kaget, menggebrak meja resepsionis disana. "Mbak, kalo ngomong yang bener! Enak aja saya dibilang anak sekolahan, saya itu udah 21 tahun. 21 tahun!" Ailane sengaja menekankan umurnya pada perempuan itu. Sekarang ganti perempuan itu yang kaget mendengar pengakuan Ailane, umurnya baru 23 tahun, hanya terpaut 2 tahun saja tapi mengapa gadis didepannya jauh terlihat lebih muda? "Udah! Ruangan Om Sean dimana? Sebelum saya hancurin gedung ini!" Perempuan itu sepertinya sedikit takut, "Di lantai 18, pintu ruangannya tertera nama Bapak Sean disana." Tanpa mengucap terimakasih, Ailane meninggalkan resepsionis yang masih melongo melihat tingkah lakunya. Sedangkan perempuan itu mengusap dadanya sendiri, heran, bagaimana bisa bos nya yang jarang sekali berbicara bisa bertemu gadis unik seperti Ailane? Ailane mulai mencari keberadaan pintu yang bertuliskan nama Sean disana, dan ternyata ruangan itu gampang sekali ia temukan tak serumit bayangannya. Tanpa mengetuk pintu ruangan Sean, ia masuk kedalam ruangan tanpa permisi. Ia menghampiri Sean yang sedang terlihat sibuk menatap laptopnya, ia berdiri tepat dihadapan Sean dengan melipat kedua tangan didada. Sean mengalihkan pandangannya pada Ailane yang tengah menatapnya tajam. "Kamu sudah datang Ailane? "Om Sean lihat kan aku udah disini? Berati aku udah dateng, pake nanya segala!" Jawabnya sengit. Sean hanya tersenyum, melihat Ailane yang sedang marah malah membuatnya terlihat lucu. "Kamu kenapa datang kekantor saya langsung marah-marah?" "Itu, resepsionis didepan enak aja bilang kalo Ailane masih anak sekolahan. Padahal kan Ailane udah gede!" Sean ingin menggoda Ailane, ia melihat secara intens tubuh Ailane dari atas hingga bawah. "Emang sebesar apa?" Ailane menghentakkan kakinya kesal. Kenapa Sean sama sekali tidak peka? "Dasar m***m!" Tawa Sean menggelegar memenuhi penjuru ruangan, seakan melupakan kekesalannya saat melihat Sean tertawa lepas. Astaga, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan? Sean berhenti tertawa dan melihat wajah cantik Ailane yang tengah asyik memperhatikannya. Pandangan mereka bertemu, ia tenggelam pada mata indah yang dimiliki Ailane, mata indah yang amat sangat dicintainya sedari dulu. Mata yang sangat ia rindukan. Ailane terlebih dahulu memutuskan kontak mata diantara mereka. "Kita makan dulu, saya sudah membeli banyak sekali makanan." Ailane mengangguk mengikuti langkah Sean menuju sebuah meja yang berisikan banyak makanan. "Banyak banget om, emang mau syukuran disini?" "Kamu sendiri yang meminta kepada saya untuk menyiapkan banyak makanan. " Ailane menepuk jidatnya sendiri, "Tapi gak sebanyak ini juga kali om." Lantaran ia sudah lapar ia tak mau memusingkan hal itu lagi. Ia menyantap makanan itu dengan lahap, berbeda dengan Sean yang hanya memasukkan beberapa suap makanan saja kedalam mimpinya. "Tadi tuh om, angkot yang Ailane naikin rame bangeeet! Sampai Ailane pengen buka baju sangking panasnya." "Jangan Ailane, jika kita sudah menikah nanti, kamu bebas jika ingin membuka pakaian kamu kapanpun kamu mau." "Om Seaaaan!" Ailane mencubit lengan Sean. Bukannya malah kesakitan, Sean lagi-lagi tertawa melihat tingkah Ailane. "Kalau saya melamar kamu, kamu mau menikah dengan saya?" Ailane melihat tatapan Sean berubah menjadi sangat serius. Ia tak tahu Sean bergurau atau tidak saat mengucapkan hal ini. Ia tertawa, mencoba mencairkan suasana yang sedikit tegang. "Apaan sih om, ngomongnya random banget. Masa baru kenal udah ngajak nikah aja." Sean mengusap kepala Ailane dengan penuh kasih sayang. "Saya akan tetap menunggu kamu sampai kamu siap Ailane." Jantung Ailane sudah berdetak tak karuan, ia teringat akan mimpinya semalam. Dan berniat menceritakan terhadap Sean. "Semalem Ailane mimpi aneh benget deh om," "Mimpi seperti apa?" "Gak begitu jelas si om mimpinya, tapi bikin aku sedih banget gatau kenapa." "Potongan kejadian apa aja yang kamu lihat?" Sean mendekatkan tubuhnya pada Ailane, sangat penasaran dengan mimpi Ailane. "Benua itu siapa om?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN