.Ailane menatap langit-langit kamarnya yang nampak berdebu, memeluk guling nya erat dengan selimut sebatas d**a. Ia menerka-nerka, akankah ia bertemu Sean kembali?
Ia mengambil coklat yang diberikan Sean tadi siang, ia belum memakannya. Ia mengusap bungkus coklat itu, dan menghirup aromanya dalam-dalam.
"Bau Om Sean masih nempel banget,"
"Kok aku bego banget, bisa-bisanya gak minta nomer telpon. Eh jangan deh! Gatel banget kesannya."
Karena tak bisa tidur, ia membuka ponselnya, layarnya sudah retak, ia tak mampu jika harus membeli ponsel baru. Alhasil, ia masih saja menggunakan ponsel itu.
"Nama panjangnya Sean Dewangka gak si?" Tanya nya pada diri sendiri.
Ia mengetikkan nama itu pada i********:, dan Yap! Profil Sean tertera disana.
Untung saja akun i********: Sean tidak di private, ia bisa leluasa melihat postingan Sean disana. Ia melihat banyak sekali foto perempuan yang sangat mirip dengan dirinya, dari menggunakan seragam sekolah, baju tidur, dan juga baju biasa yang digunakan sehari-hari.
Ailane heran, saat menggunakan seragam sekolah, kenapa ia dibolehkan untuk mewarnai rambutnya dengan warna yang mencolok?
Dirasa sudah puasa melihat akun i********: Sean, ia menutup ponsel dan menaruh dimeja dekat tempat tidur nya.
Tak lama, ia merasakan seperti sedang memasuki alam mimpi yang sangat aneh. Namun anehnya lagi, ia merasa sangat sedih saat memasuki mimpi tersebut. Peristiwa demi peristiwa ia lihat dan ia rasakan, semakin menyedihkan. Hingga tanpa sadar, saat ia tertidur pun ia meneteskan air mata. Sesedih itukah mimpinya?
Ailane terbangun disaat ia sudah tidak tahan melihat kejadian yang ia mimpikan, nafasnya memburu, ia menoleh pada jam dinding. Sudah pukul 5 pagi rupanya, ia langsung mandi dan berganti pakaian.
Karena pekerjaannya berinteraksi dengan anak-anak kecil, maka pakaiannya harus sopan dan juga ceria.
Ia keluar kamar, menuju dapur untuk mengambil makanan. Hanya ada telor dadar dan juga nasi disana, rumahnya sepi, mungkin orang tuanya sedang berada di warung. Karena keluarganya tidak memiliki cukup uang untuk membeli sebuah meja makan, alhasil ia duduk pada sofa depan televisi untuk menyantap makanannya. Setelah selesai, ia langsung mencuci piring dan berangkat kerja.
Jarak nya tidak begitu jauh, lantaran untuk menghemat ongkos, ia memilih untuk berjalan kaki melewati gang-gang kecil sebagai jalan pintasnya.
Sudah ada beberapa anak yang dititipkan disana, dan hanya ada lima pegawai yang rata-rata seusia dengannya. Ailane heran, semua anak yang dititipkan disana memanggil teman-temannya dengan sebutan Tante, lalu kenapa hanya Ailane yang dipanggil kakak?
Satu mobil mewah datang, itu Mika, bocah kesayangannya. Ia sangat cantik, dan juga menuruti semua perkataan Ailane. Keduanya sangat dekat, Mika hanya mau bermain dengan Ailane, tak mau bermain dengan anak lainnya. Karena menurut Mika, mereka suka mengganggunya, Mika tidak suka itu!
Ia langsung memeluk Ailane, ia sangat rindu dengan Ailane. Dua hari ini ia tidak bermain dengan Ailane, Mika sangat kesepian.
"Mika, kamu nurut sama Kak Ai. Dek, saya titip Mika, ada meeting penting hari ini, mungkin saya agak malam menjemputnya." Jelas Nina, ia menyerahkan bekal untuk makan siang Mika. Dan juga s**u kesukaan anak itu.
"Iya mbak,"
Ailane menggandeng tangan Mika untuk masuk kedalam, menuntun Mika ke tempat yang paling disukai gadis kecil itu.
"Kak Ai, Mika kangen banget main sama Kak Ai." Mika memeluk Ailane sangat erat seolah-olah tidak mau ditinggalkan gadis itu.
"Kak Ai juga kangen banget sama Mika,"
Mereka bermain dengan sangat bahagia, sesekali mereka tertawa dan saling melempar candaan.
Saat waktu makan siang tiba, Ailane tidak lupa untuk menyuapi anak kecil kesayangannya. Saat pertama kali Mika dititipkan disana, ia langsung mendekati Ailane. Sehingga sejak saat itu mereka menjadi sangat dekat. Pernah suatu hari Ailane tidak masuk kerja seminggu lantaran terkena demam, alhasil Mika menangis kencang tidak bisa bertemu dengan Ailane, ia juga tidak mau dititipkan di tempat itu.
Mereka terus bermain, hingga tidak menyadari langit mulai berubah menjadi gelap. Satu persatu dari mereka mulai dijemput orang tuanya.
"Mama kemana?" Tanya Mika seperti hendak menangis melihat hanya dirinya anak kecil yang tersisa.
Mengetahui itu, Ailane langsung memeluk Mika erat, "Mama hari ini ada urusan, kamu main dulu sama Kak Ai sampai mama jemput, mau kan main sama Kak Ai?"
Mika mengangguk, selagi ada Ailane ia sedikit tenang.
"Ai, kita pulang duluan. Kamu kalau mau pulang jangan lupa dikunci, terus taruh ketempat biasanya aja." Pamit teman-temannya, Ailane mulai sedikit cemas. Sudah pukul 9 malam, tapi Nina belum menjemput Mika.
Ailane yang melihat Mika menguap beberapa kali lantas menidurkan Mika dipangkuannya. Saat ia mendengar mobil Nina didepan tempat penitipan anak, ia menggendong Mika yang sudah tertidur pulas.
Nina merasa tidak enak dengan Ailane, merepotkan Ailane karena pekerjaannya.
"Dek, maaf mbak baru bisa jemput Mika, soalnya banyak banget pekerjaan yang gak bisa ditunda." Ucap Nina mengambil Mika dari gendongan Ailane.
Ailane mengangguk mengerti, "Gak apa-apa mbak,"
Nina meninggalkan Ailane yang kini seorang diri, ia mengunci pintu dan menaruh pada tempat biasanya. Sudah hampir pukul sepuluh malam, jalanan pun sudah sepi tak seramai biasanya.
Ia berjalan seorang diri, sesekali ia bersenandung agar tidak merasakan kesepian. Tapi sama saja, ia sangat kesepian berjalan ditengah malam yang dingin. Bajunya tipis, rok yang ia pakai pun hanya selutut. Tidak menahan angin malam yang menusuk kulitnya. Ailane memeluk dirinya sendiri, merasakan angin semakin erat memeluk tubuhnya.
Ia mulai panik, didepan ada segerombolan preman yang sedang bersantai. Ailane memilih untuk hendak memutarkan badannya, mencari jalan lain yang lebih aman. Namun sayangnya salah satu dari preman itu menghampiri Ailane.
"Cantik, mau Abang anterin gak?"
"Kok diem, sayang banget cantik-cantik kok bisu."
"Main sama Abang aja, kita senang-senang disana."
Ailane mulai takut, ia sama sekali tidak membuka mulutnya dan terus berjalan. Saat preman itu hendak memegang tangannya, Ailane menepisnya dengan sangat kencang.
"Abang baik kok neng, jangan jahat begitu. Kan Abang jadi takut," preman itu hendak menarik baju Ailane, namun tiba-tiba ada seorang laki-laki yang memukulinya dengan sangat brutal seperti orang yang kesetanan.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Suara pukulan demi pukulan terdengar memenuhi telinga Ailane, ia ketakutan. Ia berjongkok dan menutup kedua matanya. Hingga suara itu tak lagi ia dengar. Ia melihat preman yang mengganggunya tadi sudah terkapar tak berdaya dengan luka lebam dimana-mana. Ia mendongak dengan air mata yang membasahi pipinya, ia melihat Sean tersenyum padanya.
Sean membantu Ailane berdiri, lalu tanpa meminta persetujuan Ailane, Sean membawa gadis kecilnya kedalam dekapan hangat yang memenangkan.
"Ailane takut om," ia masih menangis sesenggukan dalam pelukan Sean.
Sean mengusap bahu Ailane, agar Ailane sedikit tenang. Dan sesekali ia mengecup pucuk kepala Ailane.
Sean masih membiarkan Ailane menangis dalam dekapannya.
"Baju om jadi kotor," ia mengusap baju Sean dengan tisu yang ia simpan, air matanya menempel disana. Mungkin, Sean akan jijik kepadanya setelah ini.
"Tidak masalah, yang terpenting kamu tidak kenapa-kenapa."
"Kalau preman itu godain Ailane lagi pas gak ada Om Sean gimana?" Ailane mulai meneteskan air matanya kembali.
Sean mengusap dengan halus air mata yang membasahi pipi Ailane. Tiba-tiba Sean mendekatkan wajahnya pada Ailane.
Ailane terkejut saat merasakan bibir Sean menempel pada bibirnya.
"You're naver be alone, Ailane."