"Benua itu siapa om?"
Sean hampir terkena serangan jantung karena pertanyaan sederhana Ailane. Hanya menanyakan sebuah nama seseorang tapi Sean serasa ingin mati mendengar hal itu.
Ia menatap Ailane dalam-dalam, Ailane hanya menatap Sean balik dengan tatapan penuh tanda tanya. Darimana Ailane tau nama Benua?
Apakah ingatan gadis itu sudah kembali? Sebentar? Ingatan? Memangnya ada hal seperti apa yang menimpa Ailane?
"Siapa lagi yang kamu ingat?"
Ailane menautkan kedua alisnya bingung, kenapa Sean sepertinya mengerti kemana arah mimpinya?
"Om tau mimpi Ailane?"
Sean menyadari ia kelepasan saat berbicara, ia memilih untuk pura-pura tidak mengetahui mimpi-mimpi Ailane setelah ini dan menunggu gadis kecilnya menceritakan dengan sendirinya.
"Tidak."
"Tapi om tau siapa Benua?" Tanya Ailane mengulangi pertanyaannya yang belum sempat terjawab.
"Tidak Ailane, saya tidak pernah bertemu orang dengan nama seperti itu."
"Om Sean gak bohong kan?" Desak Ailane.
Kedua alis Sean terangkat, "Kenapa saya harus bohong?"
Berganti Ailane yang mengangkat kedua bahunya. "Barangkali aja ada yang om sembunyikan," Ailane mengeluarkan tatapan menyelidik, sedikit mencurigai gerak-gerik Sean. Entah bagaimana, ia yakin Sean adalah jawaban dari mimpinya akhir-akhir ini. Tapi Sean pun masih tidak membuka suara, belum ada informasi yang berhasil ia dapatkan. Atau mungkin Sean memang benar-benar tidak mengetahuinya.
"Mimpi adalah bunga tidur bagi seseorang Ailane. Tidak semua kejadian dalam mimpi tersebut adalah sebuah kenyataan," jelas Sean mencoba meyakinkan keraguan Ailane.
Maafkan saya Ailane. Gumam Sean dalam hati, mungkin belum saatnya ia menceritakan siapa itu Benua. Dan juga apakah Ailane masih akan memimpikan sesuatu yang berhubungan dengan 'dia'? Sean masih ingin menunggu kelanjutan dari cerita Ailane. Dan mungkin akan menceritakan semuanya diwaktu yang ia rasa sudah tepat.
"Ini kerasa nyata banget Om Sean!"
Sean hanya tersenyum, kemudian mengecup pipi kanan Ailane sekilas.
"Om Sean! Suka banget sih cium-cium Ailane?" Ia mengerucutkan bibir sebal, ia suka dengan perlakuan manis dari Sean. Namun ia juga kesal dengan jantungnya yang tidak bisa untuk diajak berkompromi, sekarang saja jantungnya berdetak berpuluh-puluh lebih cepat. Jika seperti ini terus, bisa-bisa Ailane mati muda karena serangan jantung.
"Kenapa bibirnya dimajuin begitu? Sengaja biar saya cium?" Tanya Sean dengan entengnya.
Bukannya takut dengan ancaman Sean, Ailane semakin mengerucutkan bibirnya sebal. Bukan karena ingin dicium Sean, tapi ia benar-benar kesal dengan pria tua dihadapannya.
Sean rupanya tidak main-main dengan ucapannya. Ia mendekatkan wajahnya pada Ailane. Hingga jarak terkikis diantara keduanya, Ailane merasakan ada sesuatu kenyal yang menyentuh bibirnya, benar saja bibir Sean telah menempel pada bibirnya. Awalnya hanya kecupan singkat, namun saat Ailane menutup kedua matanya, Sean memberanikan diri untuk bertindak sedikit lebih jauh. Kecupan itu kini berubah menjadi lumatan yang cukup intens, ia tak tahu harus berbuat seperti apa. Ini adalah kali pertama ia berciuman dengan seorang pria.
Ia masih belum membuka bibirnya untuk menyambut ciuman Sean, Sean tak kehabisan akal, ia menggigit bibir bawah Ailane agar bisa sedikit terbuka. Dan benar saja, Ailane yang kaget atas gigitan Sean lantas membuka bibirnya yang semula tertutup. Sean menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin, lidahnya menerobos masuk dan mengabsen seluruh bagian dalamnya. Seakan candu bagi Sean, ia tak ingin menghentikan kegiatan menyenangkan tersebut.
Sadar atau tidak sadar, Ailane mengalungkan tangannya pada leher Sean. Menikmati setiap detik yang kini ia lakukan bersama Sean. Lama-kelamaan ia bisa mengimbangi ciuman itu, ikut melumat walaupun terkesan sangat kaku. Sean senang Ailane membalas ciumannya.
Hingga sebuah ketukan pintu menyadarkan kedua orang dari kegiatan menyenangkan ini. Awalnya Sean tidak begitu memperdulikan ketukan pintu tersebut, namun hal itu nampaknya tidak berhenti. Membuat Sean kehilangan fokus atas kegiatan yang tidak bisa ia kendalikan.
"Argghh! " Sean mengeram frustasi, membuat Ailane membuka kedua matanya.
Ia kaget saat melihat posisinya berada dipangkuan Sean sekarang. Ia turun dari pangkuan Sean dan dapat dilihat Sean memarahi salah satu karyawannya yang mengganggu kegiatan mereka.
"Haduh! Aku tadi ngapain sama Om Sean?" Ia meraba bibirnya sendiri, sebelah tangannya memegang d**a merasakan jika jantungnya sudah kehilangan fungsi.
Sean menghampiri Ailane yang sudah terduduk disofa yang berada di sudut ruangan. Mereka berdua sangat canggung, hanya saling melirik dan bayangan saat mereka tengah berciuman terputar jelas dipikiran keduanya.
Keduanya masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Hawa canggung sangat ketara pada saat ini.
Ailane merutuki dirinya sendiri, kenapa ia tidak menolak Sean? Kenapa ia tidak menghindar? Dan kenapa ia rela memberikan ciuman pertamanya pada laki-laki yang baru ia kenal belum lama ini? Dan parahnya lagi, Ailane sangat menikmatinya.
"Om--"
"Ailane--"
Panggil keduanya hampir bersamaan.
"Om dulu,"
"Saya minta maaf, saya benar-benar tidak sengaja. Dan semua itu diluar kendali saya."
Tidak sengaja katanya? Apa Sean sadar atas ucapannya? Jelas-jelas Sean menginginkan hal itu, dan juga jika ia tidak sengaja? Mengapa hal ini berlangsung cukup lama?
"Eh? Kita tadi ngapain om?" Tanya Ailane lugu, ia seperti orang yang kebingungan sekarang. Separah itu efek ciuman dari Sean?
"Lupakan saja Ailane."
Ailane berdiri meninggalkan Sean menuju sebuah jendela besar untuk melihat bangun-bangun disekitarnya. Ia menatap langit-langit, mengedarkan pandangannya disekitar dan mulai memikirkan sesuatu.
Pekerjaannya kini belum bisa dikatakan sebagai pekerjaan yang jelas, ia juga ingin menjadi orang sukses dimasa depan. Tapi Ailane tidak memiliki keahlian, jalan seperti apa yang harus ia tempuh untuk menjadi orang sukses?
Ia melihat kedua orang tuanya sudah semakin menua, rambut putih pada keduanya sudah mulai terlihat. Tenaganya pun sudah tak sekuat dulu, pinggang ibunya sekarang gampang sekali sakit saat kelamaan mengangkat sesuatu. Dan juga bapaknya sudah mulai sakit-sakitan sekarang, walupun tidak sakit yang berat tapi gampang sekali sakit saat kecapekan.
Saat mereka sudah tua nanti dan sudah tidak mampu untuk berjualan, mereka akan mencukupi kebutuhan mereka menggunakan apa? Mengandalkan pekerjaan Ailane yang sekarang pun rasanya juga tidak cukup. Dan juga, jika Ailane sudah menikah, ia harus siap untuk meninggalkan orang tua nya dan tinggal bersama suaminya. Siapa yang akan menjaga serta merawat mereka?
Bulir air mata meluncur dipipi Ailane, ia belum menjadi anak yang cukup baik untuk membalas jasa orang tuanya. Walaupun mereka tidak meminta semua itu, tapi ada perasaan yang sangat besar untuk membahagiakan orang tuanya.
Dari kejauhan Sean dapat memastikan bahwa Ailane sedang menangis, ia mendapati Ailane beberapa kali mengusap matanya. Tidak mungkin Ailane menangis karena mereka berciuman, pikirnya.
Ia berdiri, hendak menghampiri Ailane. Dan benar saja Sean melihat jika ada buliran air mata yang menetes. Ailane sepertinya tidak sadar jika Sean berada dibelakangnya sekarang.
Ailane merasakan ada sebuah tangan kokoh yang melingkar pada pinggang rampingnya. Sean meletakkan kepalanya pada bahu Ailane.
Saat tangan Ailane hendak melepaskan sesuatu yang melingkar pada pinggangnya, ia tidak bisa lantaran tenaga Sean jauh lebih kuat.
Sehingga ia memilih pasrah membiarkan lengah kokoh itu tetap melingkar pada pinggangnya. Membiarkan semua air mata yang selama ini ia tahan jatuh menetes sederas-derasnya, tak peduli jika Sean melihatnya sedang menangis.
"Jangan menangis Ailane. Hati saya sakit melihat air mata itu terus menetes."